Pages

Sunday, November 30, 2014

Biksu Kecil & Air Sumur



Seorang biksu kecil yg baru ditahbis, diminta gurunya mengambil air di dekat sumur vihara. Ia pun pergi ke sumur dan mencoba utk menimba sumur dgn ember. Tetapi yg didapatkannya adalah ember kosong tanpa ada airnya. Semakin ditimba semakin sia-sia usaha mendapatkan air, semakin marah, kesal dan jengkel, sumur itu tetap tidak memberikan air.

Ia tidak percaya dan mengintip ke dalam sumur. Sumur itu sangat dalam dan terlihat gelap sp ke dasar, hampir dipastikan tidak dapat terlihat apa yg ada di dalam sumur. Semakin berusaha semakin emosi dan kesal. Semakin kesal yang ada malah keringat membasahi tubuh.

Tiba-tiba gurunya datang. Lalu biksu kecil itu komplain sama gurunya, "Mengapa Guru tidak berkata bila sumur ini kosong, mengapa saya harus menimbanya?"

Sang Guru balik bertanya, "Berapa kali kamu menimba?"

Biksu kecil menjawab,"Sudah banyak kali dan sudah emosi jiwa" *

Guru; "Bila sudah tahu kosong, mengapa harus menimba? Mengapa harus emosi dan mengapa menutup indra kesadaranmu?" ("Plakk")...

Kepala biksu kecil itu dipukul dengan tongkat.

"Lihat ke samping sumur itu, di sana ada keran air dari pompa sumur, tinggal dibuka kerannya, air pun mengalir. Aku suruh kamu mengambil air di dekat sumur, bukan menimba sumur!"

Seketika wajah biksu kecil itu merah padam.. Buang-buang energi dan emosi...

Hanya karena tidak ada usaha untuk membuka 'kesadaran'
Akhirnya ia pun mendapat "Pencerahan" ~~~~~

Sering kita marah tanpa alasan, emosi jiwa, padahal duduk persoalannya disebabkan oleh karena kita sok tahu, sok yakin benar dan tidak mau tahu. Akhirnya menyalahkan kondisi yang ada, padahal yang perlu diperbaiki adalah pikiran kita. Kalau mentok menghadapi suatu masalah, buka mata hati, cari solusi lain.

Tapi memang kadang-kadang harus "plakk" baru ada pencerahan.

Saturday, November 1, 2014

DICARI: KEUNGGULAN BUDAYA


Oleh KH Abdurrahman Wahid

Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala yu’la alaihi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih rendah.

Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemunduran peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”. Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Islam.

Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Islam/fiqh bahwa orang Islam diperkenankan menggunakan kekerasan hanya jika diusir dari kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). Selain alasan tersebut itu tidak diperkenankan menggunakan kekerasan terhadap siapapun, walau atas dasar keunggulan pandangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, mereka salah memahami Islam, ketika memaahami bahwa kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]: 54). Kalau sikap itu dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca oleh Rasul-Nya.

***

Jelaslah sikap Islam dalam hal ini, yaitu tidak mengangap rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam mengajukan untuk mencari keunggulan dari orang lain sebagai bagian dari pengembangannya. Untuk mencapai keunggulan itu Nabi bersabda “carilah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (utlubû al-ilmâ walau bî al-shîn).” Bukankah hingga saat ini pun ilmu-ilmu kajian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan tersebut? Dengan demikian, Nabi mengharuskan kita mencarinya ke mana-mana. Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapapun, karena ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang terdapat di mana-mana. Bahkan teknologi maju yang kita gunakan adalah hasil ikutan (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirintis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa juga menghasilkan hal-hal yang berguna bagi kehidupan kita sehari- hari. Pengertian “longgar” seperi inilah yang dikehendaki kitab suci al-Qur’ân dan Hadits.

Lalu adakah “kelebihan teknis” orang-orang lain atas kaum muslimin yang dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam? Tidak, karena amal perbuatan kaum muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. Hal itu dinyatakan sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. Dan ia adalah orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fil âkhirati minal khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Dari kitab suci ini dapat diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan seorang non-muslim, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.

Sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkaitan dengan keyakinan agama dan dengan demikian memiliki kualitas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara teknis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. Pengislaman perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan teknis” semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain.

***

Dengan demikian, jelas peradaban Islam memiliki keunggulan budaya dari sudut penglihatan Islam sendiri, karena ada kaitannya dengan keyakinan keagamaan. Kita diharuskan mengembangkan dua sikap hidup yang berlainan. Di satu pihak, kaum muslimin harus mengusahakan agar Islam -sebagai agama langit yang terakhir- tidak tertinggal, minimal secara teoritik. Tetapi di pihak lain kaum muslimin diingatkan untuk melihat juga dimensi keyakinan agama dalam menilai hasil budaya sendiri. Ini juga berarti Islam menolak tindak kekerasan untuk mengejar ketertinggalan “teknis” tadi.

Walaupun kita menggunakan kekerasan berlipat-lipat kalau memang secara budaya kita tidak memiliki pendorong ke arah kemajuan, maka kaum muslimin akan tetap tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian keunggulan atau ketertinggalan budaya Islam tidak terkait dengan penguasaan “kekuatan politik”, melainkan dari kemampuan budaya sebuah masyarakat muslim untuk memelihara kekuatan pendorong ke arah kemajuan, teknologi dan ilmu pengetahuan.

Kita tidak perlu berkecil hati melihat “kelebihan” orang lain, karena hal itu hanya akibat belaka dari kemampuan budaya mereka mendorong munculnya hal-hal baru yang bersifat “teknis”. Di sinilah letak pentingnya dari apa yang oleh Samuel Huntington disebut sebagai “perbenturan budaya (clash of civilizations)”. Perbenturan ini secara positif harus dilihat sebagai perlombaan antar budaya, jadi bukanlah sesuatu yang harus dihindari.

***

Beberapa tahun lalu penulis diminta oleh Yomiuri Shimbun, harian berbahasa Jepang terbitan Tokyo dan terbesar di dunia dengan oplah 11 juta lembar tiap hari, untuk berdiskusi dengan Profesor Huntington, bersama-sama dengan Chan Heng Chee (dulu Direktur Lembaga Kajian Asia-Tenggara di Singapura dan sekarang Dubes negeri itu untuk Amerika Serikat) dan Profesor Aoki dari Universitas Osaka. Dalam diskusi di Tokyo itu, penulis menyatakan kenyataan yang terjadi justru bertentangan dengan teori “perbenturan budaya” yang dikemukakan Huntington. Justru sebaliknya ratusan ribu warga muslimin dari seluruh dunia belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri-negeri Barat tiap tahunnya, yang berarti di kedua bidang itu kaum muslim saat ini tengah mengadopsi (mengambil) dari budaya Barat.

Nah, keyakinan agama Islam mengarahkan mereka agar menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mereka kembangkan dari negeri-negeri Barat untuk kepentingan kemanusiaan, bukannya untuk kepentingan diri sendiri. Pada waktunya nanti, sikap ini akan melahirkan kelebihan budaya Islam yang mungkin tidak dimiliki orang lain: “kebudayaan yang tetap berorientasi melestarikan perikemanusiaan, dan tetap melanjutkan misi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau perlu harus kita tambahkan pelestarian akhlak yang sekarang merupakan kesulitan terbesar yang dihadapi umat manusia di masa depan, seperti terbukti dengan penyebaran AIDS di seluruh dunia, termasuk di negeri-negeri muslim.



*) Dikutip dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di harian Duta

Sumber: NU Online

Anda suka share berita dari VOA-ISLAM, SUARANEWS, PKSblablabla, JONRU, dsb? Anda kurang vitamin D

Pesatnya era “internetisasi” sekarang makin tipis antara dunia maya dan dunia nyata. Mau nyari informasi, ga perlu nunggu koran pagi datang, tinggal mampir ke mbah google dapet deh informasi yang dicari. Tapi hati hati, banyak informasi yang sengaja dislewengkan pihak tertentu untuk tujuan tertentu. Klimaksnya? Tuh kemaren soal Quickcount, terbukti kan mana lembaga survey dan media abal abal mana yang kredibel :lol:

Hmm.. cukup menarik lihat fenomena saat ini. Begitu mudahnya orang untuk berbagi kabar, tinggal klik atau tinggal sentuh tombol share. Mau facebook, Twitter, Path, dll bisa. Bagi kabar yang benar, okelah bisa buat nambah nambah informasi bagi yang lain. Tapi untuk kabar yang ga benar, anda sama aja ikut serta dalam gerakan goblokisasi serta hasutisasi.

aluvimoto redaksi antaranews
Sumber yang selalu saya jadikan referensi informasi. Antaranews.com

Saya sendiri bukan orang Pers yang tentunya menjunjung tinggi kaidah jurnalistik maupun “sumpah jabatannya” orang pers. Tapi at least saya tahu lah batasan batasan membuat artikel di blog abal abal ini via googling dan etika jurnalistik. Bila ada masalah dengan cara penulisan maupun isinya silahkan saja untuk kontak saya di sosmed beserta email blog ini. At least, ada yang berani tanggung jawab lah dengan tulisan yang saya buat yakni saya sendiri. Oke, skip…..

cats
See? yakin deh banyak yang beginian. Selamat bung anda termasuk orang yang berhasil digobloki :lol:

Balik lagi ke judul, kenapa saya agak begitu heran dengan orang yang dengan gampangnya share berita dari VOA-ISLAM, SUARANEWS, PKSblablabla, JONRU, dll? “Man, use your brain, utekmu tok nggonen, pake otakmu”, mungkin begitu yang ada di pikiran saya begitu melihat teman saya sendiri yang membagikan artikel nonsense dari Media abal abal. Dan entah kenapa mayoritas yang share orang yang saya kira agamanya kuat.
Apakah ada kata ISLAM maupun dalil dari kitab maupun hadist dalam artikel hingga nama domain yang dipakai lantas isinya akan selalu benar? Belum tentu :lol:
Mengapa saya katakan media abal abal? Ciri pastinya cuma ada 2 :
1.Redaksi unknown or even unreachable
ngejurnalwordpress
Gini nih yang namanya media, ada madunya eh redaksinya :mrgreen: . Pic by : ngejurnal
Di media abal abal mana ada :lol: , silahkan cek ke suaranews atau voa-islam.com. Temukan redaksinya atau minimal kontak yang bisa dihubungi. Saya jamin kaga bakalan ada, dan kalaupun ada tidak bakalan ada respon dari yang bersangkutan. Malah di media abal abal lain saya pernah baca, penanggung jawab isi artikel di salah satu media abal abal lain, yakni Allah SWT :lol:
Seberapa penting sih redaksi? Redaksi itu penting sekaleeeeeeee, bisa dibilang jantung dari setiap kegiatan pers. Di redaksi ini ada yang bertanggung jawab dari seluruh artikel yang keluar. Jadi pepatah makin tinggi pohon makin tinggi anginnya itu bener banget, di jabatan apapun kalau makin tinggi tingkatannya makin besar tanggung jawabnya.

aluvimoto redaksi voa

Redaksinya? ga ada tuh :roll: , cek kontaknya deh kalo mau kepo level lanjut :lol:
Lah kalo blogger (kaya saya :lol: ) , atau teman teman di forum kompasiana/detikforum bagaimana? Tanggung jawab isi konten jadi tanggung jawab personal alias diri sendiri. Kalau di forum masih ada yang bisa nyaring artikel mana yang yang akan keluar, yaitu tugas moderator. At least masih bisa dihubungi lah.

2. Isi artikel dimulai dengan JUDUL HEBOH, dan Disertai dengan artikel yang memutar balikkan fakta!
aluvimoto redaksi suaranews
Bah Blogger, Joomla kek kalo mau lebih meyakinkan :lol: . Redaksi? gaib :mrgreen:
Saya sendiri pernah iseng nyobain buat judul Heboh namun isinya bukan untuk memutar balikkan fakta atau menghasut. Dan memang tanggapannya LUAR BIASA! Ada yang hanya baca judul saja langsung panas, ada juga yang senyum senyum tahu maksud saya yang sebenarnya. Teknik penulisan seperti ini ada namanya, cuma saya lupa :lol:. Yang jelas dipakai juga di teknik marketing atau di psikologi, psikomarketing atau apa itu namanya. Cek artikelnya disini :mrgreen:
Paling gampang gini deh, di pinggir jalan ada tulisan JANGAN TENGOK KIRI. Dijamin deh, tanpa pikir panjang langsung ngeliat ada apa sih, tanpa harus tahu terlebih dahulu otak kita seakan otomatis mengikuti sugesti tersebut. Nah si tukang share tanpa baca isinya ini juga demikian, sepertinya otaknya sudah terlatih. Jika liat judul wah, otak langsung otomatis ngeshare isi berita yang belum tentu benar :lol:
So, How do we prevent Civil War? Bagaimana kita mencegah perang saudara?
STOP SHARING THOSE STUPID ARTICLES, JUST THINK!

Gile ngeri bener ye sampe perang saudara dibawa bawa. Tapi ini bener lho, ada kecenderungan bisa saja terjadi. Perang diawali dengan kebencian, kebencian individual berubah communal, dan seterusnya seterusnya. Padahal penyebabnya sepele, orang malas menelaah lebih jauh!
As a blogger, saya sendiri prihatin dan mangkel dengan hadirnya media abal abal seperti ini. Makin banyak keraguan terhadap media online, termasuk blog. Makin banyak orang juga yang terlalu mudah dihasut. Mungkin gara gara angka konsumsi susu dan ikan di negara kita yang katanya maritim terlalu rendah dibandingkan negara lain. Padahal ya tinggal milah milah mana yang benar mana yang salah, di Al Quran juga sudah ada tuntunannya, IQRA alias BACA!

Sumber: co-pas aluvimoto.com, dan KASKUS

HABIB ALI AL-JUFRIY DAN KELAHIRAN ISA BIN MARYAM AS.

 
Sebuah tulisan asli dari Maulana ad-Da'i Ilallah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Jufri الحبيب علي الجفري mengenai pendapatnya tentang "Hukum Mengucapkan Selamat Natal", sebuah pandangan paling gamblang dan moderat menurutku.

الحمد لله..

(نحن أولى بموسى منهم)

هكذا قال النبى صلى الله عليه وآله وسلم عندما قيل له بأن يهود المدينة يصومون عاشوراء فرحاً بنجاة سيدنا موسى وقومه من فرعون وجنوده، وقد كان يصوم هذا اليوم وهو فى مكة قبل الهجرة..

لم يسأل النبى الكريم عن ارتباط الشهر العربى بالواقعة على الرغم من أن الحساب العبرى مختلف عنه، واكتفى بكون يهود المدينة قد ارتبطوا بالأشهر العربية لأنهم استوطنوا بلاد العرب، ولم يقُل: وكيف نتحقق من صحة التاريخ فإن اليهود قد حرفوا كتابهم لذا لا يجوز أن نثق بتحديدهم لتاريخ نجاة موسى؟!

لأن الأمر ليس متعلقاً بذات الزمان بقدر ما هو متعلق بالمعنى الذى تدل عليه المناسبة وهو الفرح بفضل الله، ومحبة الصالحين من عباده..

وهذا الارتباط بمواسم فضل الله على عباده الصالحين هو ارتباط أصيل وعميق فى ديننا..

فإنّ ركن الإسلام الخامس وهو الحج.. ملىء بمعانى الارتباط بفضل الله على خُلَّصِ عباده الصالحين من الأمم السابقة..

بدايةً بالطواف حول الكعبة التى رفع إبراهيم الخليل قواعدها مع ابنه إسماعيل.. ومروراً بالسعى بين الصفا والمروة حيث كانت سيدتنا هاجر المصرية تسعى بين هذين الجبلين بحثاً عن الماء لتشرب وتسقى طفلها..

ورمى الجمرات بمنى حيث رجم الخليلُ عليه السلام الشيطانَ عندما كان يحاول جاهداً أن يثنيه عن امتثال أمر الله فى امتحان ذبح ابنه إسماعيل..

ووصولاً إلى ذبح الهدى الذى يذكرنا بالذبح العظيم الذى جعله الله فداء لإسماعيل بعد نجاح أبيه فى الاختبار الصعب.

هذه عظمة شعائرنا التى نعبد الله تعالى بها، أنها مرتبطة بالمعانى العميقة وليست مجرد أداء شكلى ظاهرى..

وقد قال تعالى: {وَذَكِّرهُمْ بأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فى ذلكَ لآياتٍ لكلِّ صَبَّارٍ شَكورٍ}.

لهذا عندما تأتى ذكرى ميلاد السيد المسيح عليه السلام.. فإننا نستشعر أننا أمام تذكر يوم من أيام الله.. تميّز بمعجزة عظيمة فى مولده الشريف ارتبطت بمعنى السلام الذى نحن فى أشد الحاجة إليه فى هذه الأيام.. نعم فقد جعل الله السيد المسيح رمزاً للسلام فى هذا العالم..

ألم يقُل تعالى على لسان السيد المسيح: {وَالسَّلامُ عَلَىَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيٍّا}؟

فهذا وَحدَه سبب كافٍ لأن أفرح بهذه الذكرى الشريفة بغض النظر عن التدقيق فى ضبط تاريخها عندنا أو عند غيرنا أو اختلاف الأرثوذكس والكاثوليك والبروتستانت أو غيرهم حول التحديد الدقيق للمناسبة..

لأن الأمر غير متعلق بذات اليوم بل بالمعنى الذى يرمز إليه..

ثم إن إخوتنا فى الإنسانية وجيرتنا فى الأرض ونظراءنا فى الخلق لهم علينا حق البر والقسط اللذَين نبهنا الله إليهما بقوله تعالى: {لا يَنْهَاكُمُ اللهُ عنِ الَّذينَ لم يُقاتِلوكمْ فى الدِّينِ ولمْ يُخرجوكم من ديارِكُمْ أَن تَبَرُّوهمْ وتُقسِطُوا إِليهِمْ إِنَّ اللهَ يُحبُّ المُقسِطِينَ}.

قال الحسن البصرى: إن المسلمين استأمروا رسول الله فى أقربائهم من المشركين أن يَصِلُوهم، فأنزل الله تعالى هذه الآية..

وقال ابن عباس يريد بالصلة وغيرها {إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} يريد أهل البر والتواصل..

وقال شيخ المفسرين الحافظ ابن جرير الطبرى فى تفسيره للآية: وأولى الأقوال فى ذلك بالصواب قول من قال: عُنى بذلك لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين من جميع أصناف الملل والأديان أن تبرّوهم وتَصِلُوهم وتُقسطوا إليهم.. ولا معنى لقول من قال: ذلك منسوخ.

ولكم أن تتأملوا كيف ربط الله برّ غير المسلمين وحسن مواصلتهم بمحبته تعالى: {إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطينَ}..

فإنّ البرّ والقسط فى تعامل المسلمين مع غيرهم سبيل موصل إلى محبة الله تعالى.. و(البر حُسنُ الخُلق) كما قال الحبيب المصطفى صلى الله عليه وآله وسلم..

وقبل أن يتحمّس إخوتى من طلبة العلم ويهرعون إلى جمع أقوال الفريق الذى منع التهنئة من فقهاء الأمة.. أُذكرهم بأن من لم يُجِز تهنئة غير المسلمين بأعيادهم الدينية ربط ذلك بفَرَضية (إقرارهم) على ما يعتقدونه من عقائد مخالفة للإسلام.. ولم يذكروا دليلاً صريحاً يمنع التهنئة لذاتها..

وهذا (الإقرار) لا يُتصوّر اليوم من المسلمين بعد استقرار الإسلام وانتشار المعلومات ووضوح الاختلاف العقدى ونُضج السلوك البشرى..

إذ لا يوجد مسلم اليوم ممن يُهنئون جيرانهم المسيحيين يخطر بباله أنه يقر بأُلوهية السيد المسيح أو بأنه ابنُ الرب تعالى!.. ولا يوجد مسيحى يتوهم ذلك من تهنئة المسلم له!

كما أنه لا يوجد مسيحى اليوم ممن يُهنئون جيرانهم المسلمين بالعيدين أو برمضان أو بالمولد النبوى الشريف يفهم من ذلك أنه قد أقرّ المسلم على اعتقاده.. ولا يوجد مسلم اليوم يتوهم ذلك من تهنئة المسيحى له!

لكن المعنى الذى يصل إلى القلوب والعقول هو البر والصلة وحسن الجيرة وكريم الأخلاق..

فهل من عاقل اليوم يرى ذلك إقراراً على العقيدة؟ أو مشاركةً فى طقوس العبادة؟

وهل وصلنا إلى حالة صرنا فيها نتشاجر ونصدر الفتاوى ونعلن البيانات.. بل ونكيل التُّهم ونشكك فى سلامة معتقدات بعضنا بسبب كلمة طيبة اعتاد المسلم أن يقولها لجاره المسيحى: «كل عام وأنتم بخير»؟

أى مستوى من السقوط ندفع إليه أجيالنا؟

أم أى مستوى من الاستخفاف بعظمة هذا الدين نقدمه لشبابنا؟

من حق من لا يريد أن يُهنئ غيره ألا يفعل فلم يقُل أحد إن هذا فرضٌ، لكن أن نُنكر على من يفعل ونُبرِق وُنرعِد ونُشكك فى دينه! فهذا نوع من العبث بدين الله! بل هو تقزيم لعظمة الشريعة السمحة!

أرجوكم كفوا عن الإساءة إلى عظمة هذا الدين..

أرجوكم كفوا عن تنفير الناس منه بتضييق رحابه الواسعة عليهم..

وانتبهوا إلى غضب النبى الكريم وتحذيره الشديد عندما شكا إليه رجل أنه صار يتأخر عن صلاة الفجر فى المسجد بسبب تطويل الإمام كما روى البخارى بسنده إلى أبى مسعود الأنصارى، إذ قال الرجل: يا رسولَ اللهِ إِنِّى لأتأَخرُ عن صلاةِ الغدَاةِ من أَجلِ فُلان مما يُطيلُ بنا..

قال أبومسعود: فما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أشد غضباً فى موعظة منه يومئذ!

فقال صلى الله عليه وآله وسلم: (يا أَيها الناسُ إنَّ منكم مُنَفِّرِينَ فمن صلى بالناسِ فَلْيُوجِزْ، فإنَّ فيهمُ الضعيفَ والكبيرَ وذا الحاجةِ).

غضب النبى واشتد فى موعظته واتهم من يطيل الصلاة بأنه مُنفّر!..

فكيف بمن يطعن فى دين الناس ويُشكك فى إيمانهم وسلامة معتقدهم بسبب بِرّهم بجيرانهم؟

وأُذكّر نفسى وأُذكّركم بوصيته صلى الله عليه وآله وسلم: (يَسِّروا ولا تُعسِّروا وبَشِّروا ولا تُنفِّروا).

وأخيراً..

أُهنئ سيدنا محمداً بميلاد السيد المسيح.. نعم أُهنئ سيدنا محمداً..

أليس هو من قال: (أنا أولى الناس بعيسى ابن مريم فى الدنيا والآخرة)..

وأُهنئ المسلمين والمسيحيين بل أُهنئ البشرية كلها بالميلاد المجيد لمن تجلّى الله عليه فى مولده باسمه السلام فجعله رمزاً للسلام..

وأقول لسيدنا المسيح:

سيدى يا روح الله ويا كلمته.. السلام عليك يوم وُلدتَ ويوم تموتُ ويوم تُبعثُ حياً..


Terjemahkan sendiri!

JANGAN MARAHI, TAPI RAHMATI

 

Habib Hasan bin Abdullah bin Umar asy-Syathiri adalah Pengasuh Rubath Tarim yang sangat terkenal dan dihormati di kota Tarim, Hadhramaut. Suatu ketika, beliau berkunjung ke Singapura dan menginap di salah satu hotel. Ketika murid beliau sedang mengurus check-in, beliau duduk di salah satu sofa yang ada di lobby hotel.

Tiba-tiba duduk di hadapan beliau sepasang kekasih bule. Mereka tak henti-hentinya berciuman dan berpelukan di hadapan sang Habib. Habib Hasan hanya menunduk. Rata-rata orang Hadhramaut tak biasa memandang perempuan yang bukan muhrimnya, apalagi dalam adegan mesra.

Setelah urusan check-in selesai, Habib Hasan dipersilakan oleh murid-muridnya untuk memasuki lift yang akan membawa ke lantai kamar. Tak disangka, kedua kekasih itu ikut masuk ke dalam lift dan meneruskan percumbuannya. Murid-murid Habib Hasan marah dan bermaksud menegur sepasang kekasih tadi karena berbuat yang tidak senonoh di hadapan seorang ulama besar.

Namun Habib Hasan justru melarang murid-muridnya untuk menegur mereka. Beliau tetap menunduk dan kemudian membaca doa. Doa beliau sebagaimana yang masyhur dari Imam Abu Hanifah: "Allahumma kama farihtahuma fiddunya, fafarrihhuma fil akhirat." (Ya Allah, seperti Engkau beri kebahagiaan pada mereka berdua (sepasang kekasih itu) di dunia, bahagiakanlah mereka di akhirat).

Begitulah akhlaq ulama-ulama besar kita. Mereka tidak reaktif dan membabi buta. Rasa kasih sayang didahulukan dari kemarahan. Keinginan Habib Hasan adalah agar keduanya berbahagia di akhirat kelak, seperti kebahagiaan mereka bercumbu dan bercinta di dunia. (Sumber cerita: Habib Ismail Fajrie Alatas)

Jenggot Bukan Sunah Rasul ?

Memelihara jenggot merupakan sunnah Nabi, banyak dalil menerangkan masalah ini, misalnya hadis dari Aisyah diriwayatkan Muslim, Rasulullah bersabda, “sepuluh perkara adalah fitrah, di antaranya mencukur kumis dan menumbuhkan jenggot”. Demikian tulisan Ilham Kadir dengan judul Membela “Jenggot” Sunnah Rasul yang dimuat Tribun Timur Edisi Jumat/22/08/2013, halaman 27.

Ilham Kadir, guru SMPN 2 Enrekang, bukan pakar hadis. Latar belakang keilmuannya tentang hadis masih tergolong miskin. Ini dikarenakan sangat tekstual dalam memahami hadis seperti dalam opininya. Matan hadis yang dikutipnya tidak lengkap sementara dalam memahami sebuah hadis harus dilihat munasabah (hubungan) matan hadis sebelumnya, tidak pula mengemukakan asbab wurud al-hadis (latar belakang histori dan situasi) hadis tersebut disabdakan, sementara tekstual dan kontekstual matan hadis baru bisa dipahami secara akurat setelah mencermati asbab wurud-nya.

Matan hadis tentang itu berdasarkan hasil takhrij (penelurusan melalui kamus Hadis) ditemukan dalam Bukhari (5443 dan 5893), Muslim (260, 380, 381, 382, 383), Turmuzi (2687 dan 2688), al-Nasai (15, 4959, 4960, 5131). Dari sini diketahui ada dua redaksi hadis yang berbeda matannya.

Pertama, Inhaku al-syawariba wa a’fu al-lihay (habiskanlah kumis dan biarkan jenggot seadanya).

Kedua, juzzu al-syawariba wa arkhu al-lihay khalifu al-majusa (pendekkanlah kumis dan pelihara jenggot, selisihilah kaum Majusi) karena mereka, terutama Majusi pedesaan memiliki kebiasaan memanjangkan kumis dan mencukur jenggot, tetapi di Mekah kebiasaan itu rupanya tidak berlaku karena Abu Lahab, Abu Jahal dan pemuka kaum Kafir di Mekah saat itu juga berjenggot, apa bedanya dengan sahabat lain.

Jadi perintah dalam matan hadis ini diperuntukkan kepada sahabat Nabi di pedesaan yang berinteraksi dengan kaum Majusi karena ternyata sahabat Nabi, Ibnu Umar yang juga mendengar langsung hadis itu disabdakan, memotong jenggotnya jika merasa terlalu panjang.

Ditinjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan historinya, pada masa Nabi atau bersamaan saat hadis itu disabdakan, di daerah pedesaan khususnya di negeri Ajam memang terlihat dikotomi antara muslim dan non-muslim sehingga dibutuhkan suatu identitas untuk membedakan di antaranya.

Ketika itu, hadis diyakini sebagai suatu hal yang harus dipenuhi, sehingga menjalankan apa yang diperintahkan oleh Nabi untuk mereka merupakan kewajiban yang harus dilakukan, sehingga kandungan matan hadis tersebut selain bersifat lokal juga temporal, tidak bersifat universal. Konteks kekinian, hal tersebut dianggap tidak relevan dengan melihat bahwa banyak pula umat non-muslim yang memanjangkan jenggotnya.

Ditinjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan situasinya, perintah Nabi untuk memanjangkan jenggot memang relevan untuk orang-orang Arab, terutama Pakistan, yang secara ilmiah dan alamiah dikaruniai jenggot yang subur. Tingkat kesuburan dan ketebalan rambut milik orang-orang Indonesia tidak sama dengan mereka.

Bahkan sebagian besar di antara kita tidak bisa tumbuh jenggotnya padahal agamawan, sebutnya misalnya pakar tafsir Qurais Shihab Shihab, atau di Sulawesi Selatan saat ini ulama kharismatik, AGH. Sanusi Baco, AGH. Bakri Kadir, AGH. Baharuddin HS, Allahu Yarham AGH. Harisah Qaddasallahu Sirrah, (kalau di kalsel ada KH. Zaini Ghani Sekumpul) dan sederetan ulama lainnya, justru tidak ditakdirkan untuk berjenggot, nah apakah ulama kharismatik ini bisa divonis tidak mengikuti sunnah.

Sangat naïf bila jenggot dijadikan sebagai ukuran sunnah, karena akan terlihat bahwa yang menjalankan Islam dengan kaffah hanyalah mereka yang berjenggot sementara yang lain pengingkar sunnah.

Kembali pada definisi hadis, adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi saw. Jenggot tidak masuk dalam definisi tersebut, tetapi masuk pada ciri khas fisik Nabi dan ciri ini tidak bisa mengikat pada semua umat Islam. Sama halnya dengan perintah menikahi empat orang perempuan (QS. al-Nisa/4:3) bukan kewajiban bagi semua kaum laki-laki sehingga perintah tersebut tidak bisa mengikat pada semua umat Islam.

Harus dimengerti bahwa jenggot terdiri dari tiga kategori. Pertama, jenggot biologis seperti orang-orang Arab, Kedua, jenggot ideologis seperti orang-orang yang memaksakan dirinya berjenggot dengan berbagai cara misalnya membeli obat penumbuh-penyubur jenggot.

Ketiga, gabungan idiologis-biologis. Kategorisasi ini, hendaknya disesuaikan dengan individu masing-masing, bagi mereka yang tidak bisa tumbuh jenggotnya, tidak usah dipaksakan. Mereka yang dikarunia tumbuh subur jenggotnya, silakan pelihara dan rawat dengan rapih jika memungkinkan tetapi jangan dijadikan sebagai simbol sunnah karena itu hanya sebagai assesoris fisik.

Dengan begitu, bagi yang berjenggot jangan divonis salah, sebaliknya yang tidak berjenggot jangan divonis tidak mengikuti sunnah Nabi. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq. (*)
-----------------------------------------
Oleh:
Mahmud Suyuti
Ketua MATAN Sulawesi Selatan/ Dosen Hadis dan Mantan Kepala Laboratorium Hadis UIM Makassar


Alhamdulillah... Bulan ini bisa mengikuti beliau bertemu rakyat sampai tiga kali.
Sungguh berat mengikuti beliau. Karena saya asli Kota Solo, saya sering salah jalan. Bagaimana tidak? Lokasi pengajian beliau benar-benar desa pelosok. Dan, karena saya sering salah jalan, otomatis saya seperti harus "berpetualang" dulu, sebelum diizinkan bertemu Cak Nun.
***
Ini hanya berdasarkan ingatan dan sebagian sudah di-bahasa Indonesia-kan. Sudah TIDAK orisinil ucapan beliau! Ini cuma hasil aktivitas pertanian saya atas benih ilmu yang ditaburkan beliau. Tidak mungkin semua bisa saya ringkas, jadi saya hanya ambilkan salah tiga benih ilmu hikmah saja.

1. MENDIDIK ANAK. Jangan suka menanyakan anakmu ingin makan apa. Cukup suruh ia makan hasil masakanmu. Kalau sejak kecil dibiasakan hanya makan apa yang anakmu mau, nanti dewasanya ia akan jadi orang lemah ringkih. Anakmu saat dewasa hanya mampu melakukan sesuatu yang ia inginkan. Cukup seminggu sekali saja dimanjakan ingin makan apa.

2. EKONOMI ISLAM. Dalam bekerja, harus ada pembagiannya: Profesional, semi profesional, semi infaq, dan infaq.
(a) Kalau yang bertransaksi denganmu adalah orang kaya atau perusahaan besar, tidak apa-apa profesional minta bayaran hingga ratusan juta. (b) Kalau yang bertransaksi denganmu adalah orang kelas menengah atau UKM, maka tidak boleh minta bayaran tinggi-tinggi. (c) Kalau yang bertransaksi denganmu adalah rakyat, maka tidak boleh cari untung. Minta bayaran semi infaq, yaitu sekedar "uang makan satu hari" saja. (d) Dan, kalau yang bertransaksi denganmu adalah orang yang sudah sangat susah hidupnya, maka kamu justru yang harus sedekah.

3. PENDEKAR KEHIDUPAN. Tidak ada pendekar yang tidak pernah terluka dan tidak pernah berpuasa. Tidak baik jika seorang pendekar selalu menang. Seorang pendekar harus pernah berkali-kali dibanting.
Jika Timnas U-19 selalu menang, maka di masa depan mentalnya akan hancur. Kalau sudah sukses juara di Piala Asia Tenggara, lalu berada di Piala Asia satu tahun, tidak boleh langsung naik ke Piala Dunia. Hidup itu harus tertata.

Mempelajari Karakteristik Penghuni Surga


_
Oleh: Doni Febriando

Menurut logika normal, seharusnya saya tidak mungkin menulis tema ini. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba merasa perlu menulis ilmu ini. Saat asyik cuci piring dan gelas seusai sahur, tiba-tiba ada ilham masuk. Terpikir ilmu ini dan merasa suatu hari nanti akan berguna.
Jujur ilmu ini untuk konsumsi pribadi. Sebab ilmu ini belum sempurna, masih ijtihad diri saya yang masih sangat muda (23 tahun). Mustahil sudah betul. Saya masih sangat sangat butuh banyak belajar. Jadi, para pembaca sekalian hendaknya memposisikan tulisan saya ini sebagai beras, jangan dianggap sudah nasi.
Karena masih “beras”, berarti masih perlu dimasak lagi. Jangan menganggap isi tulisan saya sudah final dan pantas diikuti secara massal.
***
Mungkin tidak saat Anda jalan-jalan di taman surga nanti melihat orang bertengkar?
“Lho! Kamu kan warga Muhammadiyah, kok bisa masuk surga?!” kata penghuni surga A.
“Justru aku yang harusnya heran! Nahdliyyin seharusnya ahli neraka!” kata penghuni surga B.
“Salah semua! Kalian berdua seharusnya digoreng bareng di neraka! Kalian berdua tidak sepaham dan tidak satu partai denganku sewaktu masih di dunia!” kata penghuni surga C.
Mungkin tidak ada kejadian seaneh itu di surga? Kok rasa-rasanya mustahil ada pertengkaran di surga.
Dari kemustahilan tersebut, kita bisa memetik ilmu hikmahnya. Caranya tinggal dibalik peristiwa tersebut. Poin pertama, berarti ciri-ciri calon penghuni surga adalah orang yang selama hidupnya di dunia tidak memiliki ego yang tinggi.
Kalau dianalisa, sebab pertengkaran si A, si B, dan si C hanya masalah ego saja. Karena si A lahir di keluarga NU, maka si A menganggap amalan warga Muhammadiyah tidak sehebat dirinya. Karena si B lahir di keluarga Muhammadiyah, maka si B menganggap nahdliyyin itu ahli bid’ah. Si C lebih gawat, karena si C lebih jelas memperlihatkan egonya.
Padahal, seperti kita tahu, si A, si B, dan si C bukan nabi semua. Berarti hikmah yang bisa petik, tidak ada manusia pasca kewafatan Nabi Muhammad SAW yang terjamin pasti masuk surga, apalagi bisa mengkapling-kapling surga orang lain.
Indonesia sebertengkar sekarang ini karena mayoritas mengidap pola pemikiran si C. Kalau tidak sepaham dan satu partai dengan dirinya, maka orang lain itu kafir. Kalau sudah mendukung Prabowo, maka alim ulama sekaliber Profesor Quraish Shihab divonis masuk neraka, hanya karena beliau itu terang-terangan mendukung Jokowi. Begitu pula sebaliknya.
Skala lebih kecil, prilaku si C bisa kita temukan sehari-hari di banyak orang. Karena merasa dirinya ustadzah dan berjilbab, maka ia memvonis tetangganya yang tidak berjilbab masuk neraka semua. Karena merasa dirinya rajin shalat, maka ia memvonis temannya yang bolong-bolong shalatnya masuk neraka semua. Berprilaku seperti si C bukan? Hanya “bajunya” beda-beda. Ada yang pakai alasan jilbab, alasan shalat, alasan haji, alasan organisasi, alasan capres, dan sebagainya.
Polanya tetap sama; siapa yang tidak seperti diriku, maka ia pasti masuk neraka.
***
Kalau kita kembangkan lagi poin pertama, maka lahir poin kedua dan ketiga tentang karaktistik para penghuni surga.
Poin kedua, para penghuni surga semasa hidup di dunia rendah hati semua. Ciri-cirinya saat masih hidup di dunia yaitu tidak menggantungkan diri pada amal shalih. Kalau ia rajin shalat, one day five juz, ahli sedekah, maka ia tidak akan memamerkan amal shalihnya.
Pamer itu tidak mesti dalam bentuk cerita lisan. Pamer bisa juga “diceritakan” melalui sikap. Ada orang yang suka marah-marah pada banyak orang tanpa sebab. Bisa jadi orang itu sedang ingin pamer keshalehan dirinya sendiri. Jadi, marahnya itu pura-pura saja, karena batinnya sedang tersenyum bangga pada amal shalihnya sendiri. Sombong.
Gus Dur semasa hidup tidak suka marah-marah bukan karena tidak tahu dosa-dosa banyak orang. Beliau hanya tidak pernah menggantungkan dirinya pada amal shalih. Gus Dur semasa hidup luar biasa ibadahnya. Tidak cuma rajin shalat dan pernah naik haji, Gus Dur sangat kuat bacaan Qur’annya. Sehari beliau mampu mendaraskan lima juz. Kedermawanan beliau pun sangat kuat, sehingga saat meninggal Gus Dur hanya memegang uang Rp. 200.000,00 saja.
Gus Dur semasa hidup sukanya mengayomi para pendosa, karena beliau orangnya rendah hati. Jutaan amal shalih yang pernah beliau lakukan tidak pernah dijadikan alat untuk mengagung-agungkan diri di depan para pendosa.
Tidak mungkin surga isinya para ahli ibadah yang saling mengagung-agungkan amal shalihnya. Betul tidak?
Poin ketiga, para penghuni surga semasa hidup memiliki sifat welas asih. Ciri-cirinya saat masih hidup di dunia yaitu sibuk mencintai dan melayani orang lain. Orang yang memiliki sifat welas asih tidak mungkin egois.
Mustahil para penghuni surga semasa hidup adalah orang-orang yang egois. Sibuk mencintai dirinya sendiri, sibuk melayani dirinya sendiri. Kalau orang lain tidak seperti dirinya, ia akan marah-marah. Tidak sepaham dianggap tidak “mencintai” pemikiran dirinya. Tidak satu capres dianggap tidak “melayani” pilihan politik dirinya.
Para calon penghuni surga pasti saat di dunia sibuk mencintai dan melayani orang lain. Orang yang tidak sebagus dirinya diayomi. Orang yang tidak seberuntung dirinya ditolongi. Hidupnya penuh cinta dan kedamaian.
***
Nabi Muhammad SAW pernah bercerita kalau surga itu tidak seperti bayangan orang-orang. Saking luar biasa indahnya, sampai-sampai tidak bisa dilukiskan dengan khayalan.
Ini pemikiran saya pribadi, jangan dianggap sudah benar; jangan-jangan surga itu lebih ke “suasana”. Saya menduga lebih ke arah immateriil, karena rasa-rasanya aneh kalau kenikmatan surga itu isinya istana-istana megah, perhiasan-perhiasan mewah, dan bidadari-bidadari cantik. Kalau yang seperti itu, rasa-rasanya kok seperti masuk ke diskotik.
Cukup bawa uang satu milyar rupiah, masak sudah langsung dapat merasakan kenikmatan-kenikmatan surgawi? Terlalu rendah kalau kenikmatan khas surga bisa dibeli dengan uang. Seperti diskotik saja.
Mungkin surga itu seperti Indonesia. Tanahnya subur, memiliki ribuan jenis flora-fauna, suhunya hangat, air berlimpah, bergunung-gunung, dan sebagainya. Hanya saja di surga kita bisa langsung melihat Allah dan dikelilingi orang-orang yang berakhlak baik.
Bisa jadi... Karena kalau surga itu kenikmatannya berupa materiil, tentu akan luar biasa membosankan. Para pembaca sekalian yang dari kalangan orang kaya pasti paham maksud saya. Tiap malam tidur di hotel berbintang lima, serba dilayani banyak orang, selalu makan-minum di restoran, bergelimang perhiasan mewah, punya istri super cantik, dan sebagainya itu tidak istimewa.
Punya rumah kecil di desa yang permai, memiliki keluarga harmonis, semua tetangganya berakhlak baik, berkumpulnya dengan orang-orang shalih, dan tiap hari isinya bergembira rasa-rasanya lebih terasa “surga”. Bisa jadi...
***
Kalau kenikmatan surga tidak bersumber pada sesuatu yang materiil, berarti kita bisa menikmati surga tanpa harus meninggal terlebih dahulu. Kita cukup lakukan poin satu, dua, dan tiga di atas. Tetap lakukan terus-menerus, meski lingkungan tidak mendukung.
Ketika kita istiqomah berbuat baik, maka Allah akan memberikan surga dunia kepada kita. Surga yang lebih sejati, surga yang tidak ternilai. Bisa dengan Allah memberi hidayah ke orang-orang sekeliling kita. Atau bisa juga Allah memindahkan kita ke lingkungan yang surgawi. Pasti itu.
Setiap perbuatan ada jodohnya. Kalau berbuat baik, maka jodohnya akan kebaikan. Kalau berbuat buruk, maka jodohnya akan keburukan. Hanya saja datangnya jodoh perbuatan bisa sehari, seminggu, empat bulan, atau sepuluh tahun kemudian. Tergantung kebijaksanaan Allah.
Saran saya, jangan mencari surga, tapi pantaskanlah diri Anda untuk dicari surga. Seperti halnya mekanisme pernikahan. Ketika Anda adalah calon imam yang baik, maka bidadari akan mencari Anda.

Saturday, July 26, 2014

Fokusnya Orang Islam, Surga atau Allah?

Photo: [ Fokusnya Orang Islam, Surga atau Allah? ]

"Saya tanya, Fokusnya anda sebagai Orang Islam itu Surga apa Allah?"

"Allah.." jawab hadirin.

"Bener..?" tegas Cak Nun

"hahaha.." hadirin pun tertawa bingung antara menertawakan diri sendiri dan kejenakaannya.

"maksud saya kalo anda fokus sama Allah, kamu masih peduli Surga atau Neraka? Apa Allah tidak Maha Besar? tidak Maha Memenuhi diri kita sehingga kita sempat memikirkan Surga atau Neraka? Anda itu ditipu oleh info-info Surga."

"Dikit-dikit Surga, dikit-dikit surga..begitu nanti sampai Surga, Allah ga ada. Bingung kamu.." Cak Nun menambahkan.

(Emha Ainun Najib,
Penggalan SemNas Jati Diri Bangsa, UIN Malang, 16 Maret 2014) 
"Saya tanya, Fokusnya anda sebagai Orang Islam itu Surga apa Allah?"

"Allah.." jawab hadirin.

"Bener..?" tegas Cak Nun

"hahaha.." hadirin pun tertawa bingung antara menertawakan diri sendiri dan kejenakaannya.

"maksud saya kalo anda fokus sama Allah, kamu masih peduli Surga atau Neraka? Apa Allah tidak Maha Besar? tidak Maha Memenuhi diri kita sehingga kita sempat memikirkan Surga atau Neraka? Anda itu ditipu oleh info-info Surga."

"Dikit-dikit Surga, dikit-dikit surga..begitu nanti sampai Surga, Allah ga ada. Bingung kamu.." Cak Nun menambahkan.

(Emha Ainun Najib,
Penggalan SemNas Jati Diri Bangsa, UIN Malang, 16 Maret 2014)

Silsilah Ulama-Ulama Ahli Fiqih Mazhab Syafi'i



Abad ke-3 H
1. Imam Asy-Syafi'i (Wafat 204) H
2. Imam Ahmad (Wafat 241) H
3. Imam Bukhari (Wafat 256 H)
4. Imam Abu Dawud (Wafat 275) H
5. Imam At-Tirmidzi (Wafat 279 H)
6. Syeikh Juneid al-Bagdadi (Wafat 298 H)

Abad ke-4 H
7. Imam An-Nasa'i (Wafat 303 H)
8. Abu Hasan al Asy'ari (Wafat 324 H)
9. Ibnul Haddad (Wafat 345 H)
10. Ar-Razi (Wafat 347 H)
11. Ibnul Qathan (Wafat 359 H)
12. Ibnul Bahran (Wafat 361 H)
13. Al-Qaffal al-Kabir asy-Syasyi (Wafat 366 H)
14. Ad-Daruquthni (Wafat 385 H)
15. Al-Isma'ili (Wafat 392 H)
16. Al-Qadhi Al-Jurjani (Wafat 392 H)
17. As-Susi (Wafat 396 H)
18. Ibnu Laal (Wafat 398 H)

Abad ke-5 H
19. Al-Lalika'i (Wafat 416 H)
20. Al-Mawardi (Wafat 450 H)
21. Imam Al-Baihaqi (Wafat 458 H)

Abad ke-6 H
22. Imam Al-Ghazali (Wafat 505 H)
23. Imam Al-Baghawi (Wafat 516 H)
24. Ibnu Asakir (Wafat 576 H)
25. Abu Syuja (Wafat 593 H)

Abad ke-7 H
26. Al-Mundziri (Wafat 656 H)
27. Imam An-Nawawi (Wafat 676 H)
28. Imam Ar-Rafi'i (Wafat 623 H)
29. Ibnu Malik (Wafat 672 H)
30. Al-Baidlawi (Wafat 691 H)

Abad ke-8 H
31. Ibnu Katsir (Wafat 774 H)
32. Ibnu Daqiq al-Ied (Wafat 702 H)
33. Quthbuddin asy-Syirazi (Wafat 710 H)
34. Taqiyuddin as-Subki (Wafat 756 H)
35. Az-Zarkasyi (Wafat 794 H)

Abad ke-9 H
36. Ibnu Al-Mulaqqin (Wafat 804 H)
37. Ibnu Ruslan (Wafat 844 H)
38. Ibnu Hajar Al 'Asqalani (Wafat 852 H)
39. Jalaluddin al-Mahalli (Wafat 864 H)
40. Imamul Kamiliyah (Wafat 874 H)

Abad ke-10 H
41. Jamaluddin An-Nasyiri (Wafat 911 H)
42. Imam As-Suyuthi (Wafat 911 H)
43. Jalaluddin al-Karaki (Wafat 912 H)
44. Ibnu Abi Syarif (Wafat 923 H)
45. Abul Fatah al-Mishri (Wafat 963 H)
46. Hasanuddin (Wafat 964 H)
47. Ibnu Qassim al-'Ubaidi (Wafat 994 H)
48. Mirza Makhdum (Wafat 995 H)

Abad ke-11 H
49. Syeikh Nuruddin al-Raniri (Wafat 1068 H)
50. Syamsuddin as-Syaubari (Wafat 1069 H)
51. Syihabuddin al-Qaliyubi (Wafat 1070 H)
52. Abdul Birri al-Ajhuri (Wafat 1070 H)
53. Al-'Urdli (Wafat 1071 H)
54. Ibnu Jamal al-Makki (Wafat 1072 H)
55. Al-Qinai (Wafat 1073 H)
56. Ibrahim al-Marhumi (Wafat 1073 H)
57. Muhammad al-Bathini (Wafat 1075 H)
58. Muhammad al-Kurani (Wafat 1078 H)
59. Ibrahim al-Maimuni (Wafat 1079 H)
60. Abdul Qadir as-Shafuri (Wafat 1081 H)
61. Ibnu Jam'an(Wafat 1083 H)
62. Ibrahim al-Khiyari(Wafat 1083 H)
63. Al Kurdi (Wafat 1084 H)
64. Al al-Ayyubi (Wafat 1086 H)
65. Muhammad al-Bakri (Wafat 1087 H)
66. Syeikh Abdul Rauf al-Fanshuri (Wafat 1094 H)

Abad ke-12 H
67. Abdullah bin Alawi al-Haddad (Wafat 1123 H)
68. Muhammad al-Kurani (Wafat 1145 H)
69. Al 'Ajaluni (Wafat 1148 H)
70. Hasan al-Bani (Wafat 1148 H)
71. As-Safar Jalani (Wafat 1150 H)
72. Ad-Diri (Wafat 1151 H)
73. As-Suwaidi (Wafat 1143 H)
74. Zainuddin ad-Dirbi (Wafat 1155 H)
75. Al-Busthami (Wafat 1157 H)
76. Athaulah al-Azhari (Wafat 1161 H)

Abad ke-13 H
77. Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani (Wafat 1203 H)
78. Syeikh Arsyad al-Banjari (Wafat 1227 H)
79. Al-Yamani(Wafat 1201 H)
80. Ahmad al-Khalifi(Wafat 1209 H)
81. Al-Baithusyi(Wafat 1211 H)
81. At-Takriti(Wafat 1211 H)
82. Ibnu Jauhari(Wafat 1215 H)
83. Ad-Damanhuri(Wafat 1221 H) •

Abad ke-14 H
84. Syeikh Nawawi al-Bantani (Wafat 1315 H)
85. Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Wafat 1334 H)
86. Syeikh Muhammad Saad Munqa (Wafat 1339 H)
87. Syeikh Muhammad Saleh al-Minankabawi (Wafat 1351 H)
88. Syeikh Khatib 'Ali (Wafat 1353 H)
89. Syeikh Muhammad Jamil Jaho (Wafat 1360 H)
90. K.H. Hasjim Asy'ari (Wafat 1367 H)
91. Syeikh Abdul Wahid Tabek Gadang (Wafat 1369 H)
92. Syeikh Syeikh Musthafa Husein al-Mandili (Wafat 1370 H)
93. K.H. Dimyathi Syafi'ie (Wafat 1378 H)
94. Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Mutalib al-Mandili (Wafat 1385 H)
95. Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Wafat 1388 H)
96. Al-Habib Salim bin Djindan (Wafat 1389 H)
97. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli (Wafat 1390 H)
98. K. H. Abdul Wahab Hasbullah (Wafat 1391 H)
99. Al-Habib Ali bin Husein al-Attas (Wafat 1396 H)

Abad ke-15 H
100. Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani (Wafat 1410 H)
101. Syeikh Muhammad Zaini Abdul Ghani (Wafat 1426 H)
102. Al-Habib Munzir bin Fuad al-Musawa (Wafat 1434 H)
103. K. H. Sahal Mahfudz (Wafat 1435 H).

Repost dari Gus Hafidz Muzadi

Memahami kata "Sunnah" yg dimaksud Nabi

Photo: Memahami kata "Sunnah" yg dimaksud Nabi
-----------
Selamat malam tweeps. Kemarin sempat aku singgung soal apa arti sunnah dalam hadits Nabi yg cukup terkenal, "alaikum bi sunnati"

Wa sunnatil khulafa' arrasyidina al mahdiyyina min ba'di, addhu alaiha bin nawadhij. Berpeganglah pada "sunnah"ku dan "sunnah" ...

Para khalifah yg mendapat petunjuk, dan bimbingan, setelahku, gigit kuat2 dengan gigi gerahammu.

Selama ini jika kita mendengar kata "sunnah", seketika tercetak dalam benak kita dua makna. Makna pertama, ibadah2 yg bukan wajib

Makna kedua, hadits2 Nabi, dalam hal ini adalah perkataan, perbuatan, sifat, dan persetujuan beliau atas suatu tindakan sahabatnya

Memang betul seperti itu, hanya saja pengertian sunnah di atas tadi adalah definisi ulama fiqh dan definisi para ulama ahli hadits.

Dan kata "sunnah", mempunyai berbeda lagi jika dilihat dari sudut pandang ilmu fiqhut tahawwulat (ilmu yg berbicara soal tanda2 masa)

Dan khusus hadits di atas, cara pandang yg tepat adalah dg menggunakan kacamata ilmu fiqh tahawwulat ini (istilah baru ya?)

Yang dimaksud oleh Nabi soal sunnah itu adalah tatacara beliau bersikap dalam sebuah momentum tertentu. Begitu jg para khalifahnya

Tentu saja khalifah di sini bukan sembarang khalifah, hanya terbatas kepada 5 orang setelahnya saja. Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali & Hasan

Jadi sunnah di sabda beliau itu bukan hadits yg kita kenal. Bukan syariah. Lagipula khalifah juga bukan sumber syariah. So ada arti lain

Yaitu kebijakan beliau atas suatu peristiwa yang kadangkala secara tampilan berbenturan dg syariah.

Semisal kejadian kala ada pemuda yg minta dispensasi berzina. Para sahabat telah mau membentak pemuda itu, tapi Nabi bersikap berbeda

Atau semisal kala ada orang tua dan pemuda yang bertanya sama pada Nabi soal boleh apa tidak mencium istri kala puasa.

Jawaban Nabi berbeda, yg tua boleh, yg muda tidak. Atau contoh populer usai perang hunain. Kala Nabi dapat rampasan luar biasa banyak

Semestinya sahabatnya juga berhak mendapat bagian harta itu. Tapi saat itu mereka tak satupun diberi, malah orang2 yg baru masuk islam

Karena Nabi mempunyai tujuan lain. Nah ini yg dimaksud "sunnah" dalam hadits itu.

Kalau contoh dari para khalifah adalah semisal keputusan Abu Bakr memerangi kelompok yg sholat, sebab mereka menahan zakat.

Atau keputusan Umar tidak menerapkan hukuman potong tangan pada pencuri saat terjadinya paceklik panjang.

Atau momentum Ustman kala memutuskan tidak memundurkan diri dari jabatan khalifah saat didesak mundur.

Atau keputusan Ali memerangi sesama muslim di Nahrawan sebab mereka menebar fitnah dengan mengkafirkan muslim yg tak sepaham dg mereka

Atau keputusan Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah dengan pertimbangan menghindarkan pertumpahan darah antar ummat islam

Nah contoh di atas adalah seluruhnya "sunnah", maksudnya berpeganglah pada cara kami bersikap saat terjadi semacam fitnah

Satu contoh lagi bagaimana Nabi diam tidak menyalahkan atau membenarkan 2 kelompok sahabatnya yg berbeda pendapat soal asar di quraidhah

Nah sebagian contoh itu adalah petunjuk kepada kita apa yang harus kita lakukan saat terjadinya hal yg secara tampilan menabrak syariah

Atau apa yang harus kita lakukan kala terjadinya suatu fitnah, terutama yg mengancam persatuan kelompok.

Karena dg itu kita bisa terhindar dari titik2 fitnah yg jika telah terjadi bisa melahap apa saja. Tak peduli orang shaleh atau preman

Semoga menambah ilmu, bahwa sunnah itu tak berarti hadits saja, atau ibadah saja. Namun juga cara bersikap Nabi dalam momen tertentu

by: Awy' Ameer Qolawun, Awy' Ameer Qolawun-Dua, Awy' Ameer Qolawun-Full
-----------
Selamat malam tweeps. Kemarin sempat aku singgung soal apa arti sunnah dalam hadits Nabi yg cukup terkenal, "alaikum bi sunnati"

Wa sunnatil khulafa' arrasyidina al mahdiyyina min ba'di, addhu alaiha bin nawadhij. Berpeganglah pada "sunnah"ku dan "sunnah" ...

Para khalifah yg mendapat petunjuk, dan bimbingan, setelahku, gigit kuat2 dengan gigi gerahammu.

Selama ini jika kita mendengar kata "sunnah", seketika tercetak dalam benak kita dua makna. Makna pertama, ibadah2 yg bukan wajib

Makna kedua, hadits2 Nabi, dalam hal ini adalah perkataan, perbuatan, sifat, dan persetujuan beliau atas suatu tindakan sahabatnya

Memang betul seperti itu, hanya saja pengertian sunnah di atas tadi adalah definisi ulama fiqh dan definisi para ulama ahli hadits.

Dan kata "sunnah", mempunyai berbeda lagi jika dilihat dari sudut pandang ilmu fiqhut tahawwulat (ilmu yg berbicara soal tanda2 masa)

Dan khusus hadits di atas, cara pandang yg tepat adalah dg menggunakan kacamata ilmu fiqh tahawwulat ini (istilah baru ya?)

Yang dimaksud oleh Nabi soal sunnah itu adalah tatacara beliau bersikap dalam sebuah momentum tertentu. Begitu jg para khalifahnya

Tentu saja khalifah di sini bukan sembarang khalifah, hanya terbatas kepada 5 orang setelahnya saja. Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali & Hasan

Jadi sunnah di sabda beliau itu bukan hadits yg kita kenal. Bukan syariah. Lagipula khalifah juga bukan sumber syariah. So ada arti lain

Yaitu kebijakan beliau atas suatu peristiwa yang kadangkala secara tampilan berbenturan dg syariah.

Semisal kejadian kala ada pemuda yg minta dispensasi berzina. Para sahabat telah mau membentak pemuda itu, tapi Nabi bersikap berbeda

Atau semisal kala ada orang tua dan pemuda yang bertanya sama pada Nabi soal boleh apa tidak mencium istri kala puasa.

Jawaban Nabi berbeda, yg tua boleh, yg muda tidak. Atau contoh populer usai perang hunain. Kala Nabi dapat rampasan luar biasa banyak

Semestinya sahabatnya juga berhak mendapat bagian harta itu. Tapi saat itu mereka tak satupun diberi, malah orang2 yg baru masuk islam

Karena Nabi mempunyai tujuan lain. Nah ini yg dimaksud "sunnah" dalam hadits itu.

Kalau contoh dari para khalifah adalah semisal keputusan Abu Bakr memerangi kelompok yg sholat, sebab mereka menahan zakat.

Atau keputusan Umar tidak menerapkan hukuman potong tangan pada pencuri saat terjadinya paceklik panjang.

Atau momentum Ustman kala memutuskan tidak memundurkan diri dari jabatan khalifah saat didesak mundur.

Atau keputusan Ali memerangi sesama muslim di Nahrawan sebab mereka menebar fitnah dengan mengkafirkan muslim yg tak sepaham dg mereka

Atau keputusan Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah dengan pertimbangan menghindarkan pertumpahan darah antar ummat islam

Nah contoh di atas adalah seluruhnya "sunnah", maksudnya berpeganglah pada cara kami bersikap saat terjadi semacam fitnah

Satu contoh lagi bagaimana Nabi diam tidak menyalahkan atau membenarkan 2 kelompok sahabatnya yg berbeda pendapat soal asar di quraidhah

Nah sebagian contoh itu adalah petunjuk kepada kita apa yang harus kita lakukan saat terjadinya hal yg secara tampilan menabrak syariah

Atau apa yang harus kita lakukan kala terjadinya suatu fitnah, terutama yg mengancam persatuan kelompok.

Karena dg itu kita bisa terhindar dari titik2 fitnah yg jika telah terjadi bisa melahap apa saja. Tak peduli orang shaleh atau preman

Semoga menambah ilmu, bahwa sunnah itu tak berarti hadits saja, atau ibadah saja. Namun juga cara bersikap Nabi dalam momen tertentu

by: Awy' Ameer Qolawun

Kisah Perjalanan Hidup 'Dulu Salafy-Wahhabi, Kini Kyai Sufi


Langkah dakwahnya telah dimulai sejak duduk di bangku STM. Sempat tergila-gila dengan paham Wahhabi, tapi akhirnya muballigh yang satu ini kembali ke jalur asalnya, Islam tradisional. Bahkan kini ia mendalami tasawuf dan thariqah.

Siapa yang tak kenal dengan muballigh yang satu ini. Wajahnya yang teduh kerap menghiasi layar kaca di rumah kita dalam acara santapan ruhani, dialog religi, atau pengantar berbuka puasa. Gaya bicaranya yang mantap dan materi ceramahnya yang sarat nilai-nilai tasawuf, meski tetap dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami, menjadikan tamu kita yang satu ini segera merebut perhatian jutaan umat Islam di tanah air.

Sejak penghujung dasawarsa 70-an ia telah mulai berdakwah, dimulai dari lingkungan tetangga dan teman-teman sekolahnya. Pertengahan era tahun '80-an, jadwal ceramahnya semakin padat, dari masjid ke masjid dan dari satu perkantoran ke perkantoran lain. Belakangan dakwahnya merambah ke stasiun-stasiun TV, dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, bahkan hingga lintas negara. Beberapa Negara seperti Jerman dan Perancis di Eropa, Jepang Singapura, Thailand, Brunei dan Malaysia di Asia, Australia hingga benua Amerika pernah dijelajahinya dalam safari dakwah.

Kiprah kemuballighannya tentu tak diragukan lagi, namun tak banyak yang tahu bahwa dai yang satu ini juga seorang pengamal tarekat. Bahkan ia adalah salah satu Wakil Talqin K.H. Ahmad Shohibul Wafa' Tajul 'Arifin alias Abah Anom, Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. "Wakil Talqin" adalah istilah untuk badal (asisten) guru mursyid dalam Thariqah Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah, yang dipimpin ulama sepuh yang lahir pada 1 Januari 1915 itu.

Dan, jika melihat aktivitas ketarekatannya saat ini, sepertinya tak ada yang menyangka bahwa di masa mudanya muballigh yang satu ini pernah sangat menggandrungi dan mendalami paham Wahhabi. Ia pernah sangat lekat dengan pemikiran islam ala A. Hassan Bandung, pendiri Persatuan Islam (Persis), bahkan ikut aktif mengajarkan Islam bercorak kanan itu kepada murid-murid cilik yang memadati pengajiannya.

Namun pencarian tak kenal lelah sang dai akhirnya membawa langkah kakinya kembali ke fitrah kebetawiannya, sebagai muslim tradisionalis dan penganut thariqah shufiyyah. Siapakah dia? Tak lain, dialah K.H. Wahfiudin, S.E., M.B.A., muballigh kondang ibukota yang asli Betawi, yang juga pemimpin RADIX Training Center, pusat pelatihan dakwah.

Dikunjungi alkisah suatu siang di rumah yang sekaligus menjadi kantornya yang terletak tak jauh dari Pasar Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, Ust. Wahfiudin tampak baru saja menunaikan shalat Dzuhur berjamaah bersama beberapa karyawannya. Setelah usai melantunkan dzikir rutin seusai shalat, sang Ustadz tidak segera beranjak dari duduknya. Dari bibirnya mengalun kalimah tauhid yang diucapkan dengan nada memanjang "laailaaha illallaah" sebanyak tiga kali, sambil diikuti oleh jamaahnya. Tak lama kemudian dari sudut kantor mungil itu kalimat tahlil kembali mengalun ratusan kali dengan irama yang lebih cepat, khas dzikir thariqah ala Suryalaya.

Selain digunakan untuk aktivitas perkantoran lembaga pengembangan sumber daya manusia RADIX Training Center dan perawakilan Dompet Dhuafa Rawamgun, pada waktu-waktu tertentu rumah Ust. Wahfiudin juga dijadikan majlis dzikir thariqah. Sungguh pemandangan unik di salah satu sudut perkantoran kota metropolitan.

Tadarrus Gila-gilaan
Lahir di Kampung Lima (kini jalan Sabang), Jakarta Pusat, pada 19 Oktober 1961, Wahfiudin adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Ayahnya Sakam Bahrum, seorang tukang pos keliling. Sementara ibunya, Aminah, membantu perekonomian keluarga dengan menjadi penjahit pakaian di rumah. Saat usianya dua tahun, keluarga Wahfiudin pindah ke Setiabudi, yang ditempatinya hingga bocah itu dewasa dan menikah pada tahun 1986. Baru pada tahun 1993, ketika anaknya sudah tiga, ia hijrah ke Rawamangun hingga saaat ini.

Seluruh keluarga Wahfiudin adalah aktivis pengajian. Saat kecil ia sering diajak nenek dan ibunya mengikuti pengajian Minggu pagi di Majelis Ta'lim Asy-Syafi'iyyah, Bali Matraman yang diasuh oleh ulama besar KH. Abdullah Syafi'i. Dan ketika duduk di kelas empat SD, setiap minggu ia menemani neneknya berjalan kaki dari setiabudi ke Bali Matraman melalui daerah Kampung Kuningan, yang waktu itu masih berupa perkebunan dan dipenuhi empang-empang.

Hebatnya, meski masih keci, setiap kali duduk di majlis ta'lim, Wahfiudin hanya mau duduk di barisan terdepan. Jika duduk di barisan kedua dan seterusnya, saya merasa sering terganggu oleh gerakan orang-orang di depan saya, dan saya jadi nggak konsentrasi mendengarkan ceramah Kiai,katanya sambil tersenyum mengenang masa kecilnya. Buat apa jauh-jauh berjalan kaki kalau sampai di sini nggak bisa menyerap ilmu dengan maksimal karena duduk di belakang, katanya saat itu.

Sejak mengetahui pengajian KH Abdullah Syafi'i itulah ia mulai ngefans berat dengan sang muallim dan beberapa ulama besar lain yang sering hadir di majlis KH Abudllah Syafi'i. Melalui majlis itu ia juga mulai merasakan ketertarikan terhadap dunia dakwah dan bercita-cita menjadi seorang dai.

Sejak SD, Wahfiudin juga sudah mulai ikut-ikutan belajar mengaji Al-Qur'an di rumah beberapa ustadz di kampungnya. Tapi baru setelah duduk di bangku SMP dan diajari langsung oleh ayahnya, ia bisa membaca Al Qur'an dengan baik. Saking senangnya, waktu masuk bulan Ramadhan, ia membaca Al-Qur'an (tadarrus) secara "gila-gilaan". Betapa tidak, dalam sebulan ia mampu mengkhatamkan Al Qur'an tiga kali.

Uniknya, meski bercita-cita menjadi juru dakwah, Wahfiudin tidak pernah sekalipun sekolah di madrasah. Pendidikan dasarnya ia tempuh di SD Setiabudi, kemudian melanjutkan di SMPN 57. Di kedua jenjang sekolah itu prestasi akademinsya terbilang bagus. Ia sering menyabet peringkat tiga besar di kelasnya. Karena itu, ketika memasuki tahun terakhir di SMP, ia bercita-cita akan mendaftar ke beberapa SMA di negeri favorit di ibu kota.

Berpikir ala PERSIS
Namun alangkah terkejutnya ketika suatu hari ayahnya memanggil dia dan berkata, îNak, SMA itu dirancang untuk anak-anak yang akan kuliah. Sedangkan bapakmu yang cuma pegawai kantor pos rendahan ini nggak akan kuat membiayai kamu kuliah. Apalagi adik-adikmu masih banyak. Karena itu kamu masuk sekolah kejuruan saja ya, nak. Biar nantinya lekas dapat kerja.

Meski hatinya hancur, Wahfiudin menuruti keinginan orangtuanya, "Sedih juga", kenangnya. "Apalagi kalau melihat teman-teman yang prestasinya jauh di bawah saya bisa bersekolah di SMA-SMA negeri favorit, seperti SMAN 3 Jakarta".

Saat memutuskan masuk sekolah kejuruan, Wahfiudin, yang berpembawaan tenang, sempat kebingungan juga. "Mau masuk STM, saya takut terlibat perkelahian antar pelajar. Mau masuk SMEA, saya malu, karena kebanyakan muridnya perempuan". Akhirnya ia mendaftar di STM Penerbangan, Kebayoran.

Namun, saat di STM, Wahfiudin sering merasa jenuh di kelas dan memilih membolos, lalu nongkrong di perpustakaan DKI di Kuningan. Belakangan ia menyalurkan kejenuhannya dengan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Di PII ini ghirah berdakwahnya yang sempat terpatri saat kecil kembali tergali.

Kebetulan tahun-tahun itu (1978) di kalangan aktivis PII sedang nge-trend mengikuti LMD (Latihan Mujahid Dakwah) di Bandung yang dipelopori Bang Imad (Imaduddin Abdurrahim). Sebenarnya pelatihan itu khusus untuk level mahasiswa. Tapi karena Wahfiudin ngotot, akhirnya senior-seniornya di PII memberinya rekomendasi untuk mengikuti LMD.

LMD memberi saya wawasan ilmu agama yang rasional dan ilmiah, katanya. Sejak usai mengikuti LMD, ia juga bertekad untuk menjadi muslim yang baik dan menguasi minimal dua bahasa asing sebagai modal dakwah.

Obyek dakwah pertamanya adalah tetangga-tetangga di lingkungan rumahnya. Wahfiudin prihatin melihat banyak remaja dan pemuda di kampungnya yang terjerumus dalam minuman keras. Namun karena sebaya, setiap kali ia mengingatkan mereka, Wahfiudin selalu dilecehkan.

Karena 'putus asa' menghadapi yang besar, Wahfiudin lalu mengubah strategi dakwahnya dengan mendekati anak-anak kecil. Kepada orangtua-orangtua mereka ia meyakinkan, harus dilakukan pemotongan generasi untuk menghindari penularan kebiasaan buruk remaja kampung itu kepada anak-anak kecilnya. Ia pun meminta izin kepada mereka untuk mengumpulkan anak-anak mereka buat belajar membaca Al Qur'an sambil sedikit-sedikit disisipi dengan nasehat akhlaq.

Ternyata tanggapan mereka sangat positif. Bahkan salah seorang tetangga Wahfiudin menyediakan rumahnya untuk dijadikan tempat pengajian. Untuk memperkaya wawasan keagamaanya, ia sering berkonsultasi ke Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Staf Dewan Dakwah yang sering membimbingnya waktu itu antara lain Ustadz Fauzi Agustjik dan Ustadz Syuhada Bahri.

Tak hanya diberi mentoring dakwah, Wahfiudin juga sering mendapat buku-buku bacaan agama.

Tapi kebanyakan buku karya A. Hassan, tokoh Persis Bandung. "Karenanya waktu itu pola pikir saya ala Persis banget. Ini Al Qur'annya, ini haditsnya, lain dari ini salah. Pokoknya jebret-jebret!" katanya sambil memperagakan gerakan silat.

Lama kelamaan pengajiannya semakin besar, sehingga kelompok pengajiannya harus dipecah jadi dua kelompok. Hingga tahun berikutnya, murid pengajiannya telah menjadi 24 kelompok, dan murid senior sudah mulai membantu mengajari adik-adik kelasnya. Waktu itu belum ada model Taman Pendidikan Al Qur'an seperti sekarang. "Alhamdulillah lama kelamaan banyak anak remaja yang juga ikut bergabung", kenang Wahfiudin.

Tak hanya di rumah, di sekolahnya ia juga mempelopori pelaksanaan shalat Jum'at di aula yang difungsikan sebagai masjid. Untuk mengadakan peralatan dan perlengkapannya, seperti tikar, mimbar, sound system dan honorarium khatib, Wahfiudin mengajak temang-temannya menggalang dana dari para donatur. Yang paling banyak membantu saya dan teman-teman waktu itu adalah Yayasan Lampu Iman, yang dipimpin Bapak H.M. Dault (ayahanda Bapak Adhyaksa Dault, Menpora dimasanya), kisahnya.

Shalat Jum'at pertama digelar 35 jamaah dan H.M. Dault bertindak sebagai khatib dan imam. Meski berawal 35 jamaah, lama-kelamaan jum'atan itu semakin ramai oleh karyawan perkantoran di sekitar sekolahnya.

Khatib Pengganti
Terkait Shalat Jum'at di sekolah ini, ada sebuah pengalaman pahit tapi sangat berharga bagi Wahfiudin. Suatu ketika, khatib yang ditunggu-tunggu jamaah tidak datang. Jamaah mulai gelisah. Parahnya saat mengetahui khatib tidak hadir, pukul setengah satu guru agama sekolah itu pergi ke masjid lain. Akhirnya shalat Jum'at hari itu dibatalkan dan diganti shalat Dzuhur berjamaah dengan Wahfiudin sebagai imamnya.

Beberapa waktu kemudian peristiwa itu kembali terulang. Pengalaman itu memacunya mulai belajar berkhutbah secara otodidak. Dan ketika suatu saat seorang khatib berhalangan hadir, ia memberanikan diri menyampaikan khutbah Jum'at dengan bekal buku kumpulan khutbah yang dibelinya di Pasar Blok M.

Waktu turun dari mimbar, saya merasa lega banget. Wah! ternyata khutbah Jum'at itu tidak sulit, asal kita mengetahui syarat dan rukunnya, kenang Wahfiudin sambil terkekeh. Sejak itu, setiap kali ada khatib yang berhalangan hadir di sekolahnya, Wahfiudin-lah yang selalu tampil menggantikan.

Selepas STM, semangatnya mendalami agama Islam dan khususnya bahasa Arab dan Inggris semakin menggebu. Dari keterangan beberapa ustadz pembimbingnya, ia mendengar kehebatan pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur dalam membekali santri-santrinya dengan dua bahasa Internasional itu. Dengan modal nekat, Wahfiudin lalu pergi ke Ponorogo dan mendaftarkan diri di Pesantren Gontor.

Menaati Ucapan Kiai
Meski lulus tes, tak urung keikutsertaan Wahfiudin yang sudah lulus STM membuat panitia penerimaan santri baru kebingungan menempatkannya. Akhirnya ia dihadapkan kepada pengasuh Gontor waktu itu, K.H. Imam Zarkasyi, yang segera menanyainya, "Kamu sudah lulus STM, ngapain masuk Gontor?"

"Saya mau mendalami agama sekaligus bahasa Arab", jawab Wahfiudin lugu.

"Tapi di sini kamu akan dimasukkan ke kelas eksperimen dan diberlakukan seperti anak kelas satu SMP. Sayang sekali jika waktu kamu habis terbuang disini," kata sang Kiai.

Melihat kesungguhan Wahfiudin, Kiai Imam Zarkasyi lalu menyarankan, "Jika ingin mendalami bahasa Arab, lebih baik kamu kembali ke Jakarta dan mendaftar ke Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA, kini LIPIA), yang baru saja dibentuk oleh Universitas Ibnu Saud Riyadh. Karena milik pemerintah Saudi, jadi full beasiswa."

Dengan semangat baru, Wahfiudin pun kembali ke Jakarta dan mendaftar seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus LPBA, yang waktu itu terletak di Jalan Raden Saleh. Ternyata pendaftarnya ribuan, sementara kursi yang tersedia hanya seratus delapan puluh.

Melihat saingannya rata-rata alumnus pesantren dan madrasah aliyah, tak urung Wahfiudin grogi juga. Tapi akhirnya ia berhasil menembus seleksi.

Kuliah di LPBA, selain membuat Wahfiudin menikmati fasilitas belajar yang terbilang mewah, juga membuatnya cukup berlimpah uang. "Betapa tidak, waktu itu ongkos naik bus masih Rp 250, saya sudah mendapat beasiswa sebesar Rp 180 ribu per semester," kenangnya.

Karena itu, ketika jadwal kuliahnya sudah tidak terlalu padat, ia mendaftar di Akademi Teknik Komputer (ATK, belakangan jadi Bina Nusantara). Jadilah Wahfiudin kuliah ganda, pagi di LPBA dan sorenya di ATK.

Di semester keenamnya di LPBA ia mendapat tawaran kerja dari senior HMI-nya di Rabithah Alam Islami, sebagai asisten Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Tentu saja tawaran itu tidak ia sia-siakan, meskipun harus mengorbankan pendidikannya di LPBA. Karena hanya menekankan hafalan.

Ketika ia berpamitan kepada dosen-dosenya di LPBA, ustadz Mamduh (kini doktor) dosen yang paling dekat dengannya, menyesalkan keputusannya keluar dari LPBA. "Kalau saja kamu mau bersabar sedikit, beberapa bulan lagi kamu lulus dari LPBA dan kamu beserta lulusan terbaik lainnya akan dikirim untuk meneruskan pendidikan di Saudi," kata sang Ustadz.

Tak hanya itu, Ustadz Mamduh juga menunjukkan daftar mahasiswa yang rencananya akan langsung diberangkatkan ke Saudi selepas ujian terakhir di LPBA. Dan benar, nama Wahfiudin ada dalam daftar tersebut, "Sebenarnya ini rahasia, tapi nggak apa-apalah saya tunjukkan ke kamu", ujarnya.

Hati Wahfiudin sangat gamang. Ia pun bertanya kepada ustadznya, jurusan apa saja yang bisa ia ambil. "Kamu bisa kuliah di Fakultas Bahasa Arab, Tarbiyah, Syariah atau Ushuluddin,"jawab sang ustadz.

Wahfiudin menggeleng, "Saya mau ngambil jurusan teknik perminyakan atau sosiologi," kata Wahfiudin lagi.

"Jurusan-jurusan itu hanya untuk kalangan-kalangan tertentu. Jangankan orang dari luar, warga Saudi sendiri tidak semuanya bisa kuliah di sana", jawab ustadznya.

"Kalau begitu saya lebih baik keluar. Buat apa jauh-jauh ke Saudi hanya untuk belajar ilmu agama. Kalau mau ilmu agama, saya lebih baik belajar di Indonesia saja. Saya bisa masuk IAIN atau pesantren," kata Wahfiudin tegas.

Sang ustadz, yang asli Mesir dan staf kedutaan yang mendampinginya terperangah, "Kenapa begitu?" tanya sang ustadz.

"Tentu saja. Sistem pendidikan agama di Saudi kan hanya menekankan pada hafalan Al-Qur'an dan hadits, tetapi tidak mendidik mahasiswanya untuk berfikir. Kami tidak diajari untuk menelaan masalah, tidak memperluas wawasan," jawab Wahfiudin. "Kayaknya belajar di sana itu semua mahasiswanya dibilangin, "Kau hafalkan dalil-dalil ini, semua yang berbeda dengan ini adalah bid'ah, syirik, khurafat!" ceritanya kepada alkisah.

Ustadz Mamduh menengok koleganya yang orang Saudi asli.

Ternyata sang diplomat tidak marah. Dengan anggukan mafhum, ia berkata, "Yah itulah kelemahan sistem pendidikan kami".

Akhirnya jadilah ia bekerja di Rabithah. Tugasnya mengkoordinir dai-dai yang direkrut Rabithah untuk diterjunkan ke daerah-daerah transmigrasi di Sumatera. Setiap ada surat konsultasi dari dai di daerah kepada Profesor Rasjidi, dialah yang ditugasi menjawabnya. Perlahan wawasannya semakin bertambah luas.

Dakwah Go Public
Seiring dengan itu dakwah Wahfiudin juga mulai diterima masyarakat, terutama masyarakat perkantoran. Pada tahun 1983, ia sering berceramah di pengajian ba'da Dzuhur dan pengajian after office (usai jam kerja) yang saat itu cukup membudaya di perkantoran Jakarta. Dari jaringan perkantoran itu juga ia sering diundang berceramah ke kantor-kantor cabang di luar kota, bahkan hingga luar jawa.

Tahun 1995, seiring dengan bermunculannya stasiun-stasiun televisi swasta, dakwah Ustadz Wahfiudin pun mulai merambah ke layar kaca. Dimulai dengan kuliah tujuh menit menjelang berbuka, lalu di acara pengajian-pengajian waktu sahur di TPI. Sejak itulah ustadz Wahfiudin mujlai go public dan dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat.

Berkah lainnya, ia juga mendapat undangan dari luar negeri. Dimulai dari Jerman, lalu Perancis, Malaysia, Amerika dan seterusnya.

Dakwah di negeri asing juga memperkenalkannya dengan tokoh ulama dunia, sperti Syaikh Muhammad Hisham Kabbani, tokoh Tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah dari Amerika. Bahkan, belakangan Syaikh Hisham mengundangnya selama tiga bulan ke negeri Paman Sam untuk menghadiri seminar tasawuf sekaligus mengikuti safari dakwah.

Ihwal kedekatannya dengan dunia thariqah, Kiai Wahfiudin mengaku, bermula pada tahun 1988, saat ia merasakan kekeringan dalam keberagamaannya yang menganut faham Wahhabi. "Sebab faham Wahhabi cenderung menafsirkan segala sesuatu secara harfiah atau tekstual saja", katanya.

Kiai muda itu pun mulai membuka-buka kembali buku-buku islam tradisional, yang lebih dinamis dan terbuka terhadap pemikiran madzhab, filsafat dan tasawuf. "Keislaman saya perlahan terasa segar kembali dan lebih arif dalam menyikapi segala sesuatu".

Sejak itu ia merasa, langkahnya terus dibimbing mendekat kepada ulama-ulama besar kalangan tradisionalis. Tahun 1995, misalnya ia mendapat kesempatan mengantar seorang teman muslim dari Jerman berkunjung ke Pesantren Suryalaya dan berjumpa dengan Abah Anom. Setelah melalui serangkaian dialog dengan sang mursyid, Kiai Wahfiudin ditalqin dzikir dan dibay'at masuk Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.

Setelah itu berturut-turut ia berjumpa dengan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, yang memeluknya erat-erat sebelum memberikan khirqah, di Makkah, pada musim haji tahun 1996. Lalu dengan Syaikh Hisham Kabbani di Amerika pada akhir tahun 1997, yang kemudian menawarinya menjadi perwakilannya di Indonesia.

Tak hanya itu kesungguhan Kiai Wahfiudin berthariqah belakangan mendapat pengakuan dari guru mursyidnya. Pada tahun 1998, ketika ia tengah berada di Amerika, Abah Anom mengangkatnya menjadi salah seorang wakil talqinnya.

Meski kelihatannya singkat, hanya dua tahun setelah Kiai Wahfiudin pertama kali di talqin dzikir, proses pengangkatannya menjadi wakil talqin melalui proses yang cukup berliku.

Selesai dibay'at, ia keluar dari rumah Abah Anom, ia memborong buku-buku di toko buku Suryalaya dan membacanya di rumah sepanjang tahun itu. Ia berharap akan mendapat banyak ilmu dan pencerahan spiritual dari buku-buku tersebut.
"Sebagai mantan pengikut Wahhabi, saya berusaha mengkunyah-kunyah ajaran tasawuf itu dengan pendekatan rasional dan teoritis", katanya.

Pencerahan Sejati
Hasilnya, ia memang mendapat banyak ilmu yang membuatnya semakin yakin akan kebenaran dan pentingnya thariqah dalam kehidupan beragama. Namun di sisi lain ia merasa, semua bacaannya belum memberinya tambahan 'nilai' dalam qalbunya.

Suami Hj. Rachmajanti dan ayah lima anak itu penasaran. Setahun setelah dibay'at, Pesantren Suryalaya mengadakan Pelatihan Muballigh Tarekat. Dengan penuh harapan, ia pun mendaftar. Namun lagi-lagi ia merasa semua materi pelatihan yang diberikan selama empat hari itu tidak memberinya tambahan ilmu. "Semua yang dismpaikan sudah saya baca di buku-buku yang saya beli", katanya.

Baru setelah sampai di rumah dan menunaikan shalat lalu berdzikir, ia tersadar. Meski sepertinya tidak mendapatkan tambahan ilmu, ia merasakan ada perubahan mendasar dalam hatinya. Ia merasakan ada 'sesuatu' yang menggetarkan qalbunya. Lalu ia merenung, mencerna apa yang tengah dialaminya.

"Akhirnya saya baru sadar, selama ini saya hanya membaca dan membaca ilmu thariqah. Tapi tak sekali pun dzikirnya saya amalkan. Saya kelewat bersemagat mencoba mencernanya dengan otak dan logika. Tetapi selama empat hari mengikuti pelatihan saya diajak mengamalkan dzikirnya secara konsisten setia habis shalat fadhu dan sunnah", katanya dengan pandangan berbinar.

Ternyata thariqah itu memang untuk diamalkan, kata Wahfiudin, bukannya sekadar dikaji, dibaca atau didiskusikan. "Membaca atau mendiskusikan thariqah tidak akan menambah nilai apa pun dalam spiritualitas kita. Tapi dengan mengamalkannya secara istiqomah, kita akan mengalami perjalanan spiritual dan satu persatu hijab qalbu kita akan terbuka. Saat itulah pengetahuan sejati akan berdatangan dengan sendirinya", ujarnya.

Sejak itu, seperti mendendam, semua buku thariqah itu ia masukkan lemari dan ia kunci. Kali itu Wahfiudin mencoba lebih memahami thariqah dengan mempraktekkan dan mempraktekkan.

"Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian terbukti. Pengetahuan dan pengamalan spiritual yang saya dapatkan melalui pengamalan itu ternyata jauh lebih banyak daripada semua buku yang saya baca", katanya.

Kedekatannya dengan Abah Anom juga memberinya pengalaman spiritual menarik. Wahfiudin yakin, dengan keistiqomahannya dalam beribadah dan membimbing umat, Abah Anom adalah salah seorang waliyullah. Baginya, seorang wali adalah orang yang di dalam dirinya terdapat minimal empat hal:
Ketekunan dalam beribadah
Akhlaq yang mulia
Kemampuan menggenggam qalbu murid-muridnya, dan
Karomah
Mengenai kriteria yang ketiga, ia pernah memiliki kisah menarik. Suatu hari salah seorang jamaahnya berpamitan padanya untuk pindah mengikuti tarekat lain. Alasannya karena teman-temannya yang mengikuti tarekat lain tersebut banyak yang mendapat pengalaman luar biasa dan kesaktian.

Dengan ringan, Wahfiudin mengatakan, "Silakan!".

Beberapa bulan kemudian , orang itu datang lagi dan menyatakan kapok, karena tarekat dan mursyid barunya itu tak seperti yang ia bayangkan. Ia ingin kembali kepada Thariqah Qadiriyyah wa Nagsyabandiyyah yang diasuh Abah Anom.

Lagi-lagi sang Wakil Talqin mengatakan, "Silakan!"

Orang itu lalu menanyakan mengapa dulu Ustadz Wahfiudin mengizinkannya pindah tarekat. "Alasannya dua," kata sang ustadz, "Pertama, karena kamu sedang gandrung dengan ilmu kesaktian. Saya larang pun, kamu akan tetap mencari-cari cara untuk mempelajarinya. Kedua, saya juga ingin tahu seberapa tinggi tingkatan guru mursyid barumu itu". Seorang yang juga wali seperti Abah Anom mempunyai kemampuan menggenggam qalbu murid-muridnya.

Demikianlah K.H. Wahfiudin. Bisa dibilang, ia termasuk orang yang beruntung, karena mendapat kesempatan belajar dari pengalamannya yang luas malang melintang, melintasi beragam sisi keberagamaan. Meski begitu, ia masih belum merasa puas. Ada satu hal menurutnya hingga kini belum ia raih, yakni istiqomah dan ikhlas dalam beribadah. Luar biasa!

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews
Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2014/06/kisah-perjalanan-hidup-dulu-salafy.html#ixzz33qUYR8ji
-----------------------
Hasil wawancara wartawan majalah alkisah Ali Yahya kepada KH. Wahfiudin, SE, MBA, Mei 2008 | Dimuat dalam majalah alkisah No. 12/2-15 Juni 2008 halaman 38-47. | Ditulis ulang oleh Handri Ramadian asisten KH. Wahfiudin, SE, MBA. | Repost : mwcnurawalumbu
------------------------

PENDIRI NAHDLATUL 'ULAMA

Photo: PENDIRI NAHDLATUL ULAMA

1. KH.HASYIM ASY'ARI ( 1817-1947 )

Tebuireng Jombang - Rois Akbar 1926-1947

2. KH.RIDWAN ABDULLAH ( 1884-1962 )

Surabaya - Pencipta Lambang NU

3. KH.BISRI SYAMSURI ( 1886-1980 )

Denanyar Jombang - A'wan Pertama Dan Rois Aam 1971-1980

4. KH.MA'SHUM ( 1870-1972 ) Lasem

5. KH.ABDUL WAHAB CHASBULLAH ( 1888-1971 )

Tambak Beras Jombang - Khotib Pertama 1926 Dan Rois Aam 1947-1971

6. KH.A.DACHLAN ACHJAD

Malang - Wakil Rois Aam Pertama 1926

7. KH.ABDUL HALIM - Leuwimunding Cirebon

8. KH.ABDUL CHAMID FAQIH

Sedayu Gresik - Pengusul Nama NU " NUHUDLUL ULAMA "

9. KH.MAS ALWI BIN ABDUL AZIZ

Surabaya - A'wan Pertama Dan Pencipta Nama NU " NAHDLATUL ULAMA "

10. SYEKH GHONAIM

Surabaya ( Asal Mesir ) Mustasyar Pertama 1926

11. KH.R.ASNAWI ( 1861-1959 )

Kudus - Mustasyar Pertama 1926

12. KH.ABDULLAH UBAID ( 1899-1938 )

Surabaya - A'wan Pertama 1926

HALAL BAGI YANG MAU TAG DAN SHARE ... !!!!!
PENDIRI NAHDLATUL ULAMA

1. KH.HASYIM ASY'ARI ( 1817-1947 )

Tebuireng Jombang - Rois Akbar 1926-1947

2. KH.RIDWAN ABDULLAH ( 1884-1962 )

Surabaya - Pencipta Lambang NU

3. KH.BISRI SYAMSURI ( 1886-1980 )

Denanyar Jombang - A'wan Pertama Dan Rois Aam 1971-1980

4. KH.MA'SHUM ( 1870-1972 ) Lasem

5. KH.ABDUL WAHAB CHASBULLAH ( 1888-1971 )

Tambak Beras Jombang - Khotib Pertama 1926 Dan Rois Aam 1947-1971

6. KH.A.DACHLAN ACHJAD

Malang - Wakil Rois Aam Pertama 1926

7. KH.ABDUL HALIM - Leuwimunding Cirebon

8. KH.ABDUL CHAMID FAQIH

Sedayu Gresik - Pengusul Nama NU " NUHUDLUL ULAMA "

9. KH.MAS ALWI BIN ABDUL AZIZ

Surabaya - A'wan Pertama Dan Pencipta Nama NU " NAHDLATUL ULAMA "

10. SYEKH GHONAIM

Surabaya ( Asal Mesir ) Mustasyar Pertama 1926

11. KH.R.ASNAWI ( 1861-1959 )

Kudus - Mustasyar Pertama 1926

12. KH.ABDULLAH UBAID ( 1899-1938 )

Surabaya - A'wan Pertama 1926
Photo: Monopolilah syurga & tuduhlah kafir agar kau dianggap sebagai ahli agama

ISLAMTOLERAN.COM- Tak Usahlah berkeinginan untuk memiliki kefahaman matang terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadist seperti yang dimiliki oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA, karena kau hanya akan dituduh sebagai penganut Syiah.

Tak Usahlah Bercita-cita memiliki keluasan ilmu dan kelembutan tutur kata seperti yang dimiliki oleh KH. MUSTOFA BISRI, karena kau hanya akan dicap sebagai kaum liberal.

Tak Usahlah beragan-angan untuk memiliki keluasan ilmu Balaghah, dan Mantiq seperti DR. KH. Said Aqil Siradj, karena kau hanya akan dituduh antek Syiah, Liberal, dan Sekuler.

Tak Usahlah meminta kepada Tuhan agar kau dijadikan orang yang ma'rifat seperti anugerah yang diperoleh KH. Abdurrahman Wahid, karena kau hanya akan dicap sebagai manusia sesat.

Tak Usahlah bersikap toleransi terhadap kaum minoritas bila ilmu engkau belum bisa memahami sikap pancasilais seorang DR. KH Nuril Arifin Husein, MBA ( Gus Nuril ), sebab engkau akan dicap Kiyai Pendeta.

Tak usahlah kau belajar berfikir kritis menanggapi dogma-dogma agama dan giat menyerukan sains seperti Dawkins dan Hawking, karena kau hanya akan dicap sebagai Atheist.

Bertakbirlah sekencang-kencangnya di sepanjang kerumunan, maka kau akan dianggap sebagai kekasih Tuhan.

Berjubahlah dan bersopanlah dalam berbusana, monopolilah syurga, dan tuduhlah kafir kepada sesama, maka kau akan dianggap sebagai ahli agama.

Ah sudahlah....cukuplah aku menjadi manusia bodoh saja...

(KH. Damai Aceh, PhD, M. Sarkub. L.c)

SUMBER: http://www.islamtoleran.com/monopolilah-syurga-tuduhlah-kafir-agar-kau-akan-dianggap-sebagai-ahli-agama/

" BOLEH DI SHARE"
Tak Usahlah berkeinginan untuk memiliki kefahaman matang terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadist seperti yang dimiliki oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA, karena kau hanya akan dituduh sebagai penganut Syiah.

Tak Usahlah Bercita-cita memiliki keluasan ilmu dan kelembutan tutur kata seperti yang dimiliki oleh KH. MUSTOFA BISRI, karena kau hanya akan dicap sebagai kaum liberal.

Tak Usahlah beragan-angan untuk memiliki keluasan ilmu Balaghah, dan Mantiq seperti DR. KH. Said Aqil Siradj, karena kau hanya akan dituduh antek Syiah, Liberal, dan Sekuler.

Tak Usahlah meminta kepada Tuhan agar kau dijadikan orang yang ma'rifat seperti anugerah yang diperoleh KH. Abdurrahman Wahid, karena kau hanya akan dicap sebagai manusia sesat.

Tak Usahlah bersikap toleransi terhadap kaum minoritas bila ilmu engkau belum bisa memahami sikap pancasilais seorang DR. KH Nuril Arifin Husein, MBA ( Gus Nuril ), sebab engkau akan dicap Kiyai Pendeta.

Tak usahlah kau belajar berfikir kritis menanggapi dogma-dogma agama dan giat menyerukan sains seperti Dawkins dan Hawking, karena kau hanya akan dicap sebagai Atheist.

Bertakbirlah sekencang-kencangnya di sepanjang kerumunan, maka kau akan dianggap sebagai kekasih Tuhan.

Berjubahlah dan bersopanlah dalam berbusana, monopolilah syurga, dan tuduhlah kafir kepada sesama, maka kau akan dianggap sebagai ahli agama.

Ah sudahlah....cukuplah aku menjadi manusia bodoh saja..

Kafirku, Kafirmu, Kafir Kita Semua

 
“Wis anggaplah aku ini kafir fir...
terus opo hakmu utowo hak wong liyo terhadap aku...
Iki menyangkut martabat manusia....
Mengenai benar kafir tidak orang itu....
wilayahnya Allah.....

Urusan sesrawung antar manusia ...
adalah ojo nuding-nuding wong,...
itu merendahkan dan menyakiti hatinya....

Sedang di dalam Islam ....
sangat dilarang menyakiti hati orang lain....

Wis anggaplah misalnya Gus Dur itu antek Yahudi....
terus kalian mau apa.....

Apakah kalian yakin ....
bahwa saya muslim ...
Dari mana kalian tau saya muslim?
Kalau ternyata saya hanya akting?
Kalau darah saya halal....
wis gek ndang dipateni ....
dan okeh sing kudu dipateni....

Allah saja masih memiliki ruang ....
barangsiapa mau beriman maka berimanlah....
barangsiapa mau kufur...
silakan kufur.....

Maka....
kepada orang yang kita anggap sesat ...
atau kufur....
mbok wis didongakke wae ...
supaya diberi hidayah oleh Allah...

Jangan dituding-tuding...
Itu menghina martabat manusia...
Musuh kita adalah kesempitan ....
dan kedangkalan berpikir...
koyo JARAN....
Anda semua harus ombo...
dan jembar pikirane....

Harus mengerti kiasan...
dan konteks-konteks....
Makanya...
sebelum omong banyak tentang Islam....
yuk belajar dulu jadi manusia....

Manusia yang manusia itu melu keroso loro (sakit)...
kalau ada manusia lainnya disakiti hatinya....
Bahkan kalau kita menyakiti orang lain ...
aslinya kita sendiri juga merasa sakit....
Manusia yang jembar dan murni ...
itu sesungguhnya pandai merasa (rumongso/ngroso)...

Rasulullah saja ketika diprotes sahabat ...
tentang Bilal yang tak bisa mengucap huruf Syin....
kok malah dipilih sebagai muadzin...
justru menjawab...
pokoknya ...
kalau kalian mendengar dia mengucap sin....
padahal yang harusnya syin....
itu maksudnya syin.....
Itulah kearifan Rasulullah...

Kalau kalian tidak menerima hal ini....
berarti kamu menghina orang celat....
Bisa kualat kita ...

semoga #tidakgagalpaham ..
(dikutip dari Quote MH Ainun Najib )

Thursday, July 17, 2014

BAHASA GERAM


Photo: BAHASA GERAM 
Oleh: KH.Ahmad Mustofa Bisri

Bangsa ini sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah hanya karena panas global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung dapur, bahkan di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja orang yang marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun –apalagi teve--tampaknya suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan.

Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di forum-forum terhormat itu dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para demonstran di jalanan. Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para “pembawa aspirasi” gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”. Demokrasi yang–setelah euforia reformasi--dipahami sebagai sesuatu tatanan yang mesti bermuatan kekasaran dan kemarahan.

Yang lebih musykil lagi “bahasa kemarahan” ini juga sudah seperti tren pula di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah keagamaan, ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka. Seolah-olah tanpa gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah khotbah dan makalah sejati.

Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, di hari Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah “ustadz” yang dengan kebencian luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan “Orang Pintar Baru” (OPB) lebih kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat keagamaan dan ishlah.

Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu seiring dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang “mengajarkan” kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnya–yang agaknya juga OPB—di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-nya. Lalu menganggap apa yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah kebenaran sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah. Dan yang salah pasti jahanam.

Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat sana-sani tersebut pada gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu kemana-mana; termasuk ke media komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis orang di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk mengomentari suatu berita atau pendapat di “dunia maya” atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu.

Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan dengan slogan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah” tersebut akibat dari berbagai faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa ini beragama Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja musykil. Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut.

Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul SAW, yang terbaik dan paling baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung, Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam, terutama para pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan perilaku Nabi mereka.

Nabi Muhammad SAW sebagaimana diperikan sendiri oleh Allah dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa, pekerti yang agung (Q. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Q. 3: 159). Bacalah kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami sendiri bergaul dengan Rasulullah SAW. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung kita itu benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir r.a,“InnaLlaaha ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang memberi pelajaran dan memudahkan.

Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang dinilainya paling mulia bukanlah orang yang paling pandai atau paling fasih bicara (apalagi orang pandai yang terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau orang fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi Rasulullah SAW orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia akhlaknya. Wallahu a’lam.

[ 18 Juni 2010 ]
 Oleh: KH.Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)

Bangsa ini sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah hanya karena panas global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung dapur, bahkan di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja orang yang marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun –apalagi teve--tampaknya suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan.

Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di forum-forum terhormat itu dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para demonstran di jalanan. Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para “pembawa aspirasi” gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”. Demokrasi yang–setelah euforia reformasi--dipahami sebagai sesuatu tatanan yang mesti bermuatan kekasaran dan kemarahan.

Yang lebih musykil lagi “bahasa kemarahan” ini juga sudah seperti tren pula di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah keagamaan, ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka. Seolah-olah tanpa gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah khotbah dan makalah sejati.

Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, di hari Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah “ustadz” yang dengan kebencian luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan “Orang Pintar Baru” (OPB) lebih kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat keagamaan dan ishlah.

Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu seiring dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang “mengajarkan” kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnya–yang agaknya juga OPB—di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-nya. Lalu menganggap apa yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah kebenaran sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah. Dan yang salah pasti jahanam.

Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat sana-sani tersebut pada gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu kemana-mana; termasuk ke media komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis orang di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk mengomentari suatu berita atau pendapat di “dunia maya” atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu.

Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan dengan slogan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah” tersebut akibat dari berbagai faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa ini beragama Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja musykil. Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut.

Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul SAW, yang terbaik dan paling baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung, Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam, terutama para pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan perilaku Nabi mereka.

Nabi Muhammad SAW sebagaimana diperikan sendiri oleh Allah dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa, pekerti yang agung (Q. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Q. 3: 159). Bacalah kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami sendiri bergaul dengan Rasulullah SAW. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung kita itu benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir r.a,“InnaLlaaha ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang memberi pelajaran dan memudahkan.

Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang dinilainya paling mulia bukanlah orang yang paling pandai atau paling fasih bicara (apalagi orang pandai yang terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau orang fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi Rasulullah SAW orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia akhlaknya. Wallahu a’lam.

[ 18 Juni 2010 ]