Pages

Thursday, February 27, 2014

Benci itu, Cinta yang Teramat Cinta

Jalaluddin Rumi, seorang tokoh sufi berpengaruh di dunia Islam dilahirkan di Balkh (sekarang Afganistan) pada tahun 604 H/1207 M. Ia dikenal sangat piawai dalam pemikiran esoteriknya melalui ungkapan syair-syair yang indah..

Kenapa demikian? Karena Rumi ini adalah seorang fiosofi dan filsufi yang pemahaman-pemahaman wihdatul wujudnya dan sebagainya dituangkan dalam karya sastra.

Sebuah contoh karya Jalaluddin Rumi adalah tentang penciptaan alam semesta ini yang dihubungkan dengan cinta, sebab katanya hal pertama yang di ciptakan oleh Tuhan adalah cinta.

"Cinta adalah samudra (tak bertepi) tempat langit menjadi sekadar serpihan-serpihan busa, (mereka kacau balau) bagaikan perasaan Zulaikha yang menghasrati Yusuf," salah satu karya rumi tentang "Cinta Universal"


Dalam perspektif Rumi, lanjutnya, dalam sebuah contoh, dua orang yang saling membenci, pada saat ketika bisa melakukan sikap saling membenci? Menurut pandangan Rumi kedua orang tersebut dilandasi karena cinta, sebab dibalik kebencian terdapat rasa sayang.

"Seperti dalam teori es, ketika berada pada titik 4 derajat Celcius menjadi sangat beku dan dingin, turun di titik 0 Celcius masih dingin, dan pada titik negatif ke bawah menjadi panas. Itu artinya karena bencinya kepada orang, itu menjadi cinta, maksud saya adalah kebencian itu ialah wujud cinta yang teramat cinta," 



Masuk ke dalam kategori apakah kita? Cinta? atau Benci? ;)

Wednesday, February 26, 2014

10 AJARAN DAN FILOSOFI ORANG JAWA

sesuai dasa aksara yaitu :

1. Urip Iku Urup
Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya
memberi manfaat bagi orang lain
disekitar kita, semakin besar manfaat
yang bisa kita berikan tentu akan lebih
baik
 

2. Memayu Hayuning Bawono,
Ambrasto dhur angkoro
Manusia hidup di dunia harus
mengusahakan keselamatan,
kebahagiaan dan kesejahteraan; serta
memberantas sifat angkara
murka,serakah dan tamak.
 

3. Suro Diro Joyoningrat, Lebur Dening
Pangastuti
segala sifat keras hati, picik, angkara
murka, hanya bisa dikalahkan dengan
sikap bijak, lembut hati dan sabar
 

4. Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo
Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih
Tanpo Bondho
Berjuang tanpa perlu membawa
massa; Menang tanpa merendahkan
atau mempermalukan; Berwibawa
tanpa mengandalkan kekuasaan,
kekuatan; kekayaan atau keturunan;
Kaya tanpa didasari kebendaan
 

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan
Susah Lamun Kelangan
Jangan gampang sakit hati manakala
musibah menimpa diri; Jangan sedih
manakala kehilangan sesuatu.
 

6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Ojo
Kagetan, Ojo Aleman (Jangan mudah
terheran-heran; Jangan mudah
menyesal; Jangan mudah terkejut;
Jangan mudah kolokan atau manja.
 

7. Ojo Ketungkul Marang
Kalungguhan, Kadonyan lan
Kemareman
Janganlah terobsesi atau terkungkung
oleh keinginan untuk memperoleh
kedudukan, kebendaan dan kepuasan
duniawi.
 

8. Ojo Keminter Mundak Keblinger, Ojo
Cidra Mundak Ciloko
Jangan merasa paling pandai dan
paling benar agar tidak salah
arah;Jangan suka berbuat curang agar
tidak celaka. dan jangan mengaku
tahu dan benar sebelum tahu yg
sebenarnya ( bukan katanya.....)
 

9. Ojo Milik Barang Kang elok, Aja
Mangro Mundak Kendo
Jangan tergiur oleh hal-hal yang
tampak mewah, cantik, indah; Jangan
berfikir mendua agar tidak kendor niat
dan kendor semangat.
 

10. Ojo Adigang, Adigung, Adiguna
Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.

Tuesday, February 25, 2014

Belajarlah dari Gelas

1. Gelas Pertama adalah gelas yang tertutup.
Karena tertutup, gelas ini tidak tidak dapat diisi dengan apapun. Gelas ini menggambarkan sikap seseorang yang tidak mau menerima kebenaran apapun dari orang lain. Orang ini menganggap ajaran orang lain adalah salah, meskipun dirinya sendiri tidak tahu mana yang benar. Ia tak mau menimbang dan merenungkan kata-kata orang lain.

2. Gelas Kedua adalah gelas yang sudah penuh berisi air.
Karena itu tidak dapat di isi dengan apapun. Gelas ini menggambarkan sikap seseorang yang mau mendengar, tetapi karena di dalam dirinya sudah ada ajaran yang dia percaya pasti benar, maka ajaran yang lain tidak bisa diterima olehnya. Ajaran yang sudah ia miliki ini menghalangi dirinya untuk mau menimbang dan merenungkan kata-kata dari orang lain.

3. Gelas Ketiga adalah gelas yang pecah.
Karena itu sekalipun dapat diisi, gelas ini tak bisa menampung air yang dituangkan kedalamnya. Gelas ini menggambarkan seseorang yang tidak mampu mencerna ajaran. Karena itu, meskipun dia ini mau mendengar, mau merenungkan ajaran yang diterima, tapi ada halangan kekotoran batin yang membuat dirinya tak mampu memahami ajaran. Entah itu halangan fisik, halangan mental atau kebodohan.

4. Gelas Keempat adalah gelas yang berisi kotoran.
Karena itu apapun yang dituangkan ke dalam gelas ini akan menjadi kotor. Gelas ini menggambarkan seseorang yang punya sikap jahat. Jika orang ini bertemu dengan yang pandai, ia akan menjadi iri. Kalau bertemu dengan yang lebih bodoh, ia akan menghina atau merendahkan. Kalau bertemu dengan yang setara, ia menganggapnya sebagai pesaing. Orang seperti gelas ke empat adalah tipe orang yang paling dihindari oleh seorang guru. Jika ada murid seperti ini, guru yang bijaksana akan menjauh.

5. Gelas ke Lima adalah Gelas yang kosong
Karena gelas ini kosong maka ia bisa di isi oleh berbagai macam pengetahuan. Gelas ini menggambarkan sikap seseorang yang ideal untuk belajar.

Makna Lagu Lir Ilir


Lir-ilir adalah tembang yang diciptakan dan digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk berdakwah menyebarkan agama Islam di Jawa.

Dalam Bahasa Jawa

  • Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
  • Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
  • Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
  • Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dododiro
  • Dododiro, dododiro, kumitir bedah ing pinggir
  • Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore
  • Mumpung pandhang rembulane, mumpung jembar kalangane
  • Yo sorak-o sorak hiyo !

Dalam Bahasa Indonesia

  • Sayup-sayup bangun dari tidur, pohon sudah mulai bersemi
  • Demikian hijau bagai gairah pengantin baru
  • Penggembala, tolong panjatlah pohon blimbing itu
  • Walaupun licin dan susah tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
  • Pakaian yang koyak sisihkanlah
  • Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
  • Mumpung masih terang rembulan nya, mumpung masih banyak waktu luang
  • Mari bersorak-sorak, ayo...

Makna Tembang Lir-ilir

sebagai orang Islam diminta bangun dari keterpurukan dan dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan. Iman kepada Allah ini dilambangkan dengan tanaman yang bersemi dan menghijau, begitu indah seperti kebahagiaan seorang pengantin baru. Kita disebut anak gembala karena Allah telah menganugerahkan hati dan iman sebagai amanah untuk dijaga. Si anak gembala diminta untuk memanjat pohon belimbing yang menggambarkan 5 Rukun Islam. Meskipun licin dan susah, kita harus tetap memenjat pohon belimbing tersebut apapun halangan dan risikonya. 5 Rukun Islam digunakan untuk selalu membersihkan (mencuci) pakaian kita, yaitu pakaian taqwa (taqwa = kesholehan hidup). Sebagai manusia biasa, ketaqwaan kita pasti terkoyak dan berlubang sana-sini. Untuk itu, kita diminta agar selalu memperbaiki dan membenahinya. Hal ini berguna agar kelak kita sudah siap dipangil oleh Allah. Semua itu harus kita lakukan sejak sekarang, ketika kita masih sehat dan mempunyai waktu luang. Jika ada yang mengingatkan, maka jawablah dengan " Iya ".


Sebagian ada lagi yang mengartikannya sebagai:

Lir-ilir, lir-ilir
tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.

tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar.
Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.

Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi.
Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.

Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro.
Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.

Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir.
Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.

dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore.
Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.

Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane.
Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.

Yo surako surak hiyo.
Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)

Monday, February 24, 2014

Do'a Abu Nawas Merayu Tuhan

Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami dan hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). Oleh masyarakat luas Abu Nawas dikenal terutama karena kecerdasan dan kecerdikan dalam melontarkan kata-kata, sehingga banyak lahir anekdot jenaka yang sarat dengan hikmah.
Lukisan Abu Nawas 
Berikut ini salah satu karya besarnya sebagai seorang penyair: Al-I’tiraaf – Sebuah pengakuan.

ِإِلهِي لََسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاَ# وَلاَ أَقوى عَلَى النّارِ الجَحِيم
Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi
Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim

فهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذنوبِي # فَإنّكَ غَافِرُ الذنْبِ العَظِيْم
Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar

ذنوبِي مِثلُ أَعْدَادٍ الرّمَالِ # فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَاذَاالجَلاَل
Dzunuubii mitslu a’daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali
Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan

وَعُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ # وَذنْبِي زَائِدٌ كَيفَ احْتِمَالِي
Wa ‘umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali
Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya

َإلهي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذنوبِ وَقَدْ دَعَاك
Ilaahii ‘abdukal ‘aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da’aaka
Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu

َفَإِنْ تَغْفِرْ فَأنْتَ لِذاك أَهْلٌ # فَإنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاك
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka
Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?

Saturday, February 22, 2014

Membentengi Aqidah Aswaja : Mengenal Identitas Diri dan Manhaj Talaqqi

Judul tulisan berikut adalah "MEMBENTENGI AQIDAH AHLUSSUNNAH" Oleh : Dr. KH. Yahya Zainul Ma'arif, atau yang dikenal akrab dengan Buya Yahy, Pengasuh LPD / Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah Cirebon.

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي حبَّب العبادة إلى المتقين، وحبَّب قلوبهم للانشغال بطاعة رب العالمين وجنبهم من البدعة والضلالة, والصلاة والسلام على سيدنا ونبينا محمد وعلى آله وأصحابه والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين


Muqoddimah


Sesuatu yang paling berharga yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba adalah aqidah yang benar. Maka ilmu yang membahas tentang aqidah yang benar adalah ilmu yang amat penting dibandingkan ilmu-ilmu yang lainya. Dan diskusi-diskusi yang diadakan jika hal itu untuk membela dan menjaga aqidah yang benar maka itu adalah sebaik-baik diskusi. Saat ini kami sungguh sangat berbahagia jika pada kesempatan ini kami para alim ulama untuk bersama-sama mendiskusikan aqidah dan bagaimana upaya kita untuk menjaga aqidah umat. Kami yakini bahwa kita semua akan senantiasa dalam lindungan dan pertolongan Allah sesuai janji Allah :

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ (٦٩)
“Dan mereka yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran-Ku sungguh Aku akan memberi petunjuk kepada mereka”.

Menjaga aqidah umat adalah sebaik-baik hadiah yang diberikan oleh para ulama kepada mereka kapan dan dimanapun berada. Lebih-lebih disaat merebaknya fitnah-fitnah yang menggerogoti aqidah-aqidah seperti yang kita rasakan dan saksikan pada saat ini. Bahkan ada diantara kita yang sudah keropos aqidahnya namun ia tidak merasa tergerogoti. Umat islam adalah umat yang besar akan tetapi sering lengah dengan jumlah yang besar ini sehingga kadang-kadang kita kurang mencermati hal-hal yang disusupkan musuh-musuh Allah dalam tubuh umat Islam. Maka dalam kesempatan pertemuan ini kami ingin menghadirkan sekilas tentang aqidah yang benar untuk bisa menjadi bekal bagi kita di dalam menegakkan dan menjaga aqidah umat Islam dunia dan Indonesia khususnya yang Alhamdulillah dari generasi ke gernerasi mereka pada aqidah yang benar yaitu ahlu sunnah wal jamaah.

Pertolongan Pertama Di Zaman Fitnah Aqidah

Yang kami maksud pertolongan pertama dizaman fitnah aqidah ini adalah bagaimana kita menghadirkan hal terpenting dan mende-sak yang dibutuhkan oleh ummat dalam upaya membentengi aqidah yang benar.

Ada dua hal yang secara subtansi dan maknawi tidak terlalu penting akan teapi hal tersebut perlu diperhatikan lebih karena dari situlah kesesatan akan masuk. Dua hal tersebut yang pertama mengenal sebuah identitas dan yang kedua adalah mempertahankan manhaj talaqqi.

1-Mengenal Sebuah Identitas

Di dalam kita berbicara untuk menjelaskan aqidah yang benar sangat sulit kalau sean-dainya hanya dalam ceramah yang singkat atau dalam pertemuan yang sesaat. Akan tetapi dengan menyadari dan memahami sebuah iden-titas diri kebenaran aqidahnya bisa dengan sangat mudah di jaga dan di kontrol agar seseorang tidak terbawa masuk dalam kelompok aqidah yang salah atau sesat. Dan hal ini bisa kita saksikan dalam amaliyah-amaliyah di dalam keseharian mereka mulai dari tawasulan, tahlilan, membaca kitab maulid secara bersa-maan (Asroqolan Atau Marhabanan) yang sungguh itu semua adalah amaliyah yang benar dan telah menjadi ciri khas aqidah yang benar biarpun sebenarnya pembahasan aqidah yang lebih penting bukan di dalam amaliah-amaliyah tersebut.

Kalau kita cermati para ulama terdahulu dalam urusan aqidah dan amaliyah, mereka lebih mementingkan isi daripada kulit. Hingga terkadang seorang muslim awam ahlu sunnah wal jamaah dengan kualitas aqidahnya yang sudah benar akan tetapi dia tidak mampu un-tuk menjelaskan ahlu sunnah wal jamaah dengan panjang dan lebar dengan pemaparan ilmiyah. Padahal sebetulnya penjabaran makna aqidah ahlu sunnah wal jamaah secara panjang lebar sudah dihadirkan dan disosialikan oleh ulama-ulama terdahulu dengan metode yang sangat sederhana dan kemasyarakatan sehingga sebuah aqidah sudah menyatu dengan kehidupan mereka.

Cara penjabaran dan pemaparan luas dan halus amatlah tepat pada masa disaat fitnah aqidah belum banyak tersebar. Akan tetapi disaat fitnah aqidah merebak dimana-mana dan pergeseran nilai aqidah mudah terjadi. Kita harus bisa mencermati sebab–sebab umat ini termakan fitnah. Kita bisa saksikan disaat munculnya ahli fitnah yang tidak henti-hentinya merendahkan dan mencaci aqidah ahli sunnah wal jamaah. Orang-orang awam pun diam karena tidak tahu kalau mereka sendiri yang dicaci karena mereka tidak mengenal identitas mereka sendiri.

Maka dari itu kami perlu mengenalkan sebuah identitas yang secara hakikatnya me-mang kurang penting sebab hal itu hanya berurusan dengan kulit dan bukan subtansi aqidah. Akan tetapi sebagai langkah pertama dalam membentengi aqidah dalam kondisi men-desak dan darurat kami anggap mengenal iden-titas diri saat ini amat diperlukan yaitu disaat merebaknya fitnah dan banyaknya pemalsu- pemalsu aqidah.

Sebab lain yang menjadikan mengenal identitas diri ini penting adalah karena banyak-nya orang yang memusuhi aqidah para ulama ahlu sunnah. Yang mereka pun yang meng-gemborkan syi’ar dan slogan ahlu sunnah wal jamaah dan menamakan diri mereka ahlu sun-nah wal jamaah. Jadi pengenalan identitas ini disaat ini sangat penting untuk membedakan ahlu sunnah wal jamaah yang sesungguhnya dengan ahlu sunnah wal jamaah yang palsu. Dan setelah itu kita akan mencoba satu demi satu untuk menjelaskan perbedaan antara ahlu sunnah wal jamaah yang palsu dan yang ahli sunnah yang sesungguhnya dengan kajian ilmiah di dalam pembahasan berikutnya.

Identitas yang kami maksud adalah:
1. Islam
2. Ahlu sunnah wal jamaah
3. Asy’ariyah atau Maturidiyah.
4. Shufiyyah
5. Pengikut salah satu 4 madzhab
Seseorang yang beraqidah yang benar adalah seorang Muslim, Sunni, Asy’ari, Shufi dan Bermadhab. Artinya di zaman fitnah ini tidak cukup seorang itu dikatakan aqidahnya benar jika dia hanya menyebut dirinya sebagai seorang muslim saja. Sebab Islam sekarang bermacam-macam dan alangkah banyaknya Islam yang dipalsukan oleh musuh-musuh Allah.

Oleh sebab dalam irama pembuktian kebenaran akidah seorang muslim harus dilan-jutkan dengan ikrar bahwa dirinya adalah muslim ahlu sunnah wal jamaah .

Dan dengan jawaban sebagai muslim ahlu sunnah wal jamaah saja ternyata belum cukup karena adanya pemalsu-pemalsu ahlu sunnah wal jamaah yang mereka adalah musuh-musuh ahlu sunnah wal jamaah. Maka dari itu harus dilanjutkan ikrar bahwa dirinya adalah pengi-kut ahlu sunnah wal jamaah Asy’ariyah.

Dan orang yang mengatakan dirinya seba-gai Asy’ariy atau pengikut Imam Abul Hasan Al Asy’ari ternyata belum cukup, sebab ada sekelompok orang yang sepertinya menga-gungkan Imam Abul Hasan Al Asy’ari ternyata mereka adalah musuh-musuh Abul Hasan Al Asy’ari. Dan pengikut Imam Abul Hasan yang benar adalah mereka yang berani mengatakan dirinya adakah pengikut para Ahli Tasawuf (shufiyyah) di dalam ilmu mendekatkan diri kepada Allah. Maka seorang Asy’ari yang benar haruslah dia berkeinginan untuk menjadi seorang shufi dan mencintai ahli Tasawuf .

Termasuk fitnah besar akhir-akhir ini dimunculkan adalah tuduhan sesat kepada ahli tasawwuf. Dan memang kita akui ada segelintir orang yang menodai citra tasawwu.Dan itu tergolong orang yang sesat mengaku bertasaw-wuf. Adapun tasawuf adalah ilmu untuk mem-bersihkan hati dalam irama mencari ridho Alloh.

Maka sangat sesat orang-orang yang memusuhi tasawwuf biarpun dia mengaku ahlu-sunnah dan biarpun juga mengakui Abul Hasan Al-Asy’ari.

Dan yang terakhir adalah identitas ahlu sun-nah wal jamaah di dalam masalah fiqih mereka adalah orang-orang yang mengikuti kepada Imam Madzhab yang empat Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad Bin Hambal. Dalam bahasa fiqh kita sering menyebut dengan istilah bertaqlid kepada salah satu dari imam 4 madhab.

Identitas terakhir ini juga sangat perlu dihadirkan sebab pada zaman akhir ini telah muncul orang yang mengaku ahlu sunnah wal jamaah akan tetapi dengan kesombongannya mereka merendahkan dan membenci taqlid bah-kan hingga sampai mencaci-maki dan meren-dahkan para ulama-ulama yang bertaqlid. Maka bertaqlid adalah termasuk ciri aqidah ahlusunnah wal jamaah yang benar.

Maka orang sesat adalah orang yang me-ngaku Islam tetapi bukan ahlissunah, mem-benci asy’ariyah,membenci tasawwuf dan tidak mau bermadhab.Ini adalah cara pintas untuk mengenali orang-orang yang beraqidah benar di tengah-tengah kesesatan ummat.

2-Manhaj Talaqqi

Talaqqi adalah pengambilan ilmu dengan memperhatikan kedisiplinan, kesinambungan, keilmuan antara guru dengan murid. Hal yang semacam ini sangat berarti dalam irama men-jaga dan mengkaji ahlu sunnah wal jamaah yang benar. Disini bukan berarti seseorang tidak boleh memperluas ilmu dengan cara membaca, akan tetapi disini lebih ditekankan kepada seseorang agar mempunyai dasar-dasar aqidah yang benar yang diambil dari guru yang jelas terlebih dahulu sebelum dia mengembara dengan akal pikirannya ke berbagai disiplin ilmu atau untuk menelaah pemikiran-pemikiran aqidah yang berbeda.

Dan pada dasarnya cara ini sudah mengakar dan membudaya di lingkungan pe-santren-pesantren salaf yang diasuh oleh para ulama dengan metode sorogan atau memindah ilmu dengan membaca kitab secara kalimat perkalimat dari awal hingga akhir. Seperti yang sangat kita sering dengar dengan pengenalan kitab-kitab aqidah, seperti Aqidatul awam, Jauharotut tauhid dan yang lainnya yang secara ilmiah terbukti itu adalah penjabaran dari aqidah ahlu sunnah wal jamaah. Maka menjaga mata rantai dan kesinambungan keilmuan seperti ini adalah sangat penting. Dan dalam pengamatan kenyataan di zaman ini kita tidak menemukan kesesatan kecuali disaat seseorang tersebut meninggalkan buku-buku aqidah para pendahulunya dan cara yang di anut oleh pendahulunya dalam mengambil lmu.

Ada 3 hal yang amat penting untuk kita cermati dalam masalah manhaj talaqqi terhadap kerusakan aqidah ahlu sunnah wal jamaah .
1. Dari awal pendidikan agamanya memang tidak dikenalkan dengan aqidah yang benar melalui kitab-kitab yang benar dengan manhaj talaqqi. Dalam hal ini bisa dibuktikan bahwa jika ada pesantren atau ada lembaga pendidikan yang tidak berpegang kepada manhaj talaqqi sudah tidak ada lagi maka yang terjadi adalah mudah tercemar oleh aqidah yang sesat.
2. Manhaj talaqqi masih di berlakukan akan tetapi itu hanya sekedar pembacaan rutin tanpa ditindaklanjuti kajian yang lebih dalam. Hal ini akan menjadikan seseorang akan mudah tercemar oleh aqidah-aqidah yang sesat karena disatu sisi mereka kurang mendalami aqidah yang mereka tekuni. Disisi lain virus kesesatan bertebaran melalui media-media yang saat ini menjadi lebih dekat kepada masyarakat seperti televisi, radio dan buletin-buletin yang semua itu lebih mudah dibaca dengan bahasa lokal yang mudah di fahami seiring berkem-bangnya dunia tehnologi. Semen-tara penyeru kesesatan pun sangat gigih dalam menyebarkan kesesatan.
3. Semangat ingin tahu kepada agama yang tinggi yang tidak dibarengi dengan bim-bingan seorang guru dan hanya hanya mengandalkan kemampuannya dalam membaca buku-buku yang ditemukannya di toko-toko buku atau yang dibaca melalui internet. Hal yang semacam inilah yang kami cermati telah benar-benar menjadikan aqidah kita semakin hari semakit keropos.
Kita bisa saksikan dengan para perusak aqidah telah dengan gigihnya membuat radio-radio, mencetak buku-buku murah dan gratis serta selebaran yang dibagi secara cuma-cuma. Sebagai contoh, di kebanyakan kota kabupaten penyebar aqidah sesat itu berusaha untuk mempunyai radio karena mereka yakin dengan adanya radio mereka bisa mempengaruhi ma-syarakat luas yang sebenarnya dihati mereka ada kerinduan untuk mendalami ilmu agama. Dengan membuat stasiun radio ternyata tanpa kita sadari telah berpengaruh besar terhadap kesesatan.

Justru kita sebagai pembawa aqidah yang benar kita kurang berfikir maju untuk me-nguasai media informasi demi membendung arus penyesatan aqidah. Hubungannya dengan manhaj talaqqi yang kami sebut adalah kita jangan memulai belajar aqidah kecuali dengan manhaj talaqqi. Dan kita harus berusaha agar media-media yang ada dan juga toko-toko buku bisa dipenuhi oleh orang-orang yang mem-punyai aqidah yang benar dan menekuni manhaj talaqqi. Dan jangan membaca buku aqidah kecuali atas petunjuk guru yang mem-punyai manhaj talaqqi.

Hakekat Ahlu Sunnah Wal Jamaah
Ahlu sunnah wal jamaah adalah manhaj beraqidah yang benar dengan dua ciri. Pertama mereka sangat mencintai keluarga Nabi Muhammad SAW. Kedua, mereka juga sangat mencintai sahabat Nabi Muhammad SAW.

Maka tidak cukup orang mengaku ber-agama Islam akan tetapi dengan mudah mereka mencaci para sahabat nabi Muhammad SAW. Dan yang keluar dari ahli sunnah waljamaah model ini diwakili oleh kelompok Syi’ah (Syi’ah Imamiyah Itsnata ’asyariyah) dengan ciri khas paling menonjol dari mereka adalah mengagungkan ahlu bait Nabi Muhammad SAW akan tetapi merendahkan para sahabat Nabi Muhammad SAW.

Begitu juga tidak cukup orang mengaku Islam akan tetapi dia merendahkan ahlu bait Nabi Muhammad SAW. Dan yang keluar dari ahli sunnah waljamaah model ini diwakili mereka mempunyai ciri khas yaitu yang tidak peduli dengan urusan ahlul bait nabi Muhammad SAW mencoba merendahkan sayyidina Ali bin abi Tholib biarpun di sisi lain mereka mengakui para sahabat nabi Muhammad SAW .

Ringkasnya ahlu sunnah wal jamaah adalah mereka yang memuliakan ahlu bait dan sekaligus mengagungkan para sahabat Nabi Muhammad SAW.

Ada diantara orang-orang yang menga-ku mengagungkan dan memuliakan para saha-bat Nabi Muhammad SAW dan ahlu bait Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi mereka punya penafsiran-penafsiran tentang aqidah yang jauh dari kitab Allah dan sunnah Rasululloh SAW yaitu dari kaum jabariah dan qodariyah

Disaat seperti itu muncullah seorang yang dinobatkan sebagai Imam besar yang telah berusaha untuk membersihkan aqidah ahlu sunnah wal jamaah yang benar dari unsur luar dan menjerumuskan. Dan muncullah cetusan-cetusan ilmu aqidah yang benar yang dari masa ke masa dan menjadi pegangan umat Islam sedunia yaitu aqidah ahlu sunnah wal jamaah asy’ariyah.

Asy`ariyah adalah sebuah pergerakan pemikiran pemurnian aqidah yang dinisbatkan kepada Imam Abul Hasan Al-Asy`ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 935 Masehi. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H / 975-6 M.

Imam Al-Asy`ari pernah belajar kepada ayah tiri beliau yang bernama Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`ta-zilah. Sehingga Al-Asy`ari mula-mula men-jadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`ta-zilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara beliu dengan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`ta-zilah dan beliau pun keluar dari paham itu dan kembali kepada pemahanan AhliSunnah Wal-jamaah.

Imam Al-Asy`ari telah berhasil mengem-balikan pemahaman sesat kepada aqidah yang benar dengan kembali kepada apa yang pernah di bangun oleh para salaf(ulama sebelumnya) dengan senantiasa memadukan antara dalil nash (naql) dan logika (`aql). Dengan itu belaiu berhasil melumpuhkan para pendukung Mu`ta-zilah yang selama ini menebar fitnah ditengah-tengah ummat Ahlus Sunnah. Bisa dikatakan sejak berkembangya aliran Asy`ariyah inilah Mu`tazilah berhasil diruntuhkan.

Dan kaum Asya’iroh dari masa ke masa selalu mempunyai peran dalam membela aqidah yang benar aqidah ahlisunnah waljamaah.

Dan terbukti dalam sejarah perkembangan Islam ulama Asya’irohlah yang memenuhi penjuru dunia. Merekalah ahli sunnah yang sesungguhnya.

Adalagi pakar aqidah yang semasa dengan Imam Abul Hasan Asy’ari yaitu Imam Abu mansur Almaturidi. Secara umum tidak ada perbedaan diantara keduanya. Hanya karena yang tersebar di Indonesia maka kami sebut lebih sering Asy’ariyah.

Wallohu a’lam bishshowab

ISLAM NU : Pengawal Tradisi Sunni Indonesia

Bila ditilik dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), memang selalu menarik untuk dibicarakan dan diperbincangkan. Karena organisasi ini lahir atas inisiatif kaum tradisionalis (kalangan pesantren), yang memang betul dan paham terhadap kondisi sosial keagamaan sebelum NU lahir.

Karena pada kondisi itu, amaliah dan ajaran Islam ahlusunnah wal jamaah terancam ditiadakan bahkan dihabisi oleh suatu kelompok yang berpaham Wahabi. Kelompok Wahabi ini adalah kelompok yang anti tradisi Islam yang tidak ada di dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

Mereka menganggap tradisi dan amaliah yang tidak ada dalam keduanya adalah bid’ah. Bahkan yang tidak bid’ah pun dianggap bid’ah dan syirik, seperti membaca tahlil, yasinan, diba’an, dan ziarah kubur dilarang. Sehinga ulama pesantren dengan tegas berpendapat, bahwa ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah wajib dipertahankan dan dilestarikan.

Selain dengan latar belakang di atas NU lahir dinakodai oleh para kiai, seperti Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Sansuri. Dan NU lahir tidak sebagaimana organisasi-organisasi lainnya, lahirnya NU adalah sebuah hasil perjuangan dan istikharah para kiai. NU tidak hanya sekedar oraganisasi yang banyak jamaahnya, akan tetapi lahirnya NU mampu memberikan sumbangsih besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia.

Salah satu tokohnya, seperti Kiai Wahid Hasyim pernah menjadi Mentri Agama dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Maka tidak berlebihan jika banyak orang dan kalangan selalu membicarakan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi terbesar di Indonesia.

Peristiwa berdirinya Nadlatul Ulama (NU) juga tidak terlepas dari beberapa organisasi yang dibentuk oleh para tokoh NU, seperti Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Nadlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Taswirul Afkar (Forum Diskusi), Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang) dan lain-lain. Dengan terbentuknya organisasi ini, maka pada akhirnya terbentuklah juga sebuah organisasi besar yang mewadahi para ulama dan kalangan tradisionalis (pesantren). Tepatnya pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, para ulama terkemuka se Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk mendirikan sebuah organisasi yang kemudian diberi nama Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Inilah salah satu perjalanan dan proses NU berdiri, dengan harapan untuk mempertahankan dan memperjuangkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja).

Buku yang ditulis oleh Kiai Buyairi Harits ini sangatlah lengkap, yang didalamnya menjelaskan trentang seluk beluknya mengapa NU didirikan, mengapa akidah ahlussunnah wal jamaah harus diperjuangkan, dan lengkap dengan amaliah-amaliahnya. Dalam buku ini penulis juga menjelaskan tentang sistem bermazhabnya orang NU. Di komunitas NU istilah mazhab sudah lama dikenal. Karena di NU selalu bergulat dengan fiqh yang berpegangan pada salah satu imam mazhab yang empat, yakni mulai dari Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Dari imam mazhab yang empat tersebut, diwajibkan hukumnya bagi umat Islam mengikuti salah satunya. Karena dalam konteks hukum dan fiqh NU wajib mengikuti salah satu mazhab yang empat, dikhawatirkan terjadi percampuradukan antara yang hak dan yang batil, atau tergelincir dalam kesalahan atau mengambil hukum yang mudah-mudah dan cenderung seenaknya (36-37).

Dan yang menarik dalam buku ini dijelaskan tentang amaliah NU yang harus dijaga, dilestarikan, dikembangkan dan dipertahankan oleh warganya khususnya umat Islam hingga akhir zaman. Adapun amaliah NU dibidang ubudiyah, seperti melafazkan niat sebelum shalat, membaca basmalah dalam surat al-fatihah, qonut pada shalat subuh, membaca wirid setelah shalat, berjabat tangan setelah shalat, bilal pada shalat jum’at, khotib jum’at memegang tongkat, dan bilangan rakaat shalat tarawih di dalam buku ini penulis menjelaskan secara sistematis lengkap dengan dalil-dalilnya.

Dalam bidang muamalah (sosial), seperti mengharumkan tubuh mayit dengan membakar dupa, mengantarkan jenazah sambil membaca lafad la Ilaha Illallah, adzan setelah mayit diletakkan dalam kubur, talqin, dan ziarah kubur juga dijelaskan dalam buku ini lengkap dengan dalil-dalilnya.

Dengan membaca buku ini setidaknya pembaca bisa mengetahui tentang NU, mulai dari sejarah berdirinya hingga mengetahui terhadap ajaran-ajarannya. Karena sampai saat ini sudah banyak golongan, seperti orang Wahabi memulai merusak bahkan memberikan fatwah syirik dan haram melakukan tradisi amaliah NU. Mereka berpandangan bahwa amaliah yang dilakukan oleh warga NU, seperti mebaca tahlil, istghosah, yasinan, dibaan, dan ziarah kubur adalah perbuatan bid’ah. Padahal dalam buku ini dijelaskan melakukan amaliah yang sering dilakukakan oleh warga NU hukumnya boleh dan mendapat pahala, tidak haram dan tidak syirik.

Salah satu tugas Nadlatul Ulama (NU) kedepan, adalah menjaga pesantren, pengayom umat, mensejahterakan warganya, dan melestarikan ajaran dan amaliahnya. Dan selama ini, sepertinya NU lebih cenderung kepada gerakan politiknya bukan kepada gerakan sosial keagamaanya. Karena NU bukanlah organisasi politik (ijtimaiyah wassiyasiyah), NU adalah organisasi sosial keagamaan (ijtimaiyah wadiniyah). Semoga dalam kepemimpinan Kiai Sahal Mahfudh dan Kiai Said Aqil Siraj ini, mampu memberikan nuansa baru bagaimana NU bisa maju dan meneladani kepemimpinan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. wallhu a’lam

Friday, February 21, 2014

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Saat Umat Saling Mengkafirkan


Negeri Baghdad sedang mengalami kekacauan. Umat Islam terpecah belah. Para tokoh Islam menjadikan khutbah Jum’at sebagai ajang untuk saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi, ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.

Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya, bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa melihat nama kelompok dan status agama.

Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis madrasah tersebut, kemudian dia berkata:

“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”

Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh besar Islam ini benar-benar terwujud.

Sobih Adnan
Disarikan dari ceramah Syekh Fadhil Al-Jailani, keturunan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di Pesantren Kempek Cirebon, Jum’at 21 Juni 2013. (Red: Anam)

Gus Mus: Banyak Pemimpin Pintar, Tapi Tidak Terdidik

Semarang, NU Online
KH Mustofa Bisri menyayangkan masyarakat yang masih membuat dikotomi pendidikan Islam dan umum. Sejarah Islam menunjukkan bahwa agama dan pendidikan berjalan seiring dan tidak terpisahkan.

Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini menilai bahwa pemahaman masyarakat tentang dikotomi pendidikan umum dan agama itu terjadi karena faktor sejarah. “Belanda yang membikin bangsa ini mempunyai pandangan dikotomi agama dan umum,” tegasnya pada sarasehan yang digelar Yayasan Pendidikan Nasima, Semarang, Jawa Tengah, Ahad (16/2).

Karena dikotomi itu maka produk pendidikan yang dihasilkan juga tidak lengkap. Ada yang hanya pintar di agama, namun pengetahuan umumnya terbatas. Ada juga yang pintar dalam hal umum tapi akhlaknya dipertanyakan. “Pemimpin-pemimpin sekarang adalah produk pendidikan yang ada. Banyak pemimpin yang pintar tapi tidak terdidik,” ungkap Gus Mus

Gus Mus juga menyayangkan hilangnya mata pelajaran budi pekerti dalam mata pelajaran di sekolah. “Dulu zaman saya di SR masih ada pelajaran budi pekerti. Sekarang ini mana? Paling di hanya TK atau PAUD. SD ke sana nggak ada lagi,” katanya.

Kiai yang mengemban jabatan Rais Aam PBNU setelah KH Sahal Mahfudh wafat ini menambahkan, ada ustad ngidaki sirahe tukang speaker. Ini nggak nyambung antara pengajaran dan pendidikan. “Ini contoh jelas kelakuan yang tidak terdidik dan tidak berakhlak sama sekali. Saya setuju sama Kiai Ma’ruf Amin agar dia dilarang tampil,” tegas Gus Mus.

Tak lupa Gus Mus juga menjelaskan bahwa pengajaran adalah proses transformasi ilmu, sedangkan pendidikan adalah transformasi nilai. Keduanya harus seiring dan sejalan dalam proses pendidikan di sekolah. Jika tidak sejalan maka akan melahirkan orang pinter tapi minteri, dan orang pintar yang tidak punya hati nurani.

Yusuf Nafi yang juga pendiri Sekolah Nasima menyampaikan konsep pendidikan karakter di Sekolah Nasima. Menurut Yusuf pendidikan yang dilaksanakan oleh Nasima adalah pendidikan yang dipikirkan oleh pendahulu NU.

Walaupun begitu bukan pendidikan di Nasima hanya menitikberatkan pendidikan agama, namun juga menanamkan nilai-nilai nasionalisme dalam diri peserta didik. Visi misi Nasima dijiwai Pancasila yang diimplementasikan dalam proses pembelajaran akademis dan proses pembelajaran karakter.

Dari proses inilah diharapkan akan lahir lokomotif-lokomotif baru menuju Indonesia Raya, atau dalam istilah Nasima anak saleh dan salihah yang siap mengarungi zamannya. “Insya Allah kami mendidik anak-anak bangsa dengan karakter Indonesia, dengan Islam yang juga Islam Indonesia,” ungkapnya berapi-api.

Sarasehan yang digelar di Kampus SD Nasima Jl. Puspanjolo 53 Semarang itu dihadiri empat ratusan peserta yang terdiri dari guru dan karyawan YPI Nasima serta insan pendidikan kota Semarang. Hadir juga dalam kegiatan tersebut Sekda Kota Semarang, dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang Bunyamin.

Sarasehan Pendidikan dan Kebangsaan digelar dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Ke 20 Sekolah Nasima. Selain Gus Mus narasumber pada kesempatan itu, Prie GS.

HUBUNGAN ANTARA NAHDLATUL ULAMA (NU) DAN NAHDLATUN WATHAN (NW)



Tampak dalam foto adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika sowan di kediaman Almaghfurlah Maulana Syaikh TGKH. Zainuddin Abdul Majid Pancor NTB. Gus Dur sudah terbiasa sowan dan bersilaturrahim kepada pendiri Nahdlatul Wathan (NW) itu. Di mata Gus Dur, Syaikh Zainuddin adalah sosok maha guru yang sangat disegani. Beliau adalah adik kelas dari kakek Gus Dur sendiri, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Sowan Gus Dur adalah sebagai tanda penyambung pipa sanad ilmu yang bertemu pada sanad yang sama yaitu Syaikh Amin al-Kutbi.

Biografi lengkap TGKH. Zainuddin Abdul Majid bisa Anda baca di: http://www.muslimedianews.com/2013/09/manaqib-tuan-guru-kh-muhammad-zainuddin.html

Berikut ini adalah hasil sebuah wawancara tentang Gus Dur (NU) dengan TGKH. Abdul Aziz Sukarnawadi (Pendiri PWK-NW/Perwakilan Khusus Nahdhatul Wathan), Mesir. Beliau adalah kandidat Master The American Open University, in Cairo. Beliau seorang intlektual muda dan kiyai ternama, penulis buku “Sabda Sufistik”, lahir di Saudi Arabia, dan pernah dianugerahi shalat di dalam Kakbah, karena termasuk pelajar yang berprestasi.

Gus Dur di Mata Tuan Guru KH. Abdul Aziz Sukarnawadi, Pendiri PWK-Nahdlatul Wathan

1. Sosok Gus Dur, Pendekar Bangsa yang Agamis

Gus Dur sebagai anak kandung tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU), KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam tulisan tinta sejarah, Kyai Wahid banyak sekali memberikan ide-ide brilian, diantaranya “menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta”, bersama KH. Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.

Di sini jelas, bahwasanya bapak Gus Dur sebagai mantan Menteri Agama di era 40-an, sudah menggulirkan sumbangsih yang sangat bermanfaat bagi bangsa ini, karena Indonesia adalah negara Islam secara substansial namun nasionalis secara formal. Dari keberanian KH. Wahid Hasyim, banyak pihak yang tidak menyukainya. Sehingga tak heran bila beliau meninggal karena diakibatkan kecelakaan, yang diduga akibat ulah musuh-musuh politiknya untuk melenyapkannya.

Dari silsilah kakeknya, Hadhratus Syaikh KH. Hasim Asy’ari, seorang tokoh kharismatik sepanjang sejarah Nahdlatul Ulama yang mampu mengumpulkan kiyai-kiyai untuk menyelamatkan nasionalisme bangsa ini, tanpa meninggalkan tradisi dan ideologi sebagai seorang muslim dan kiyai kharismatik. Tak heran, bila Bung Karno dan Bung Tomo sering meminta petunjuk dari beliau sebelum melangkah mewarnai hitam putih bangsa Indonesia. Peristiwa 10 November yang dijadikan sebagai hari pahlawan, sebenarnya berawal dari tradisi memperingati jasa para pahlawan yang ada dalam NU setiap tahun, atau yang disebut dengan haul.

Apabila ditarik ke belakang, Gus Dur adalah cucu dari Syaikh Abdurrahman Basyaiban alias Sultan Hadiwijaya yang menyelamatkan pertikaian kerajaan Demak dari politisasi agama. Anda jangan heran, tatkala semasa hidupnya, Gus Dur sering mengunjungi makam Sang Joko Tingkir ini, di Pringgoboyo, Lamongan. Seorang datuk yang merupakan seorang ulama sekaligus pahlawan nasional.

Dari beberapa hal yang saya sebutkan di atas, Gus Dur memiliki darah pendekar bangsa, yang diimbangi dengan nuansa keagamaan yang kental. Seperti nama kecilnya, Abdurrahman Addakhil; seorang penakluk, yang mendobrak bangsa ini dari keterbelakangan. Jadi, bila dirunut dari darah birunya, dan kapabilitas intelektualnya, Gus Dur adalah tokoh segala-galanya.

2. Sumbangsih Gus Dur bagi Bangsa

Ibarat sebuah bangunan, Indonesia memerlukan banyak pasak atau sokoguru. Maka, saya memposisikan Gus Dur sebagai salah satu pasak negara ini. Mengapa? Coba Anda perhatikan, ormas Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang identik dengan tradisionalisme, kaum sarungan, dan orang-orang ndeso. Tapi, setelah Gus Dur menjadi pemimpin Nahdlatul Ulama, eksistensi NU tidak hanya memberikan sisi progresif bagi bangsa Indonesia, tapi diakui oleh dunia internasional. Diantaranya, tokoh-tokoh barat banyak yang tertarik untuk mengkaji Nahdlatul Ulama. Dengan kata lain, Nahdlatul Ulama sekarang, tidak hanya dibatasi dengan literatur-literatur lokal tetapi juga turut mewarnai ensiklopedia internasional.

Di sisi lain, kaum non-Muslim banyak yang menganggap Gus Dur adalah sang penyelamat. Karena Gus Dur tidak hanya seorang Muslim yang berjuang untuk orang-orang Islam saja, tapi juga memusnahkan ketertindasan yang dialami orang-orang non-Muslim di Indonesia, seperti orang-orang Cina yang dilarang untuk merayakan hari raya Imlek dan orang-orang Kristen yang selalu dianggap sebagai kaum yang layak untuk diperangi.

Al-Quran menyebutkan: “Walan tardha ‘ankal Yahudu walan Nashara hatta tattabi’a millatahum”, ayat tersebut diaktualisasikan dalam tafsir sang Abdurrahman Wahid sebagai keyakinan terhadap identitas agama masing-masing. Jadi, bukan orang Yahudi dan Nasrani yang membenci Muslim, lantas harus diperangi, tapi seorang Muslim harus berani bersaing sehat dengan Yahudi dan Nasrani untuk mengembangkan ajaran Islam. Kenapa kita harus takut dengan Kristenisasi dan Yahudisasi, sementara kita sendiri berlomba-lomba untuk melakukan Islamisasi. Islam adalah agama universal, keberadaannya untuk mengayomi alam semesta, sebagaimana Rasulullah diutus bukan untuk memerangi orang-orang kafir, tapi untuk menyelamatkan mereka dari penyakit kekufuran.

Kaum minoritas tidak disingkirkan oleh Gus Dur, tapi diberikan hak hidup dan dibebaskan untuk menentukan pilihannya. Saya jadi teringat Jendral Thariq bin Ziyad tatkala menaklukkan Andalusia. Penaklukan-penaklukan (futuhat) yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan Islam tempo dulu, untuk menyelamatkan manusia dari ketertindasan, bukan agar mereka memeluk agama Islam dan menjalankan syariatnya.

Tak heran bila dikenal istilah kafir dzimmi dalam literatur hukum Islam. Rasulullah Saw. bersabda: “Man adza dzimmiyyan faqad adzani.” Artinya, siapa yang memusuhi non-Muslim atau kelompok minoritas yang dilindungi oleh bangsa dan negara, berarti memusuhi Rasulullah Saw.

3. Ide-ide Gus Dur dalam Mencerahkan NW di Mesir dan di Indonesia

Berawal dari titik tolak NW di NTB yang eksklusif, saya ingin menjadikan NW tetap pada khittahnya, namun bersifat inklusif. Sehingga saya dan teman-teman mencoba menggagas kajian al-Abrar yang kemudian menjadi PwK-NW (Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan). Sebab, sebagai negara yang bebas, banyak mahasiswa Indonesia di Mesir yang kadang-kadang tertutup cara berfikirnya dan picik pandangannya. Namun, tak sedikit dari mereka yang kebablasan dan liberal.

Nah, Gus Dur sebagai tokoh moderat yang pernah belajar di Mesir sudah sepatutnya menjadi figur yang bisa menjadikan NW dalam garis moderat (wasathiyah). Kenapa saya katakan moderat? Karena Gus Dur selalu hadir sebagai penyeimbang, tatkala kebanyakan orang berbondong-bondong menuju arah kanan, Gus Dur mengingatkan arah kiri, dan sebaliknya. Jadi, bagi saya itu bukan sesuatu yang nyleneh, tapi merupakan stabilisasi keadaaan agar tidak timpang dan carut-marut. Selama masih berpegang kepada apa yang kita yakini, kenapa tidak?

NW di Indonesia, sering mengalami krisis gaya berfikir yang modern, dengan menafikan pihak lain. Padahal, TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid sebagai pendiri NW menamakannya dengan kebangkitan bangsa (Nahdlatul Wathan), bukan kebangkitan pribadi atau golongan. Cara berfikir yang sempit, tentu akan mempengaruhi dalam prilaku keseharian dan interaksi sosial.

Apa yang saya alami tatkala memberikan taushiyah atau khutbah di salah satu masjid tentang NW, padahal realitanya pengurus masjid tersebut adalah orang-orang NU, ternyata dianggap tabu. Tentu, saya khawatir tatkala ingin mengambil teladan tokoh NU di kalangan orang-orang NW. Sungguh cara berinteraksi sosial yang perlu dirubah.

Soal suksesi kepemimpinan, sudah selayaknya NW berkembang secara organisasi, sekaliber NU dan Muhammadiyah. Bila kepemimpinan NW disyaratkan harus pewaris secara biologis, berarti sang pemimpin tersebut harus memiliki kapabilitas. Sebagaimana dicontohkan TGH. M. Zainul Majdi sebagai pimpinan NW sekarang dan terpilih menjadi Gubernur NTB. Sebuah organisasi yang sehat, bukanlah sebuah kerajaan yang diwarisi oleh para pangeran, namun “the right man in the right place”.

Sementara meneladani Gus Dur dari sisi ideologi, harus dipandang dengan pikiran terbuka dan wawasan yang luas, sebagaimana beliau sering mnyitir kaidah fikih “Tasharruful imam ‘alarra’iyyah manuthun bil mashlahah”. Artinya, apa yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai sang pendobrak, selalu memberikan maslahat atau kebaikan bagi orang lain, walaupun sering tidak difahami oleh kebanyakan orang. Dengan catatan, keterbukaan ideologis yang revolusioner tetap pada khittah organisasi dan tidak menyimpang.

Ironi, ketika pengikut setia Nahdlatul Wathan malah menjadi aktifis PKS atau FPI, bahkan HTI dan lain-lain. Karena, Nahdlatul Wathan sebagai penganut nilai-nilai sufistik, sangat berbeda 180 drajat dengan kelompok-kelompok yang saya sebutkan tadi.

4. Teladan Gus Dur

Gus Dur adalah sosok nasionalis sejati, tidak hanya harta dan benda yang beliau korbankan untuk bangsa dan negara ini, namun beliau sering lupa akan kesehatan dan keselamatan diri sendiri. Pernah terjadi tatkala beliau menjadi presiden, dokter kepresidenan kebingungan, karena beliau kencing darah. Tapi ternyata beliau menanggapi dengan enteng dan santainya: “Saya yang kencing darah, kok kalian yang repot..!!”

Sebuah kepribadian yang patut kita contoh karena sangat perduli terhadap kemaslahatan orang lain, bangsa dan negara, hingga tidak menghiraukan dirinya sendiri.

Gus Dur adalah seorang pengamal tarekat, Kiyai Sonhaji dari Kebumen yang menjadi mursyid tarekatnya, banyak memberikan pencerahan terhadap dimensi spiritualnya. Seperti memaknai hadits “Tabassumuka ‘ala wajhi akhika kashshadaqah”, tidak hanya diartikan secara tekstual, dengan kata lain, senyum adalah sedekah. Akan tetapi, hakikatnya, senyum adalah sebuah wujud solidaritas kepedulian seseorang terhadap orang lain.

Manifestasi nasionalisme Gus Dur adalah cerminan seseorang yang selalu menyempurnakan imannya, karena hubbul wathan minal iman. Di sisi lain, Gus Dur sering dihujat karena keyakinannya untuk membela yang lemah dan teraniaya, seperti membela Ahmadiyah yang secara undang-undang tidak bisa dilarang dan diusir dari bumi Indonesia, walaupun secara ideologi, Gus Dur bukanlah seorang Ahmadiyah. Tuduhan Syiah, sesat, antek Zionis, dan sebagainya sering diterimanya dengan lapang dada. “Gitu aja kok repot” balasan santainya yang masyhur di antara kita.

Privasi antara hamba dengan Tuhannya, bagi Gus Dur tidak dapat diganggu gugat. Bahkan Gus Dur tidak segan-segan untuk melawan arus kelompok yang seolah-olah melakukan perlawanan, padahal tidak. Mencabut TAP MPRS 1966, tentang pelarangan komunis, misalnya. Gus Dur bukanlah seorang komunis, tetapi beliau tidak ingin komunis difitnah oleh oknum-oknum yang terlibat dalam sejarah dan terdzalimi begitu saja.

Tatkala kebanyakan orang meributkan soal pembelaan Indonesia terhadap Palestina, justru Gus Dur menginginkan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Cara pandang Gus Dur jauh ke depan, banyak yang tidak mengerti jurus-jurus saktinya.

Tidak ada musuh bagi Gus Dur. Seperti kekejian FPI tidaklah merupakan sebuah perlawanan, justru sebenarnya hukum rimba lah yang berlaku. Hanya moral binatang yang mudah memangsa yang lemah dan tak berdaya.

Bagi seorang Gus Dur, melawan sebuah kemungkaran harus dengan strategi dan tehnik yang teratur dan mengena sasaran. Adagium Arab menyatakan “Man ‘arafa lughata qaumin amina min makrihim”. Terjemahan bebasnya, sebuah perlawanan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan, bisa dilakukan dengan hal-hal yang menurut kita tak terduga, seperti “melawan dengan lelucon”, hehehe!.

5. Menyikapi Gerakan Formalisasi Syariat, Seperti PKS dan HTI serta Partai-partai Islam

Partai Islam adalah sebuah kendaraan politik. Mungkin kita akan sering memperdebatkan tentang definisi politik itu sendiri. Tapi yang paling penting, eksistensi sebuah partai adalah sarana, bukan tujuan. Walaupun, realita dan fakta di lapangan berkata lain. Justru kendaraan politik yang seharusnya menjadi wasilah (sarana), sering malah menjadi ghayah (tujuan). Sehingga, tujuan mulia dari perjuangan politik menuju kemaslahatan umat sering terabaikan. Ketika terjadi sebuah bencana misalnya, peran partai politik justru memanfaatkan momen tersebut untuk mengapresiasi citra partainya sendiri dan seringkali mengatasnamakan agama atau kemanusiaan.

Meminjam istilah Habib Luthfi bin Yahya, fanatik kita kepada partai tidak lebih dari setinggi lutut kaki, sedangkan fanatik kita kepada bangsa dan negara tidak melebihi pusar, sedangkan fanatik kepada agama dan keyakinan merupakan titik tolak untuk memberikan maslahat bagi sinergi antara hubungan vertikal (hablun minallah) dan horizontal (hablun minannas).

Pemaksaan terhadap kepentingan yang dibungkus dengan baju agama sungguh menggiurkan, padahal secara substansial, nilai-nilai agama selalu dapat dimanifestasikan.

Menurut hemat saya, membeli minyak onta cap babi, jauh lebih menyenangkan daripada mengobral minyak babi cap onta. Buktinya, partai-partai Islam hanya mampu memberikan nuansa Islami pada saat-saat tertentu saja. Diharamkannya presiden wanita misalnya, suatu saat keharaman tersebut akan berubah sesuai dengan kepentingan yang diusungnya. Tatkala Megawati menjadi presiden, toh Hamzah Haz yang menjadi representasi partai Islam malah menjadi wakilnya. Baru-baru ini, kasus hebohnya Tifatul Sembiring bersalaman dengan istri Obama dibesar-besarkan, padahal kejadian yang biasa saja.

Perbedaan penafsiran, baik diformalisasikannya syariat atau tidak, biarlah terjadi. Namun, menghakimi orang lain dengan kesesatan atau bahkan menghalalkan darahnya dengan perbuatan anarkis dan kekerasan sungguh tidak etis, apalagi dilakukan oleh seorang Muslim. “Al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi,” kata sebuah hadits. Islam tidak disebarkan dengan pedang, namun disebarluaskan dengan cinta dengan kasih sayang. Dakwah adalah ajakan, bukan ejekan.

Mungkin PKS, HTI, dan lain-lain sedang digandrungi oleh sebagian kalangan, namun rasa kesengsem tersebut hanyalah temporal. Bila kita kaji sejarah, runtuhnya peradaban Islam di Andalusia disebabkan oleh partai yang mengatasnamakan agama. Nuansa cinta kasih sesama dan saling mengabdi satu sama lain, berubah menjadi keinginan untuk menjadi pimpinan yang memegang urusan penting. Agama yang sakral, menjadi tarik ulur sebuah kekuasaan. Begitu juga yang terjadi di Mesir, kasus IM yang banyak memakan korban. Tak heran bila al-Imam al-Akbar Grand Syaikh al-Azhar memiliki program untuk membersihkan al-Azhar University dari unsur-unsur Ikhwanul Muslimun.

Bila kita mau meneladani Gus Dur dalam perbedaan penafsiran, tentu kita tidak akan mudah menghakimi sesat dan kafir. Seperti kasus Mushaddiq yang mengaku nabi, Gus Dur membiarkan dia hidup, dan kebathilan itu akan mati dengan sendirinya tanpa harus diselesaikan dengan anarkisme. Merasa benar sendiri, seolah-olah telah melaksanakan syariat Islam adalah tindakan yang semena-mena. Apa bedanya Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku nabi dengan orang-orang yang merasa dirinya paling benar di sisi Tuhan. Biarlah Islam menjadi agama kasih sayang (rahmatan lil ‘alamin).

Sebagaimana doa pendiri NW, “Allahummanshur liwa-a Nahdlatil Wathan fil ‘alamin“, saya melihat NU tidak pernah memiliki doa seampuh itu. Tapi, Gus Dur memanifestasikan kasih sayang itu tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Semoga kita bisa meneladani beliau agar Gus Dur hidup kembali spiritnya untuk menebarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan ruhamatan lil muslimin; rahmat bagi semesta alam, bukan hanya rahmat bagi orang Islam.

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 21 Februari 2014

Moral; Di atas Ilmu

Salah satu nasehat abadi Guru Besar kami, mendiang Abuya asSayyid Muhammad Bin Alwy Al-Maliky adalah, "Al-adab fauqol ilm". Bahwa tatakrama adalah di atas ilmu.

Kesantunan, kesopanan, cara bergaul yang baik, rendah hati, adalah segala-galanya bagi seseorang dalam hidup ini.

Boleh jadi selama ini kita telah begitu banyak sekali mencari, menuntut dan mendapat ilmu, bahkan tak sedikit yang benar-benar mencapai puncak pencarian itu.
Prestasi akademik yang membanggakan, titel-titel hebat yang berderet di depan dan belakang nama lahir, penemuan-penemuan ilmiah yg mengagumkan.

Namun apakah dengan perolehan dan torehan ilmiah yang luar biasa itu, undangan seminar ke sana kemari, telah membuat hati ini merunduk?

Karena, jika memperhatikan fenomena kehidupan saat ini, bisa dibilang secara ilmiah, kualitas otak bangsa ini semakin bagus dan tinggi. Namun kenapa secara tatakrama semakin menurun? Banyak sekali nilai-nilai yg dulu merupakan karakter khas bangsa ini lambat laun menghilang.

Tentu saja secara otomatis yang terjadi kemudian adalah split personality. Semestinya semakin tingginya kualitas berpikir tidak membuat seseorang makin culas dan kacau akhlaknya.

Pertanyaan sederhana, apakah dalam lembaga-lembaga pendidikan formal tidak diajarkan bagaimana bertatakrama misalkan? Paling tidak, murid/mahasiswa diajari ketat untuk hormat takdzim kepada guru/dosen?

Karena setinggi apapun ilmu seseorang namun tanpa disertai dengan tatakrama tinggi, hanya akan membuat nilai pribadinya tidak berbobot apapun di depan masyarakat. Bahkan semestinya yang dituntut adalah tatakrama harus lebih tinggi.

Kita adalah bangsa pengkonsumsi padi, namun ironisnya filosofi padi yang selama ini ditanamkan dengan ketat oleh nenek moyang bangsa itu sepertinya lambat laun memudar dengan begitu cepat.

Tak ada faedah apapun seseorang bergelar Doktor di depannya atau Master di belakangnya tetapi kelakuannya begitu kurang ajar misalkan. Sebab ketiadaan atau buruknya kualitas tatakrama dalam diri seseorang tak hanya merugikan diri sendiri, namun orang lain juga lingkungan.

Contoh paling nyata di depan mata kita adalah fenomena (atau apa sudah jadi budaya?) korupsi, penulis yakin 90% pelakunya adalah mereka yang selama ini mengaku memeluk Islam dan bahkan juga rajin sholat. Dan karena kebetulan praktek korupsi yang banyak terjadi itu di dunia birokrasi, tentunya pelakunya adalah muslim-muslim berpendidikan formal tinggi dengan banyak embel-embel gelar akademis yang hebat.

Kenapa hal yang cukup sangat kontras ini bisa terjadi? Kemana ilmu begitu tinggi yang dipelajari lama (bahkan sampai ke Luar Negeri) itu? Kenapa tak memberikan perbaikan?

Secara tabiat, pada dasarnya ilmu itu panas, dan dalam proses pencariannya membutuhkan semacam refrigerator, pendingin. Nah, pendingin dari "panas"-nya karakter ilmu itu adalah dengan diimbangi belajar tatakrama dan penghancuran hati melalui banyak media dan aplikasi.

Uniknya, media-media pendingin ilmu itu banyak terdapat dalam Tasawwuf. Keadaan tentu semakin runyam saat ada berusaha yang melarang tasawwuf.

Maka, pengalaman pribadi penulis adalah tidak pernah menemukan pelajar muslim yang menggeluti tasawwuf dengan baik yang sikapnya kurang ajar. Sebaliknya, rata-rata orang yang kelakuannya kurang ajar (baik sadar atau tidak) adalah mereka yang selama ini tidak atau kurang benar dalam mendalami tasawwuf, meski itu pelajar ilmu-ilmu agama yang agung.

Maka yang perlu dan harus dipikirkan kembali oleh para pakar pendidikan saat ini adalah kembali memikirkan dengan mendalam untuk mensinkronkan ulang tatakrama dengan ilmu di lembaga-lembaga pendidikan khususnya dunia pendidikan formal.

Bukan hanya sekedar berupa teori-teori keagamaan, teori-teori norma, namun praktek bersama secara langsung. Menumbuhkan kembali nilai-nilai yang hilang.

Banyaknya skandal-skandal berbau seks dan pornografi di dunia pendidikan level SMP-SMA adalah bukti nyata efek negatif ketiadaan tatakrama itu. Sementara dalam satu waktu yang sama mereka bukanlah siswa-siswa bodoh, banyak yang prestasi akademiknya mengagumkan dan cerdas di atas rata-rata.

Itu yg terungkap di media, yang undercover? Nah, bagaimana nasib masa depan bangsa ini jika generasi mudanya telah remuk sedemikian rupa? PR dakwah masih cukup banyak, konsentrasi saja pada Tauhid atau Fiqh adalah kekurangbijakan, harus dikawal dengan tasawwuf, dengan tazkiyah.

Atau jika memang tidak mau ada label-label religi atau rohani masuk lembaga-lembaga pendidikan formal, setidaknya ajarkan norma-norma budaya setempat dan moral kebangsaan.

Semoga tulisan seperti ini sampai kepada instansi-instansi yang berkait dengan dunia pendidikan di Tanah Air, sampai ke Bapak Menteri Pendidikan. Semoga mencerahkan, catat dalam benak baik-baik, peram dalam jiwa, bahwa tatakrama adalah di atas ilmu, Al-adab fauqol ilm. Salam.

Belajar Bertasawwuf Bagi Pemula


Sering kita bertanya-tanya, bagaimana sih permulaan bertasawwuf itu? Permulaan untuk jadi sufi?

Pada dasarnya, bertasawwuf dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang cukup sederhana, dan tentu mudah sekali dilakukan.

Namun tentu saja akan semakin baik dan semakin menemukan jalan terangnya saat ada Murobbi/Mursyid yang membimbing. Bukan hasil membaca sendiri apalagi belajar otodidak dari Kyai Siluman, Mbah gugel.

Tetapi yang pasti bertasawwuf dalam kehidupan sehari-hari tidaklah serumit (atau seolah nampak sakral sekali) seperti yang kita bayangkan. Karena pada dasarnya tasawwuf adalah proses yang harus kita tempuh dalam rangka membersihkan hati, dan bagaimana beribadah dengan sebaik-baiknya.

Masuk dalam lingkaran raksasa tasawwuf juga adalah bagaimana mengatur interaksi sosial kita dengan sesama, dengan lingkungan sekitar, dan dengan semesta.

Lalu bagaimana sekarang jika saya ingin belajar tasawwuf secara khusus sementara keadaan saya belum memungkinkan buat itu?

Jawabannya, bisa saja kita mempelajarinya dengan membaca-baca sendiri. Namun membaca sendiri buku-buku sufi tidak madhmunul aqibah (menjamin). Karena kita tahu (apalagi di Indonesia) buku-buku jenis seperti itu cukup banyak dan tidak semuanya beres. Runyam jika yang tercampur hal-hal klenik.

Kembali ke pokok bahasan soal tasawwuf sederhana, yaitu jika dalam sehari-hari kita sanggup iltizam (kontinyu) mempraktekkan 4 hal sederhana berikut, maka kita secara alamiah akan bertasawwuf tanpa terasa berat.

Pertama, Qillatul Kalam, tidak banyak bicara kecuali untuk hal-hal yang perlu saja. Sebab secara alamiah bahwa seseorang semakin banyak bicara maka potensi untuk jatuh pada kesalahan akan semakin besar.

Kita pasti tahu pepatah "mulutmu harimaumu". Nah, jika kita mampu memanage mulut kita dari bicara-bicara tak perlu, berpikir lebih dulu, tidak reaksioner berkomentar, maka cara ini, menahan mulut untuk tidak banyak bicara, efeknya adalah membantu pada proses kinerja hati kita.

Karena kotornya hati kita salah satu pemicunya adalah kegemaran berbicara tanpa kontrol, ngobrol, apalagi kalau suka gosip. Maka langkah pertama untuk bertasawwuf dengan sederhana adalah: memanage mulut kita untuk tidak banyak berbicara.

Langkah kedua, untuk membantu proses Qillatul Kalam, adalah tentu saja I'tizalul Anam. Tidak terlalu aktif berinteraksi kecuali perlu saja.

Langkah ini bukan anjuran bagi kita untuk memisahkan diri dari komunitas/masyarakat. Tidak mungkin itu. Namun mengurangi keinginan untuk sering kongkow, ngobrol ngalor ngidul tak perlu, dengan mengalihkannya pada konsentrasi ke belajar kita, ke pekerjaan-pekerjaan kita.

Sebab tentu saja secara otomatis jika kita sering duduk bareng maka mau tak mau akan ikut nimbrung bicara minimal menjadi pendengar. Dan jika yang dibicarakan itu gosip, atau menggunjing (dan ini hal yang paling seru juga mudah) maka otomatis juga akan terciprat dosa (apalagi kalau urun bicara). Dan setitik dosa sangat berpengaruh pada hati kita.

Cara bertasawwuf sederhana dengan sendiri yang ketiga adalah Qillatut Tho'am. Tidak banyak makan, mengurangi kegemaran cemil-cemil.

Sebab selalu kekenyangan itu cukup membantu untuk membuat hati jadi keras. Dan nafsu makan yang tidak terkontrol, jika direnungi adalah salah satu sumber dari banyak masalah yang terjadi dalam kehidupan kita atau di sekitar kita. Bahkan perang.

Sederhana saja, seseorang tak akan korupsi andai dia mampu menerapkan Qillatut Tho'am ini dengan baik dalam kesehariannya. Qillatut Tho'am juga membantu seseorang untuk tidak tamak, tidak ada rasa keinginan memiliki kepunyaan orang lain.

So, untuk Qillatut Tho'am ini kita ikuti cara Nabi, makan pada saat terasa lapar saja dan saat makan, berhenti sebelum kenyang.

Hasba ibni Adam luqoimat yuqimna sulbah. Begitu sabda Nabi, bahwa cukup bagi kita beberapa suapan saja untuk menghilangkan lapar. Atau dengan cara puasa-puasa sunnah (tapi kalau puasa lalu ntar maghribnya pas buka puasa makannya semeja sendiri ya sama aja :p)

Karena dengan menyedikitkan makan cukup membantu jiwa kita untuk proses pembersihan hati sekaligus ibadah dengan ringan.

Langkah keempat, Qillatul Manam, tidak banyak tidur kecuali pada waktunya saja. Khususnya malam, setidaknya saat jam 3 dini hari kita mengusahakan diri untuk bangun bertahajjud meski hanya 2 rakaat.

Dan bangun dengan mudah di jam-jam sulit itu bisa kita lakukan jika kita tidur tidak dengan perut yang kekenyangan.

Inti dari kultwit ini, bahwa belajar tasawwuf bagi pemula adalah dengan menekuni 4 hal ini dalam keseharian kita. Tidak banyak bicara, tidak banyak bergaul yanga tak perlu, tidak banyak makan, dan tidak banyak tidur.

Tidak sulit dan tidak berat kan teman-teman? moga kita bisa mempraktekkannya dengan baik untuk proses kebaikan hidup kita. Key? Semoga.

Sebab tasawwuf itu bukan sekedar teori. Tapi tasawwuf adalah praktek langsung dan terus menerus dalam kehidupan sehari-hari.

Dari 4 cara sederhana bertasawwuf yang aku sampaikan pada teman-teman tidak ada yg bertentangan dg Qur'an atau Sunnah kan?

Maka jika ada yang bilang bahwa tasawwuf itu bid'ah dan sesat, artinya dia salah judul dan tidak tahu dengan apa yang dia bicarakan tinggal saja
Mahabah atau rasa 'cinta' itu ibarat seseorang mengusapkan minyak wangi di hidungnya. 

Melihat siapapun wangi; yang tampak yang baik-baik, yang indah-indah. 

Sedangkan kebencian, bughdu, seperti kotoran yang menempel pada hidung, melihat siapapun bau; yang terlihat selalu keburukan, kesalahan dan kekurangan orang lain. 

Tinggal sekarang kita mau mengoleskan minyak wangi atau kotoran?!

PESAN SUNAN KALIJAGA KEPADA UMAT AKHIR ZAMAN


"Yen pasar ilang kumandange...Yen
kali wis ilang kedunge...Yen wong
wadon wis ilang wirange...Mlakuho
topo lelono njajah deso milang
kori...Ojo nganti/ngasi bali yen
durung bali patang sasi...Golek wisik
songko sang Hyang Widhi..."
Artinya :
 

> Yen pasar ilang kumandange...
Jika pasar sudah mulai diam.
maksudnya jika perdagangan sudah
tidak dengan tawar- menawar karena
banyaknya mall dan pasar swalayan
yang berdiri.
 

> Yen kali wis ilang kedunge...
Jika sungai sudah mulai kering...
maksudnya jika para alim ulama
sumber ilmu sudah mulai wafat satu
persatu maka ini alamat bahwa dunia
mau di Qiamatkan oleh Allah SWT.
Ulama ditamsilkan seperti air yang
menghidupkan hati2 manusia yang
gelap tanpa cahaya hidayah..
 

> Yen wong wadon wis ilang
wirange...
Jika wanita sudah tidak punya rasa
malu...
> Mlakuho topo lelono njajah deso
milang kori berjalanlah topo lelono
artinya bermujahadah susah payah
dalam perjalanan ruhani, spiritual
(suluk) atau perjalanan fi sabilillah...
 

> Ojo nganti/ngasi bali yen durung
bali patang sasi,,,
jangan pulang sebelum engkau
selesai 4 bulan
dalam arti : adalah penguasan atas
ilmu, yaitu : ilmu syariat, ilmu tharekat,
ilmu makrifat, dan ilmu hakikat.
 

> Golek wisik songko sang Hyang
Widhi..."
cari petunjuk, ilham, hidayah dan
kepahaman ruhani dari Dzat yang
Maha Esa..
 

# PesanSunan Kalijaga ini ditujukan
kepada umat akhir jaman dengan
sebelumnya menyebut tanda-tanda
akhir jaman & saran beliau untuk
melakukan pendekatan kepada Allah
melalui perjalanan Ruhani mencari
petunjuk & hidayah dari-Nya.

Alasan Mengapa Umat Islam Ibadah Menghadap Ka'bah


Percakapan Si A dengan seorang Kyai Muda

Si A : mengapa orang Islam menyembah kotak hitam?

Kyai : salah tu bro. Umat Islam ga menyembah kotak hitam, tapi menyembah Allah.

Si A : bukankah orang Islam sembahyang menghadap Ka'bah, satu kotak yang berwarna hitam? Apakah Allah itu ada di dalam Ka'bah?

Belum sempat sang kyai menjawab, terdengar handphone nya si A berbunyi. Si A menjawab panggilan teleponnya, sementaran sang kyai dengan sabar menanti. Setelah si A selesai menjawab panggilan di handphone nya, dia memandang sang kyai. Sang kyai tersenyum.

Si A : mengapa tersenyum? Apa jawaban dari pertanyaan saya tadi?

Kyai : hmm..perlukah saya menjawab pertanyaanmu?

Si A : ah, pasti kau tidak bisa menjawab bukan? [tertawa]

Kyai : bukan itu maksud saya. Tapi saya mencoba menggunakan teori yang kau gunakan untuk membuat pertanyaan yang kau ajukan padaku. Saya melihat kau kurang menyadarinya..

Si A : mengapa kau bicara begitu?

Kyai : tadi saya lihat kau bicara sendiri, ketawa dan tersenyum sendiri. Dan kau mencium HP itu sambil bicara "I love u mom"...

Si A : saya tidak bicara sendiri. Saya bicara dengan istri saya. Dia yang telfon saya tadi.

Ustadz : mana istrimu? Saya tak melihatnya..

Si A : istri saya di Tuban. Dia telfon saya, saya jawab menggunakan telfon. Apa masalahnya? [nada marah]

Kyai : boleh saya lihat HP kamu?

Si A mengulurkan HPnya kepada sang kyai. Sang kyai menerimanya, lalu membolak-balikan HP itu, menggoncang-goncangnya, mengetuk-ngetukHP tersebut ke meja. Lantas sang kyai menghempaskannya sekuat tenaga ke lantai.. PRAKKK..PECAH..Muka si A merah menahan marah. Sementara sang ustadz menatapnya sambil tersenyum..

Kyai : mana istrimu? Saya lihat dia tidak ada disini. Saya pecahkan HP ini pun istrimu tetap tak terlihat di dalamnya?

Si A : Lho yai, kenapa dipecahkan!? Teknologi sudah maju. Kita bisa berbicara jarak jauh menggunakan telfon. Apa kau tak bisa menggunakan otakmu? [jegerrr marahnya bro]

Kyai : Alhamdulillah [senyum]. Begitu juga halnya dengan Allah SWT. Umat Islam sembahyang menghadap Ka'bah bukan berarti umat Islam menyembah Ka'bah. Tetapi umat Islam sembahyang atas arahan Allah. Allah mengarahkan umat Islam untuk sembahyang menghadap Ka'bah juga bukan berarti Allah ada di dalam Ka'bah.

Begitu juga dengan dirimu dan istrimu. Istrimu menelfon menggunakan HP, ini bukan berarti istrimu ada di dalam HP. Tetapi ketentuan telekomunikasi menetapkan peraturan, kalau ingin bicara lewat telfon harus tekan nomor yang tepat, barulah akan tersambung dan kau bisa berbicara melalu HP meski istrimu tak ada di dalamnya.

Si A : [melongo]

Inilah Jawaban yang logis mengapa Umat Islam menghadap Ka'bah untuk menyembah Allah..

Wednesday, February 19, 2014

Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja


Oleh: KH MA Sahal Mahfudh

NU Online - Aswaja atau Ahlus Sunnah wa Jama'ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidah, syari'ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini—sebagai identitas—ialah keseimbangan pada dalil naqliyah dan 'aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.

Ekstremitas penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.

Fleksibilitas Aswaja juga tampak dalam konsep 'ibadah. Konsep ibadah menurut Aswaja, baik yang individual maupun sosial tidak semuanya bersifat muqayadah -terikat oleh syarat dan rukun serta ketentuan lain- tapi ada dan bahkan lebih banyak yang bersifat bebas (mutlaqah) tanpa ketentuan-ketentuan yang mengikat. Sehingga teknik pelaksanaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi perkembangan rnasyarakat yang selalu berubah.

Demikian sifat-sifat fleksibilitas itu membentuk sikap para ulamanya. Karakter para ulama Aswaja menurut Imam Ghazali menunjukkan bahwa mereka mempunyai ciri faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya. Artinya mereka faham benar dan peka terhadap kemaslahatan makhluk di dunia. Pada gilirannya mereka mampu mengambil kebijakan dan bersikap dalam lingkup kemaslahatan. Dan karena kemaslahatan itu sering berubah, maka sikap dan kebijakan itu menjadi zamani (kontekstual) dan fleksibel.

Aswaja juga meyakini hidup dan kehidupan manusia sebagai takdir Allah. Takdir dalam arti ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, Allah meletakkan hidup dan kehidupan manusia dalam suatu proses. Suatu rentetan keberadaan, suatu urutan kejadian, dan tahapan-tahapan kesempatan yang di berikan-Nya kepada manusia untuk berikhtiar melestarikan dan memberi makna bagi kehidupan masing-masing.

Dalam proses tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan aspek yang walaupun dapat dibedakan, namun saling kait-mengait. Di sini manusia dituntut untuk mengendalikan dan mengarahkan aspek-aspek tersebut untuk mencapai kelestarian sekaligus menemukan makna hidupnya.

Sedang dalam berikhtiar mencapai kelestarian dan makna hidup itu, Islam Aswaja merupakan jalan hidup yang menyeluruh, menyangkut segala aspek kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun sosial dalam berbagai komunitas bermasyarakat dan berbangsa. Aktualisasi Islam Aswaja berarti konsep pendekatan masalah-masalah sosial dan pemecahan legitimasinya secara Islami, yang pada gilirannya Islam Aswaja menjadi sebuah komponen yang mernbentuk dan mengisi kehidupan masyarakat, bukan malah menjadi faktor tandingan yang disintegratif terhadap kehidupan.

Dalam konteks pembangunan nasional, perbincangan mengenai aktualisasi Aswaja menjadi relevan, justru karena arah pelaksaan pembangunan tidak lepas dari upaya membangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ia tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah (sandang, pangan, papan) semata, atau (sebaliknya) hanya membangun kepuasan batiniah saja, melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya.

Pandangan yang mengidentifikasikan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi belaka atau dengan berdirinya industri-industri raksasa yang memakai teknologi tinggi semata, cenderung mengabaikan keterlibatan Islam dalam proses pembangunan. Pada gilirannya sikap itu menumbuhkan perilaku individualistis dan materialistis yang sangat bertentangan dengan falsafah bangsa kita.

Proses pembangunan dengan tahapan pelita demi pelita telah mengubah pandangan masyarakat tradisional berangsur-angsur secara persuasif meninggalkan tradisi-tradisi yang membelenggu dinnya, kemudian mencari bentuk-bentuk lain yang membebaskan dirinya dari himpitan yang terus berkembang dan beragam. Dari satu sisi, ada perkembangan positif, bahwa masyarakat terbebas dari jeratan tradisi yang mengekang dari kekuatan feodalisme. Namun dari segi lain, sebenarnya pembangunan sekarang ini menggiring kepada jeratan baru, yaitu jeratan birokrasi, jeratan industri dan kapitalisme yang masih sangat asing bagi masyarakat.

Konsekuensi lebih lanjut adalah, nilai-nilai tradisional digeser oleh nilai-nilai baru yang serba ekonomis. Pertimbangan pertama dalam aktivitas manusia, diletakkan pada "untung-rugi" secara materiil. Ini nampaknya sudah menjadi norma sosial dalam struktur masyarakat produk pembangunan. Perbenturan dengan nilai-nilai Islami, dengan demikian tidak terhindarkan Secara berangsur-angsur etos ikhtiar menggeser etos tawakal, mengabaikan keseimbangan antara keduanya.

Konsep pembangunan manusia seutuhnya yang menuntut keseimbangan menjadi terganggu, akibat perbenturan nilai itu. Karena itu pembangunan masyarakat model apa pun yang dipilih, yang tentu saja merupakan proses pembentukan atau peningkatan -atau paling tidak menjanjikan- kualitas masyarakat yang tentu akan melibatkan totalitas manusia, bagaimana pun harus ditempatkan di tengah-tengah pertimbangan etis yang berakar pada keyakinan mendasar, bahwa manusia -sebagai individu dan kelompok- terpanggil untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan ikhtiarnya kepada Allah, pemerintah dan masyarakat lingkungan sesuai dengan ajaran dan petunjuk Islam.

Manusia yang hidup dalam kondisi seperti terurai di atas dituntut agar kehidupannya bermakna. Ia sebagai khalifah Allah di atas bumi ini justru mempunyai fungsi ganda, pertama 'ibadatullah yang kedua 'imaratu al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi yang kedua sangat rnempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka rnencapai tujuan hidup yakni sa'adatud darain. Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu berubah seiring dengan transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.

Dalam konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiawikan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka yang merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.

Tentu saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.

Untuk melakukan pembangunan masyarakat sekarang mau pun esok, pendekatan yang paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.

Kondisi dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di sarnping menyadari tema-tema zamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman menafsirkan masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami masalah itu. Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang membentuk masa depannya.

Kebutuhan akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting adanya. Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini, antara aspirasi keagamaan Islam dan kenyataan ada. Suatu kesenjangan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses pembangunan masyarakat, yang cenderung maju atas dorongan inspirasi kebutuhan hidup dari dimensi biologis semata.

Merumus kan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.

Kemampuan melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis lingkarbalik (daur). Rumusan Khittah 26 pasal ke-6 juga menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.

Aktualisasi Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep motivator untuk menumbubsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.

Dari sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menafkahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al muntadhim. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.

Ajaran Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Hubungan yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khittah 26 butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.

Tentang hubungan ketiga antara manusia dengan alam lingkungannya terumuskan dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap israf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’asyarah maupun muamalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Berarti diperlukan konsep mu'amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam Aswaja.

*) Dikutip dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar Pengembangan Sumber Daya Manusia NU Wilayah Sumatera Selatan, 16 Januari 1989 di Palembang.

Sumber: NU Online

Ketika Gerakan Radikal Tidak Berdaya di Indonesia

Radikalisme Tidak Berdaya
 Ketika di banyak negara muslim, gerakan islam radikal makin menguat bahkan berani melawan pemerintahan yang sah, baik di Pakistan, Afghanistan, Irak, dan lainnya. Di negara Eropa pertumbuhan umat Islam sangat cepat, tapi pertumbuhan Islam radikalnya pun cepat membuat citra Islam dibenua Eropa pun tercoreng, membuat pusing pemerintah disana.

Ketika perang sekte antara Sunni dan Syiah di Suriah dan umumnya Timur Tengah yang sebenarnya disebabkan politik perebutan pengaruh antara Wahabi paham yang dianut Arab Saudi dengan didukung oleh AS dan Israel dengan Syiah, paham yang di anut Iran yang dianggap ancaman terbesar. 
 
Ketika dunia terancam oleh pertumbuhan gerakan radikal yang banyak berideologi Wahabi, tapi di Indonesia, gerakan radikal tersebut mendapat perlawanan yang cukup keras. Orang-orang yang coba ingin mengganti dasar negara ini rupanya keteteran, tidak sadar bahwa yang mereka lawan adalah mayoritas di negeri ini, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dengan wajah Islam kebangsaannya. 
 
Ketika mereka membawa-bawa konflik diluar baik Anti Ahmadiyah, Anti Syiah, Anti Kristen dan lain-lain tapi berkat kesadaran umat Islam yang memegang teguh bahwa Islam itu bukan arab dan tidak harus sama dengan arab, Islam Indonesia islam yang mempunyai ciri khas, dengan tradisi keislaman yang menjunjung tinggi budaya, sehingga gerakan radikal di negeri ini mampu di bendung.

Andai ormas NU dengan sikap Tawasuth, Tasamuh dan Tawazun berkembang di seluruh dunia, yakinlah Islam itu akan makin terlihat sebagai Islam Rahmatan lil Alamin. Mari dukung terus perdamaian, jauhkan keluarga kita dari ideologi radikal. (*/)

Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2014/02/ketika-gerakan-radikal-tidak-berdaya-di.html#ixzz2tjGzBPcG