Pages

Saturday, July 26, 2014

Fokusnya Orang Islam, Surga atau Allah?

Photo: [ Fokusnya Orang Islam, Surga atau Allah? ]

"Saya tanya, Fokusnya anda sebagai Orang Islam itu Surga apa Allah?"

"Allah.." jawab hadirin.

"Bener..?" tegas Cak Nun

"hahaha.." hadirin pun tertawa bingung antara menertawakan diri sendiri dan kejenakaannya.

"maksud saya kalo anda fokus sama Allah, kamu masih peduli Surga atau Neraka? Apa Allah tidak Maha Besar? tidak Maha Memenuhi diri kita sehingga kita sempat memikirkan Surga atau Neraka? Anda itu ditipu oleh info-info Surga."

"Dikit-dikit Surga, dikit-dikit surga..begitu nanti sampai Surga, Allah ga ada. Bingung kamu.." Cak Nun menambahkan.

(Emha Ainun Najib,
Penggalan SemNas Jati Diri Bangsa, UIN Malang, 16 Maret 2014) 
"Saya tanya, Fokusnya anda sebagai Orang Islam itu Surga apa Allah?"

"Allah.." jawab hadirin.

"Bener..?" tegas Cak Nun

"hahaha.." hadirin pun tertawa bingung antara menertawakan diri sendiri dan kejenakaannya.

"maksud saya kalo anda fokus sama Allah, kamu masih peduli Surga atau Neraka? Apa Allah tidak Maha Besar? tidak Maha Memenuhi diri kita sehingga kita sempat memikirkan Surga atau Neraka? Anda itu ditipu oleh info-info Surga."

"Dikit-dikit Surga, dikit-dikit surga..begitu nanti sampai Surga, Allah ga ada. Bingung kamu.." Cak Nun menambahkan.

(Emha Ainun Najib,
Penggalan SemNas Jati Diri Bangsa, UIN Malang, 16 Maret 2014)

Silsilah Ulama-Ulama Ahli Fiqih Mazhab Syafi'i



Abad ke-3 H
1. Imam Asy-Syafi'i (Wafat 204) H
2. Imam Ahmad (Wafat 241) H
3. Imam Bukhari (Wafat 256 H)
4. Imam Abu Dawud (Wafat 275) H
5. Imam At-Tirmidzi (Wafat 279 H)
6. Syeikh Juneid al-Bagdadi (Wafat 298 H)

Abad ke-4 H
7. Imam An-Nasa'i (Wafat 303 H)
8. Abu Hasan al Asy'ari (Wafat 324 H)
9. Ibnul Haddad (Wafat 345 H)
10. Ar-Razi (Wafat 347 H)
11. Ibnul Qathan (Wafat 359 H)
12. Ibnul Bahran (Wafat 361 H)
13. Al-Qaffal al-Kabir asy-Syasyi (Wafat 366 H)
14. Ad-Daruquthni (Wafat 385 H)
15. Al-Isma'ili (Wafat 392 H)
16. Al-Qadhi Al-Jurjani (Wafat 392 H)
17. As-Susi (Wafat 396 H)
18. Ibnu Laal (Wafat 398 H)

Abad ke-5 H
19. Al-Lalika'i (Wafat 416 H)
20. Al-Mawardi (Wafat 450 H)
21. Imam Al-Baihaqi (Wafat 458 H)

Abad ke-6 H
22. Imam Al-Ghazali (Wafat 505 H)
23. Imam Al-Baghawi (Wafat 516 H)
24. Ibnu Asakir (Wafat 576 H)
25. Abu Syuja (Wafat 593 H)

Abad ke-7 H
26. Al-Mundziri (Wafat 656 H)
27. Imam An-Nawawi (Wafat 676 H)
28. Imam Ar-Rafi'i (Wafat 623 H)
29. Ibnu Malik (Wafat 672 H)
30. Al-Baidlawi (Wafat 691 H)

Abad ke-8 H
31. Ibnu Katsir (Wafat 774 H)
32. Ibnu Daqiq al-Ied (Wafat 702 H)
33. Quthbuddin asy-Syirazi (Wafat 710 H)
34. Taqiyuddin as-Subki (Wafat 756 H)
35. Az-Zarkasyi (Wafat 794 H)

Abad ke-9 H
36. Ibnu Al-Mulaqqin (Wafat 804 H)
37. Ibnu Ruslan (Wafat 844 H)
38. Ibnu Hajar Al 'Asqalani (Wafat 852 H)
39. Jalaluddin al-Mahalli (Wafat 864 H)
40. Imamul Kamiliyah (Wafat 874 H)

Abad ke-10 H
41. Jamaluddin An-Nasyiri (Wafat 911 H)
42. Imam As-Suyuthi (Wafat 911 H)
43. Jalaluddin al-Karaki (Wafat 912 H)
44. Ibnu Abi Syarif (Wafat 923 H)
45. Abul Fatah al-Mishri (Wafat 963 H)
46. Hasanuddin (Wafat 964 H)
47. Ibnu Qassim al-'Ubaidi (Wafat 994 H)
48. Mirza Makhdum (Wafat 995 H)

Abad ke-11 H
49. Syeikh Nuruddin al-Raniri (Wafat 1068 H)
50. Syamsuddin as-Syaubari (Wafat 1069 H)
51. Syihabuddin al-Qaliyubi (Wafat 1070 H)
52. Abdul Birri al-Ajhuri (Wafat 1070 H)
53. Al-'Urdli (Wafat 1071 H)
54. Ibnu Jamal al-Makki (Wafat 1072 H)
55. Al-Qinai (Wafat 1073 H)
56. Ibrahim al-Marhumi (Wafat 1073 H)
57. Muhammad al-Bathini (Wafat 1075 H)
58. Muhammad al-Kurani (Wafat 1078 H)
59. Ibrahim al-Maimuni (Wafat 1079 H)
60. Abdul Qadir as-Shafuri (Wafat 1081 H)
61. Ibnu Jam'an(Wafat 1083 H)
62. Ibrahim al-Khiyari(Wafat 1083 H)
63. Al Kurdi (Wafat 1084 H)
64. Al al-Ayyubi (Wafat 1086 H)
65. Muhammad al-Bakri (Wafat 1087 H)
66. Syeikh Abdul Rauf al-Fanshuri (Wafat 1094 H)

Abad ke-12 H
67. Abdullah bin Alawi al-Haddad (Wafat 1123 H)
68. Muhammad al-Kurani (Wafat 1145 H)
69. Al 'Ajaluni (Wafat 1148 H)
70. Hasan al-Bani (Wafat 1148 H)
71. As-Safar Jalani (Wafat 1150 H)
72. Ad-Diri (Wafat 1151 H)
73. As-Suwaidi (Wafat 1143 H)
74. Zainuddin ad-Dirbi (Wafat 1155 H)
75. Al-Busthami (Wafat 1157 H)
76. Athaulah al-Azhari (Wafat 1161 H)

Abad ke-13 H
77. Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani (Wafat 1203 H)
78. Syeikh Arsyad al-Banjari (Wafat 1227 H)
79. Al-Yamani(Wafat 1201 H)
80. Ahmad al-Khalifi(Wafat 1209 H)
81. Al-Baithusyi(Wafat 1211 H)
81. At-Takriti(Wafat 1211 H)
82. Ibnu Jauhari(Wafat 1215 H)
83. Ad-Damanhuri(Wafat 1221 H) •

Abad ke-14 H
84. Syeikh Nawawi al-Bantani (Wafat 1315 H)
85. Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (Wafat 1334 H)
86. Syeikh Muhammad Saad Munqa (Wafat 1339 H)
87. Syeikh Muhammad Saleh al-Minankabawi (Wafat 1351 H)
88. Syeikh Khatib 'Ali (Wafat 1353 H)
89. Syeikh Muhammad Jamil Jaho (Wafat 1360 H)
90. K.H. Hasjim Asy'ari (Wafat 1367 H)
91. Syeikh Abdul Wahid Tabek Gadang (Wafat 1369 H)
92. Syeikh Syeikh Musthafa Husein al-Mandili (Wafat 1370 H)
93. K.H. Dimyathi Syafi'ie (Wafat 1378 H)
94. Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Mutalib al-Mandili (Wafat 1385 H)
95. Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Wafat 1388 H)
96. Al-Habib Salim bin Djindan (Wafat 1389 H)
97. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli (Wafat 1390 H)
98. K. H. Abdul Wahab Hasbullah (Wafat 1391 H)
99. Al-Habib Ali bin Husein al-Attas (Wafat 1396 H)

Abad ke-15 H
100. Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani (Wafat 1410 H)
101. Syeikh Muhammad Zaini Abdul Ghani (Wafat 1426 H)
102. Al-Habib Munzir bin Fuad al-Musawa (Wafat 1434 H)
103. K. H. Sahal Mahfudz (Wafat 1435 H).

Repost dari Gus Hafidz Muzadi

Memahami kata "Sunnah" yg dimaksud Nabi

Photo: Memahami kata "Sunnah" yg dimaksud Nabi
-----------
Selamat malam tweeps. Kemarin sempat aku singgung soal apa arti sunnah dalam hadits Nabi yg cukup terkenal, "alaikum bi sunnati"

Wa sunnatil khulafa' arrasyidina al mahdiyyina min ba'di, addhu alaiha bin nawadhij. Berpeganglah pada "sunnah"ku dan "sunnah" ...

Para khalifah yg mendapat petunjuk, dan bimbingan, setelahku, gigit kuat2 dengan gigi gerahammu.

Selama ini jika kita mendengar kata "sunnah", seketika tercetak dalam benak kita dua makna. Makna pertama, ibadah2 yg bukan wajib

Makna kedua, hadits2 Nabi, dalam hal ini adalah perkataan, perbuatan, sifat, dan persetujuan beliau atas suatu tindakan sahabatnya

Memang betul seperti itu, hanya saja pengertian sunnah di atas tadi adalah definisi ulama fiqh dan definisi para ulama ahli hadits.

Dan kata "sunnah", mempunyai berbeda lagi jika dilihat dari sudut pandang ilmu fiqhut tahawwulat (ilmu yg berbicara soal tanda2 masa)

Dan khusus hadits di atas, cara pandang yg tepat adalah dg menggunakan kacamata ilmu fiqh tahawwulat ini (istilah baru ya?)

Yang dimaksud oleh Nabi soal sunnah itu adalah tatacara beliau bersikap dalam sebuah momentum tertentu. Begitu jg para khalifahnya

Tentu saja khalifah di sini bukan sembarang khalifah, hanya terbatas kepada 5 orang setelahnya saja. Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali & Hasan

Jadi sunnah di sabda beliau itu bukan hadits yg kita kenal. Bukan syariah. Lagipula khalifah juga bukan sumber syariah. So ada arti lain

Yaitu kebijakan beliau atas suatu peristiwa yang kadangkala secara tampilan berbenturan dg syariah.

Semisal kejadian kala ada pemuda yg minta dispensasi berzina. Para sahabat telah mau membentak pemuda itu, tapi Nabi bersikap berbeda

Atau semisal kala ada orang tua dan pemuda yang bertanya sama pada Nabi soal boleh apa tidak mencium istri kala puasa.

Jawaban Nabi berbeda, yg tua boleh, yg muda tidak. Atau contoh populer usai perang hunain. Kala Nabi dapat rampasan luar biasa banyak

Semestinya sahabatnya juga berhak mendapat bagian harta itu. Tapi saat itu mereka tak satupun diberi, malah orang2 yg baru masuk islam

Karena Nabi mempunyai tujuan lain. Nah ini yg dimaksud "sunnah" dalam hadits itu.

Kalau contoh dari para khalifah adalah semisal keputusan Abu Bakr memerangi kelompok yg sholat, sebab mereka menahan zakat.

Atau keputusan Umar tidak menerapkan hukuman potong tangan pada pencuri saat terjadinya paceklik panjang.

Atau momentum Ustman kala memutuskan tidak memundurkan diri dari jabatan khalifah saat didesak mundur.

Atau keputusan Ali memerangi sesama muslim di Nahrawan sebab mereka menebar fitnah dengan mengkafirkan muslim yg tak sepaham dg mereka

Atau keputusan Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah dengan pertimbangan menghindarkan pertumpahan darah antar ummat islam

Nah contoh di atas adalah seluruhnya "sunnah", maksudnya berpeganglah pada cara kami bersikap saat terjadi semacam fitnah

Satu contoh lagi bagaimana Nabi diam tidak menyalahkan atau membenarkan 2 kelompok sahabatnya yg berbeda pendapat soal asar di quraidhah

Nah sebagian contoh itu adalah petunjuk kepada kita apa yang harus kita lakukan saat terjadinya hal yg secara tampilan menabrak syariah

Atau apa yang harus kita lakukan kala terjadinya suatu fitnah, terutama yg mengancam persatuan kelompok.

Karena dg itu kita bisa terhindar dari titik2 fitnah yg jika telah terjadi bisa melahap apa saja. Tak peduli orang shaleh atau preman

Semoga menambah ilmu, bahwa sunnah itu tak berarti hadits saja, atau ibadah saja. Namun juga cara bersikap Nabi dalam momen tertentu

by: Awy' Ameer Qolawun, Awy' Ameer Qolawun-Dua, Awy' Ameer Qolawun-Full
-----------
Selamat malam tweeps. Kemarin sempat aku singgung soal apa arti sunnah dalam hadits Nabi yg cukup terkenal, "alaikum bi sunnati"

Wa sunnatil khulafa' arrasyidina al mahdiyyina min ba'di, addhu alaiha bin nawadhij. Berpeganglah pada "sunnah"ku dan "sunnah" ...

Para khalifah yg mendapat petunjuk, dan bimbingan, setelahku, gigit kuat2 dengan gigi gerahammu.

Selama ini jika kita mendengar kata "sunnah", seketika tercetak dalam benak kita dua makna. Makna pertama, ibadah2 yg bukan wajib

Makna kedua, hadits2 Nabi, dalam hal ini adalah perkataan, perbuatan, sifat, dan persetujuan beliau atas suatu tindakan sahabatnya

Memang betul seperti itu, hanya saja pengertian sunnah di atas tadi adalah definisi ulama fiqh dan definisi para ulama ahli hadits.

Dan kata "sunnah", mempunyai berbeda lagi jika dilihat dari sudut pandang ilmu fiqhut tahawwulat (ilmu yg berbicara soal tanda2 masa)

Dan khusus hadits di atas, cara pandang yg tepat adalah dg menggunakan kacamata ilmu fiqh tahawwulat ini (istilah baru ya?)

Yang dimaksud oleh Nabi soal sunnah itu adalah tatacara beliau bersikap dalam sebuah momentum tertentu. Begitu jg para khalifahnya

Tentu saja khalifah di sini bukan sembarang khalifah, hanya terbatas kepada 5 orang setelahnya saja. Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali & Hasan

Jadi sunnah di sabda beliau itu bukan hadits yg kita kenal. Bukan syariah. Lagipula khalifah juga bukan sumber syariah. So ada arti lain

Yaitu kebijakan beliau atas suatu peristiwa yang kadangkala secara tampilan berbenturan dg syariah.

Semisal kejadian kala ada pemuda yg minta dispensasi berzina. Para sahabat telah mau membentak pemuda itu, tapi Nabi bersikap berbeda

Atau semisal kala ada orang tua dan pemuda yang bertanya sama pada Nabi soal boleh apa tidak mencium istri kala puasa.

Jawaban Nabi berbeda, yg tua boleh, yg muda tidak. Atau contoh populer usai perang hunain. Kala Nabi dapat rampasan luar biasa banyak

Semestinya sahabatnya juga berhak mendapat bagian harta itu. Tapi saat itu mereka tak satupun diberi, malah orang2 yg baru masuk islam

Karena Nabi mempunyai tujuan lain. Nah ini yg dimaksud "sunnah" dalam hadits itu.

Kalau contoh dari para khalifah adalah semisal keputusan Abu Bakr memerangi kelompok yg sholat, sebab mereka menahan zakat.

Atau keputusan Umar tidak menerapkan hukuman potong tangan pada pencuri saat terjadinya paceklik panjang.

Atau momentum Ustman kala memutuskan tidak memundurkan diri dari jabatan khalifah saat didesak mundur.

Atau keputusan Ali memerangi sesama muslim di Nahrawan sebab mereka menebar fitnah dengan mengkafirkan muslim yg tak sepaham dg mereka

Atau keputusan Hasan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah dengan pertimbangan menghindarkan pertumpahan darah antar ummat islam

Nah contoh di atas adalah seluruhnya "sunnah", maksudnya berpeganglah pada cara kami bersikap saat terjadi semacam fitnah

Satu contoh lagi bagaimana Nabi diam tidak menyalahkan atau membenarkan 2 kelompok sahabatnya yg berbeda pendapat soal asar di quraidhah

Nah sebagian contoh itu adalah petunjuk kepada kita apa yang harus kita lakukan saat terjadinya hal yg secara tampilan menabrak syariah

Atau apa yang harus kita lakukan kala terjadinya suatu fitnah, terutama yg mengancam persatuan kelompok.

Karena dg itu kita bisa terhindar dari titik2 fitnah yg jika telah terjadi bisa melahap apa saja. Tak peduli orang shaleh atau preman

Semoga menambah ilmu, bahwa sunnah itu tak berarti hadits saja, atau ibadah saja. Namun juga cara bersikap Nabi dalam momen tertentu

by: Awy' Ameer Qolawun

Kisah Perjalanan Hidup 'Dulu Salafy-Wahhabi, Kini Kyai Sufi


Langkah dakwahnya telah dimulai sejak duduk di bangku STM. Sempat tergila-gila dengan paham Wahhabi, tapi akhirnya muballigh yang satu ini kembali ke jalur asalnya, Islam tradisional. Bahkan kini ia mendalami tasawuf dan thariqah.

Siapa yang tak kenal dengan muballigh yang satu ini. Wajahnya yang teduh kerap menghiasi layar kaca di rumah kita dalam acara santapan ruhani, dialog religi, atau pengantar berbuka puasa. Gaya bicaranya yang mantap dan materi ceramahnya yang sarat nilai-nilai tasawuf, meski tetap dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami, menjadikan tamu kita yang satu ini segera merebut perhatian jutaan umat Islam di tanah air.

Sejak penghujung dasawarsa 70-an ia telah mulai berdakwah, dimulai dari lingkungan tetangga dan teman-teman sekolahnya. Pertengahan era tahun '80-an, jadwal ceramahnya semakin padat, dari masjid ke masjid dan dari satu perkantoran ke perkantoran lain. Belakangan dakwahnya merambah ke stasiun-stasiun TV, dari kota ke kota, dari pulau ke pulau, bahkan hingga lintas negara. Beberapa Negara seperti Jerman dan Perancis di Eropa, Jepang Singapura, Thailand, Brunei dan Malaysia di Asia, Australia hingga benua Amerika pernah dijelajahinya dalam safari dakwah.

Kiprah kemuballighannya tentu tak diragukan lagi, namun tak banyak yang tahu bahwa dai yang satu ini juga seorang pengamal tarekat. Bahkan ia adalah salah satu Wakil Talqin K.H. Ahmad Shohibul Wafa' Tajul 'Arifin alias Abah Anom, Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. "Wakil Talqin" adalah istilah untuk badal (asisten) guru mursyid dalam Thariqah Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah, yang dipimpin ulama sepuh yang lahir pada 1 Januari 1915 itu.

Dan, jika melihat aktivitas ketarekatannya saat ini, sepertinya tak ada yang menyangka bahwa di masa mudanya muballigh yang satu ini pernah sangat menggandrungi dan mendalami paham Wahhabi. Ia pernah sangat lekat dengan pemikiran islam ala A. Hassan Bandung, pendiri Persatuan Islam (Persis), bahkan ikut aktif mengajarkan Islam bercorak kanan itu kepada murid-murid cilik yang memadati pengajiannya.

Namun pencarian tak kenal lelah sang dai akhirnya membawa langkah kakinya kembali ke fitrah kebetawiannya, sebagai muslim tradisionalis dan penganut thariqah shufiyyah. Siapakah dia? Tak lain, dialah K.H. Wahfiudin, S.E., M.B.A., muballigh kondang ibukota yang asli Betawi, yang juga pemimpin RADIX Training Center, pusat pelatihan dakwah.

Dikunjungi alkisah suatu siang di rumah yang sekaligus menjadi kantornya yang terletak tak jauh dari Pasar Sunan Giri, Rawamangun, Jakarta Timur, Ust. Wahfiudin tampak baru saja menunaikan shalat Dzuhur berjamaah bersama beberapa karyawannya. Setelah usai melantunkan dzikir rutin seusai shalat, sang Ustadz tidak segera beranjak dari duduknya. Dari bibirnya mengalun kalimah tauhid yang diucapkan dengan nada memanjang "laailaaha illallaah" sebanyak tiga kali, sambil diikuti oleh jamaahnya. Tak lama kemudian dari sudut kantor mungil itu kalimat tahlil kembali mengalun ratusan kali dengan irama yang lebih cepat, khas dzikir thariqah ala Suryalaya.

Selain digunakan untuk aktivitas perkantoran lembaga pengembangan sumber daya manusia RADIX Training Center dan perawakilan Dompet Dhuafa Rawamgun, pada waktu-waktu tertentu rumah Ust. Wahfiudin juga dijadikan majlis dzikir thariqah. Sungguh pemandangan unik di salah satu sudut perkantoran kota metropolitan.

Tadarrus Gila-gilaan
Lahir di Kampung Lima (kini jalan Sabang), Jakarta Pusat, pada 19 Oktober 1961, Wahfiudin adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Ayahnya Sakam Bahrum, seorang tukang pos keliling. Sementara ibunya, Aminah, membantu perekonomian keluarga dengan menjadi penjahit pakaian di rumah. Saat usianya dua tahun, keluarga Wahfiudin pindah ke Setiabudi, yang ditempatinya hingga bocah itu dewasa dan menikah pada tahun 1986. Baru pada tahun 1993, ketika anaknya sudah tiga, ia hijrah ke Rawamangun hingga saaat ini.

Seluruh keluarga Wahfiudin adalah aktivis pengajian. Saat kecil ia sering diajak nenek dan ibunya mengikuti pengajian Minggu pagi di Majelis Ta'lim Asy-Syafi'iyyah, Bali Matraman yang diasuh oleh ulama besar KH. Abdullah Syafi'i. Dan ketika duduk di kelas empat SD, setiap minggu ia menemani neneknya berjalan kaki dari setiabudi ke Bali Matraman melalui daerah Kampung Kuningan, yang waktu itu masih berupa perkebunan dan dipenuhi empang-empang.

Hebatnya, meski masih keci, setiap kali duduk di majlis ta'lim, Wahfiudin hanya mau duduk di barisan terdepan. Jika duduk di barisan kedua dan seterusnya, saya merasa sering terganggu oleh gerakan orang-orang di depan saya, dan saya jadi nggak konsentrasi mendengarkan ceramah Kiai,katanya sambil tersenyum mengenang masa kecilnya. Buat apa jauh-jauh berjalan kaki kalau sampai di sini nggak bisa menyerap ilmu dengan maksimal karena duduk di belakang, katanya saat itu.

Sejak mengetahui pengajian KH Abdullah Syafi'i itulah ia mulai ngefans berat dengan sang muallim dan beberapa ulama besar lain yang sering hadir di majlis KH Abudllah Syafi'i. Melalui majlis itu ia juga mulai merasakan ketertarikan terhadap dunia dakwah dan bercita-cita menjadi seorang dai.

Sejak SD, Wahfiudin juga sudah mulai ikut-ikutan belajar mengaji Al-Qur'an di rumah beberapa ustadz di kampungnya. Tapi baru setelah duduk di bangku SMP dan diajari langsung oleh ayahnya, ia bisa membaca Al Qur'an dengan baik. Saking senangnya, waktu masuk bulan Ramadhan, ia membaca Al-Qur'an (tadarrus) secara "gila-gilaan". Betapa tidak, dalam sebulan ia mampu mengkhatamkan Al Qur'an tiga kali.

Uniknya, meski bercita-cita menjadi juru dakwah, Wahfiudin tidak pernah sekalipun sekolah di madrasah. Pendidikan dasarnya ia tempuh di SD Setiabudi, kemudian melanjutkan di SMPN 57. Di kedua jenjang sekolah itu prestasi akademinsya terbilang bagus. Ia sering menyabet peringkat tiga besar di kelasnya. Karena itu, ketika memasuki tahun terakhir di SMP, ia bercita-cita akan mendaftar ke beberapa SMA di negeri favorit di ibu kota.

Berpikir ala PERSIS
Namun alangkah terkejutnya ketika suatu hari ayahnya memanggil dia dan berkata, îNak, SMA itu dirancang untuk anak-anak yang akan kuliah. Sedangkan bapakmu yang cuma pegawai kantor pos rendahan ini nggak akan kuat membiayai kamu kuliah. Apalagi adik-adikmu masih banyak. Karena itu kamu masuk sekolah kejuruan saja ya, nak. Biar nantinya lekas dapat kerja.

Meski hatinya hancur, Wahfiudin menuruti keinginan orangtuanya, "Sedih juga", kenangnya. "Apalagi kalau melihat teman-teman yang prestasinya jauh di bawah saya bisa bersekolah di SMA-SMA negeri favorit, seperti SMAN 3 Jakarta".

Saat memutuskan masuk sekolah kejuruan, Wahfiudin, yang berpembawaan tenang, sempat kebingungan juga. "Mau masuk STM, saya takut terlibat perkelahian antar pelajar. Mau masuk SMEA, saya malu, karena kebanyakan muridnya perempuan". Akhirnya ia mendaftar di STM Penerbangan, Kebayoran.

Namun, saat di STM, Wahfiudin sering merasa jenuh di kelas dan memilih membolos, lalu nongkrong di perpustakaan DKI di Kuningan. Belakangan ia menyalurkan kejenuhannya dengan aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Di PII ini ghirah berdakwahnya yang sempat terpatri saat kecil kembali tergali.

Kebetulan tahun-tahun itu (1978) di kalangan aktivis PII sedang nge-trend mengikuti LMD (Latihan Mujahid Dakwah) di Bandung yang dipelopori Bang Imad (Imaduddin Abdurrahim). Sebenarnya pelatihan itu khusus untuk level mahasiswa. Tapi karena Wahfiudin ngotot, akhirnya senior-seniornya di PII memberinya rekomendasi untuk mengikuti LMD.

LMD memberi saya wawasan ilmu agama yang rasional dan ilmiah, katanya. Sejak usai mengikuti LMD, ia juga bertekad untuk menjadi muslim yang baik dan menguasi minimal dua bahasa asing sebagai modal dakwah.

Obyek dakwah pertamanya adalah tetangga-tetangga di lingkungan rumahnya. Wahfiudin prihatin melihat banyak remaja dan pemuda di kampungnya yang terjerumus dalam minuman keras. Namun karena sebaya, setiap kali ia mengingatkan mereka, Wahfiudin selalu dilecehkan.

Karena 'putus asa' menghadapi yang besar, Wahfiudin lalu mengubah strategi dakwahnya dengan mendekati anak-anak kecil. Kepada orangtua-orangtua mereka ia meyakinkan, harus dilakukan pemotongan generasi untuk menghindari penularan kebiasaan buruk remaja kampung itu kepada anak-anak kecilnya. Ia pun meminta izin kepada mereka untuk mengumpulkan anak-anak mereka buat belajar membaca Al Qur'an sambil sedikit-sedikit disisipi dengan nasehat akhlaq.

Ternyata tanggapan mereka sangat positif. Bahkan salah seorang tetangga Wahfiudin menyediakan rumahnya untuk dijadikan tempat pengajian. Untuk memperkaya wawasan keagamaanya, ia sering berkonsultasi ke Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Staf Dewan Dakwah yang sering membimbingnya waktu itu antara lain Ustadz Fauzi Agustjik dan Ustadz Syuhada Bahri.

Tak hanya diberi mentoring dakwah, Wahfiudin juga sering mendapat buku-buku bacaan agama.

Tapi kebanyakan buku karya A. Hassan, tokoh Persis Bandung. "Karenanya waktu itu pola pikir saya ala Persis banget. Ini Al Qur'annya, ini haditsnya, lain dari ini salah. Pokoknya jebret-jebret!" katanya sambil memperagakan gerakan silat.

Lama kelamaan pengajiannya semakin besar, sehingga kelompok pengajiannya harus dipecah jadi dua kelompok. Hingga tahun berikutnya, murid pengajiannya telah menjadi 24 kelompok, dan murid senior sudah mulai membantu mengajari adik-adik kelasnya. Waktu itu belum ada model Taman Pendidikan Al Qur'an seperti sekarang. "Alhamdulillah lama kelamaan banyak anak remaja yang juga ikut bergabung", kenang Wahfiudin.

Tak hanya di rumah, di sekolahnya ia juga mempelopori pelaksanaan shalat Jum'at di aula yang difungsikan sebagai masjid. Untuk mengadakan peralatan dan perlengkapannya, seperti tikar, mimbar, sound system dan honorarium khatib, Wahfiudin mengajak temang-temannya menggalang dana dari para donatur. Yang paling banyak membantu saya dan teman-teman waktu itu adalah Yayasan Lampu Iman, yang dipimpin Bapak H.M. Dault (ayahanda Bapak Adhyaksa Dault, Menpora dimasanya), kisahnya.

Shalat Jum'at pertama digelar 35 jamaah dan H.M. Dault bertindak sebagai khatib dan imam. Meski berawal 35 jamaah, lama-kelamaan jum'atan itu semakin ramai oleh karyawan perkantoran di sekitar sekolahnya.

Khatib Pengganti
Terkait Shalat Jum'at di sekolah ini, ada sebuah pengalaman pahit tapi sangat berharga bagi Wahfiudin. Suatu ketika, khatib yang ditunggu-tunggu jamaah tidak datang. Jamaah mulai gelisah. Parahnya saat mengetahui khatib tidak hadir, pukul setengah satu guru agama sekolah itu pergi ke masjid lain. Akhirnya shalat Jum'at hari itu dibatalkan dan diganti shalat Dzuhur berjamaah dengan Wahfiudin sebagai imamnya.

Beberapa waktu kemudian peristiwa itu kembali terulang. Pengalaman itu memacunya mulai belajar berkhutbah secara otodidak. Dan ketika suatu saat seorang khatib berhalangan hadir, ia memberanikan diri menyampaikan khutbah Jum'at dengan bekal buku kumpulan khutbah yang dibelinya di Pasar Blok M.

Waktu turun dari mimbar, saya merasa lega banget. Wah! ternyata khutbah Jum'at itu tidak sulit, asal kita mengetahui syarat dan rukunnya, kenang Wahfiudin sambil terkekeh. Sejak itu, setiap kali ada khatib yang berhalangan hadir di sekolahnya, Wahfiudin-lah yang selalu tampil menggantikan.

Selepas STM, semangatnya mendalami agama Islam dan khususnya bahasa Arab dan Inggris semakin menggebu. Dari keterangan beberapa ustadz pembimbingnya, ia mendengar kehebatan pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur dalam membekali santri-santrinya dengan dua bahasa Internasional itu. Dengan modal nekat, Wahfiudin lalu pergi ke Ponorogo dan mendaftarkan diri di Pesantren Gontor.

Menaati Ucapan Kiai
Meski lulus tes, tak urung keikutsertaan Wahfiudin yang sudah lulus STM membuat panitia penerimaan santri baru kebingungan menempatkannya. Akhirnya ia dihadapkan kepada pengasuh Gontor waktu itu, K.H. Imam Zarkasyi, yang segera menanyainya, "Kamu sudah lulus STM, ngapain masuk Gontor?"

"Saya mau mendalami agama sekaligus bahasa Arab", jawab Wahfiudin lugu.

"Tapi di sini kamu akan dimasukkan ke kelas eksperimen dan diberlakukan seperti anak kelas satu SMP. Sayang sekali jika waktu kamu habis terbuang disini," kata sang Kiai.

Melihat kesungguhan Wahfiudin, Kiai Imam Zarkasyi lalu menyarankan, "Jika ingin mendalami bahasa Arab, lebih baik kamu kembali ke Jakarta dan mendaftar ke Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA, kini LIPIA), yang baru saja dibentuk oleh Universitas Ibnu Saud Riyadh. Karena milik pemerintah Saudi, jadi full beasiswa."

Dengan semangat baru, Wahfiudin pun kembali ke Jakarta dan mendaftar seleksi penerimaan mahasiswa baru di kampus LPBA, yang waktu itu terletak di Jalan Raden Saleh. Ternyata pendaftarnya ribuan, sementara kursi yang tersedia hanya seratus delapan puluh.

Melihat saingannya rata-rata alumnus pesantren dan madrasah aliyah, tak urung Wahfiudin grogi juga. Tapi akhirnya ia berhasil menembus seleksi.

Kuliah di LPBA, selain membuat Wahfiudin menikmati fasilitas belajar yang terbilang mewah, juga membuatnya cukup berlimpah uang. "Betapa tidak, waktu itu ongkos naik bus masih Rp 250, saya sudah mendapat beasiswa sebesar Rp 180 ribu per semester," kenangnya.

Karena itu, ketika jadwal kuliahnya sudah tidak terlalu padat, ia mendaftar di Akademi Teknik Komputer (ATK, belakangan jadi Bina Nusantara). Jadilah Wahfiudin kuliah ganda, pagi di LPBA dan sorenya di ATK.

Di semester keenamnya di LPBA ia mendapat tawaran kerja dari senior HMI-nya di Rabithah Alam Islami, sebagai asisten Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Tentu saja tawaran itu tidak ia sia-siakan, meskipun harus mengorbankan pendidikannya di LPBA. Karena hanya menekankan hafalan.

Ketika ia berpamitan kepada dosen-dosenya di LPBA, ustadz Mamduh (kini doktor) dosen yang paling dekat dengannya, menyesalkan keputusannya keluar dari LPBA. "Kalau saja kamu mau bersabar sedikit, beberapa bulan lagi kamu lulus dari LPBA dan kamu beserta lulusan terbaik lainnya akan dikirim untuk meneruskan pendidikan di Saudi," kata sang Ustadz.

Tak hanya itu, Ustadz Mamduh juga menunjukkan daftar mahasiswa yang rencananya akan langsung diberangkatkan ke Saudi selepas ujian terakhir di LPBA. Dan benar, nama Wahfiudin ada dalam daftar tersebut, "Sebenarnya ini rahasia, tapi nggak apa-apalah saya tunjukkan ke kamu", ujarnya.

Hati Wahfiudin sangat gamang. Ia pun bertanya kepada ustadznya, jurusan apa saja yang bisa ia ambil. "Kamu bisa kuliah di Fakultas Bahasa Arab, Tarbiyah, Syariah atau Ushuluddin,"jawab sang ustadz.

Wahfiudin menggeleng, "Saya mau ngambil jurusan teknik perminyakan atau sosiologi," kata Wahfiudin lagi.

"Jurusan-jurusan itu hanya untuk kalangan-kalangan tertentu. Jangankan orang dari luar, warga Saudi sendiri tidak semuanya bisa kuliah di sana", jawab ustadznya.

"Kalau begitu saya lebih baik keluar. Buat apa jauh-jauh ke Saudi hanya untuk belajar ilmu agama. Kalau mau ilmu agama, saya lebih baik belajar di Indonesia saja. Saya bisa masuk IAIN atau pesantren," kata Wahfiudin tegas.

Sang ustadz, yang asli Mesir dan staf kedutaan yang mendampinginya terperangah, "Kenapa begitu?" tanya sang ustadz.

"Tentu saja. Sistem pendidikan agama di Saudi kan hanya menekankan pada hafalan Al-Qur'an dan hadits, tetapi tidak mendidik mahasiswanya untuk berfikir. Kami tidak diajari untuk menelaan masalah, tidak memperluas wawasan," jawab Wahfiudin. "Kayaknya belajar di sana itu semua mahasiswanya dibilangin, "Kau hafalkan dalil-dalil ini, semua yang berbeda dengan ini adalah bid'ah, syirik, khurafat!" ceritanya kepada alkisah.

Ustadz Mamduh menengok koleganya yang orang Saudi asli.

Ternyata sang diplomat tidak marah. Dengan anggukan mafhum, ia berkata, "Yah itulah kelemahan sistem pendidikan kami".

Akhirnya jadilah ia bekerja di Rabithah. Tugasnya mengkoordinir dai-dai yang direkrut Rabithah untuk diterjunkan ke daerah-daerah transmigrasi di Sumatera. Setiap ada surat konsultasi dari dai di daerah kepada Profesor Rasjidi, dialah yang ditugasi menjawabnya. Perlahan wawasannya semakin bertambah luas.

Dakwah Go Public
Seiring dengan itu dakwah Wahfiudin juga mulai diterima masyarakat, terutama masyarakat perkantoran. Pada tahun 1983, ia sering berceramah di pengajian ba'da Dzuhur dan pengajian after office (usai jam kerja) yang saat itu cukup membudaya di perkantoran Jakarta. Dari jaringan perkantoran itu juga ia sering diundang berceramah ke kantor-kantor cabang di luar kota, bahkan hingga luar jawa.

Tahun 1995, seiring dengan bermunculannya stasiun-stasiun televisi swasta, dakwah Ustadz Wahfiudin pun mulai merambah ke layar kaca. Dimulai dengan kuliah tujuh menit menjelang berbuka, lalu di acara pengajian-pengajian waktu sahur di TPI. Sejak itulah ustadz Wahfiudin mujlai go public dan dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat.

Berkah lainnya, ia juga mendapat undangan dari luar negeri. Dimulai dari Jerman, lalu Perancis, Malaysia, Amerika dan seterusnya.

Dakwah di negeri asing juga memperkenalkannya dengan tokoh ulama dunia, sperti Syaikh Muhammad Hisham Kabbani, tokoh Tarekat Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah dari Amerika. Bahkan, belakangan Syaikh Hisham mengundangnya selama tiga bulan ke negeri Paman Sam untuk menghadiri seminar tasawuf sekaligus mengikuti safari dakwah.

Ihwal kedekatannya dengan dunia thariqah, Kiai Wahfiudin mengaku, bermula pada tahun 1988, saat ia merasakan kekeringan dalam keberagamaannya yang menganut faham Wahhabi. "Sebab faham Wahhabi cenderung menafsirkan segala sesuatu secara harfiah atau tekstual saja", katanya.

Kiai muda itu pun mulai membuka-buka kembali buku-buku islam tradisional, yang lebih dinamis dan terbuka terhadap pemikiran madzhab, filsafat dan tasawuf. "Keislaman saya perlahan terasa segar kembali dan lebih arif dalam menyikapi segala sesuatu".

Sejak itu ia merasa, langkahnya terus dibimbing mendekat kepada ulama-ulama besar kalangan tradisionalis. Tahun 1995, misalnya ia mendapat kesempatan mengantar seorang teman muslim dari Jerman berkunjung ke Pesantren Suryalaya dan berjumpa dengan Abah Anom. Setelah melalui serangkaian dialog dengan sang mursyid, Kiai Wahfiudin ditalqin dzikir dan dibay'at masuk Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.

Setelah itu berturut-turut ia berjumpa dengan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, yang memeluknya erat-erat sebelum memberikan khirqah, di Makkah, pada musim haji tahun 1996. Lalu dengan Syaikh Hisham Kabbani di Amerika pada akhir tahun 1997, yang kemudian menawarinya menjadi perwakilannya di Indonesia.

Tak hanya itu kesungguhan Kiai Wahfiudin berthariqah belakangan mendapat pengakuan dari guru mursyidnya. Pada tahun 1998, ketika ia tengah berada di Amerika, Abah Anom mengangkatnya menjadi salah seorang wakil talqinnya.

Meski kelihatannya singkat, hanya dua tahun setelah Kiai Wahfiudin pertama kali di talqin dzikir, proses pengangkatannya menjadi wakil talqin melalui proses yang cukup berliku.

Selesai dibay'at, ia keluar dari rumah Abah Anom, ia memborong buku-buku di toko buku Suryalaya dan membacanya di rumah sepanjang tahun itu. Ia berharap akan mendapat banyak ilmu dan pencerahan spiritual dari buku-buku tersebut.
"Sebagai mantan pengikut Wahhabi, saya berusaha mengkunyah-kunyah ajaran tasawuf itu dengan pendekatan rasional dan teoritis", katanya.

Pencerahan Sejati
Hasilnya, ia memang mendapat banyak ilmu yang membuatnya semakin yakin akan kebenaran dan pentingnya thariqah dalam kehidupan beragama. Namun di sisi lain ia merasa, semua bacaannya belum memberinya tambahan 'nilai' dalam qalbunya.

Suami Hj. Rachmajanti dan ayah lima anak itu penasaran. Setahun setelah dibay'at, Pesantren Suryalaya mengadakan Pelatihan Muballigh Tarekat. Dengan penuh harapan, ia pun mendaftar. Namun lagi-lagi ia merasa semua materi pelatihan yang diberikan selama empat hari itu tidak memberinya tambahan ilmu. "Semua yang dismpaikan sudah saya baca di buku-buku yang saya beli", katanya.

Baru setelah sampai di rumah dan menunaikan shalat lalu berdzikir, ia tersadar. Meski sepertinya tidak mendapatkan tambahan ilmu, ia merasakan ada perubahan mendasar dalam hatinya. Ia merasakan ada 'sesuatu' yang menggetarkan qalbunya. Lalu ia merenung, mencerna apa yang tengah dialaminya.

"Akhirnya saya baru sadar, selama ini saya hanya membaca dan membaca ilmu thariqah. Tapi tak sekali pun dzikirnya saya amalkan. Saya kelewat bersemagat mencoba mencernanya dengan otak dan logika. Tetapi selama empat hari mengikuti pelatihan saya diajak mengamalkan dzikirnya secara konsisten setia habis shalat fadhu dan sunnah", katanya dengan pandangan berbinar.

Ternyata thariqah itu memang untuk diamalkan, kata Wahfiudin, bukannya sekadar dikaji, dibaca atau didiskusikan. "Membaca atau mendiskusikan thariqah tidak akan menambah nilai apa pun dalam spiritualitas kita. Tapi dengan mengamalkannya secara istiqomah, kita akan mengalami perjalanan spiritual dan satu persatu hijab qalbu kita akan terbuka. Saat itulah pengetahuan sejati akan berdatangan dengan sendirinya", ujarnya.

Sejak itu, seperti mendendam, semua buku thariqah itu ia masukkan lemari dan ia kunci. Kali itu Wahfiudin mencoba lebih memahami thariqah dengan mempraktekkan dan mempraktekkan.

"Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian terbukti. Pengetahuan dan pengamalan spiritual yang saya dapatkan melalui pengamalan itu ternyata jauh lebih banyak daripada semua buku yang saya baca", katanya.

Kedekatannya dengan Abah Anom juga memberinya pengalaman spiritual menarik. Wahfiudin yakin, dengan keistiqomahannya dalam beribadah dan membimbing umat, Abah Anom adalah salah seorang waliyullah. Baginya, seorang wali adalah orang yang di dalam dirinya terdapat minimal empat hal:
Ketekunan dalam beribadah
Akhlaq yang mulia
Kemampuan menggenggam qalbu murid-muridnya, dan
Karomah
Mengenai kriteria yang ketiga, ia pernah memiliki kisah menarik. Suatu hari salah seorang jamaahnya berpamitan padanya untuk pindah mengikuti tarekat lain. Alasannya karena teman-temannya yang mengikuti tarekat lain tersebut banyak yang mendapat pengalaman luar biasa dan kesaktian.

Dengan ringan, Wahfiudin mengatakan, "Silakan!".

Beberapa bulan kemudian , orang itu datang lagi dan menyatakan kapok, karena tarekat dan mursyid barunya itu tak seperti yang ia bayangkan. Ia ingin kembali kepada Thariqah Qadiriyyah wa Nagsyabandiyyah yang diasuh Abah Anom.

Lagi-lagi sang Wakil Talqin mengatakan, "Silakan!"

Orang itu lalu menanyakan mengapa dulu Ustadz Wahfiudin mengizinkannya pindah tarekat. "Alasannya dua," kata sang ustadz, "Pertama, karena kamu sedang gandrung dengan ilmu kesaktian. Saya larang pun, kamu akan tetap mencari-cari cara untuk mempelajarinya. Kedua, saya juga ingin tahu seberapa tinggi tingkatan guru mursyid barumu itu". Seorang yang juga wali seperti Abah Anom mempunyai kemampuan menggenggam qalbu murid-muridnya.

Demikianlah K.H. Wahfiudin. Bisa dibilang, ia termasuk orang yang beruntung, karena mendapat kesempatan belajar dari pengalamannya yang luas malang melintang, melintasi beragam sisi keberagamaan. Meski begitu, ia masih belum merasa puas. Ada satu hal menurutnya hingga kini belum ia raih, yakni istiqomah dan ikhlas dalam beribadah. Luar biasa!

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews
Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2014/06/kisah-perjalanan-hidup-dulu-salafy.html#ixzz33qUYR8ji
-----------------------
Hasil wawancara wartawan majalah alkisah Ali Yahya kepada KH. Wahfiudin, SE, MBA, Mei 2008 | Dimuat dalam majalah alkisah No. 12/2-15 Juni 2008 halaman 38-47. | Ditulis ulang oleh Handri Ramadian asisten KH. Wahfiudin, SE, MBA. | Repost : mwcnurawalumbu
------------------------

PENDIRI NAHDLATUL 'ULAMA

Photo: PENDIRI NAHDLATUL ULAMA

1. KH.HASYIM ASY'ARI ( 1817-1947 )

Tebuireng Jombang - Rois Akbar 1926-1947

2. KH.RIDWAN ABDULLAH ( 1884-1962 )

Surabaya - Pencipta Lambang NU

3. KH.BISRI SYAMSURI ( 1886-1980 )

Denanyar Jombang - A'wan Pertama Dan Rois Aam 1971-1980

4. KH.MA'SHUM ( 1870-1972 ) Lasem

5. KH.ABDUL WAHAB CHASBULLAH ( 1888-1971 )

Tambak Beras Jombang - Khotib Pertama 1926 Dan Rois Aam 1947-1971

6. KH.A.DACHLAN ACHJAD

Malang - Wakil Rois Aam Pertama 1926

7. KH.ABDUL HALIM - Leuwimunding Cirebon

8. KH.ABDUL CHAMID FAQIH

Sedayu Gresik - Pengusul Nama NU " NUHUDLUL ULAMA "

9. KH.MAS ALWI BIN ABDUL AZIZ

Surabaya - A'wan Pertama Dan Pencipta Nama NU " NAHDLATUL ULAMA "

10. SYEKH GHONAIM

Surabaya ( Asal Mesir ) Mustasyar Pertama 1926

11. KH.R.ASNAWI ( 1861-1959 )

Kudus - Mustasyar Pertama 1926

12. KH.ABDULLAH UBAID ( 1899-1938 )

Surabaya - A'wan Pertama 1926

HALAL BAGI YANG MAU TAG DAN SHARE ... !!!!!
PENDIRI NAHDLATUL ULAMA

1. KH.HASYIM ASY'ARI ( 1817-1947 )

Tebuireng Jombang - Rois Akbar 1926-1947

2. KH.RIDWAN ABDULLAH ( 1884-1962 )

Surabaya - Pencipta Lambang NU

3. KH.BISRI SYAMSURI ( 1886-1980 )

Denanyar Jombang - A'wan Pertama Dan Rois Aam 1971-1980

4. KH.MA'SHUM ( 1870-1972 ) Lasem

5. KH.ABDUL WAHAB CHASBULLAH ( 1888-1971 )

Tambak Beras Jombang - Khotib Pertama 1926 Dan Rois Aam 1947-1971

6. KH.A.DACHLAN ACHJAD

Malang - Wakil Rois Aam Pertama 1926

7. KH.ABDUL HALIM - Leuwimunding Cirebon

8. KH.ABDUL CHAMID FAQIH

Sedayu Gresik - Pengusul Nama NU " NUHUDLUL ULAMA "

9. KH.MAS ALWI BIN ABDUL AZIZ

Surabaya - A'wan Pertama Dan Pencipta Nama NU " NAHDLATUL ULAMA "

10. SYEKH GHONAIM

Surabaya ( Asal Mesir ) Mustasyar Pertama 1926

11. KH.R.ASNAWI ( 1861-1959 )

Kudus - Mustasyar Pertama 1926

12. KH.ABDULLAH UBAID ( 1899-1938 )

Surabaya - A'wan Pertama 1926
Photo: Monopolilah syurga & tuduhlah kafir agar kau dianggap sebagai ahli agama

ISLAMTOLERAN.COM- Tak Usahlah berkeinginan untuk memiliki kefahaman matang terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadist seperti yang dimiliki oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA, karena kau hanya akan dituduh sebagai penganut Syiah.

Tak Usahlah Bercita-cita memiliki keluasan ilmu dan kelembutan tutur kata seperti yang dimiliki oleh KH. MUSTOFA BISRI, karena kau hanya akan dicap sebagai kaum liberal.

Tak Usahlah beragan-angan untuk memiliki keluasan ilmu Balaghah, dan Mantiq seperti DR. KH. Said Aqil Siradj, karena kau hanya akan dituduh antek Syiah, Liberal, dan Sekuler.

Tak Usahlah meminta kepada Tuhan agar kau dijadikan orang yang ma'rifat seperti anugerah yang diperoleh KH. Abdurrahman Wahid, karena kau hanya akan dicap sebagai manusia sesat.

Tak Usahlah bersikap toleransi terhadap kaum minoritas bila ilmu engkau belum bisa memahami sikap pancasilais seorang DR. KH Nuril Arifin Husein, MBA ( Gus Nuril ), sebab engkau akan dicap Kiyai Pendeta.

Tak usahlah kau belajar berfikir kritis menanggapi dogma-dogma agama dan giat menyerukan sains seperti Dawkins dan Hawking, karena kau hanya akan dicap sebagai Atheist.

Bertakbirlah sekencang-kencangnya di sepanjang kerumunan, maka kau akan dianggap sebagai kekasih Tuhan.

Berjubahlah dan bersopanlah dalam berbusana, monopolilah syurga, dan tuduhlah kafir kepada sesama, maka kau akan dianggap sebagai ahli agama.

Ah sudahlah....cukuplah aku menjadi manusia bodoh saja...

(KH. Damai Aceh, PhD, M. Sarkub. L.c)

SUMBER: http://www.islamtoleran.com/monopolilah-syurga-tuduhlah-kafir-agar-kau-akan-dianggap-sebagai-ahli-agama/

" BOLEH DI SHARE"
Tak Usahlah berkeinginan untuk memiliki kefahaman matang terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadist seperti yang dimiliki oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA, karena kau hanya akan dituduh sebagai penganut Syiah.

Tak Usahlah Bercita-cita memiliki keluasan ilmu dan kelembutan tutur kata seperti yang dimiliki oleh KH. MUSTOFA BISRI, karena kau hanya akan dicap sebagai kaum liberal.

Tak Usahlah beragan-angan untuk memiliki keluasan ilmu Balaghah, dan Mantiq seperti DR. KH. Said Aqil Siradj, karena kau hanya akan dituduh antek Syiah, Liberal, dan Sekuler.

Tak Usahlah meminta kepada Tuhan agar kau dijadikan orang yang ma'rifat seperti anugerah yang diperoleh KH. Abdurrahman Wahid, karena kau hanya akan dicap sebagai manusia sesat.

Tak Usahlah bersikap toleransi terhadap kaum minoritas bila ilmu engkau belum bisa memahami sikap pancasilais seorang DR. KH Nuril Arifin Husein, MBA ( Gus Nuril ), sebab engkau akan dicap Kiyai Pendeta.

Tak usahlah kau belajar berfikir kritis menanggapi dogma-dogma agama dan giat menyerukan sains seperti Dawkins dan Hawking, karena kau hanya akan dicap sebagai Atheist.

Bertakbirlah sekencang-kencangnya di sepanjang kerumunan, maka kau akan dianggap sebagai kekasih Tuhan.

Berjubahlah dan bersopanlah dalam berbusana, monopolilah syurga, dan tuduhlah kafir kepada sesama, maka kau akan dianggap sebagai ahli agama.

Ah sudahlah....cukuplah aku menjadi manusia bodoh saja..

Kafirku, Kafirmu, Kafir Kita Semua

 
“Wis anggaplah aku ini kafir fir...
terus opo hakmu utowo hak wong liyo terhadap aku...
Iki menyangkut martabat manusia....
Mengenai benar kafir tidak orang itu....
wilayahnya Allah.....

Urusan sesrawung antar manusia ...
adalah ojo nuding-nuding wong,...
itu merendahkan dan menyakiti hatinya....

Sedang di dalam Islam ....
sangat dilarang menyakiti hati orang lain....

Wis anggaplah misalnya Gus Dur itu antek Yahudi....
terus kalian mau apa.....

Apakah kalian yakin ....
bahwa saya muslim ...
Dari mana kalian tau saya muslim?
Kalau ternyata saya hanya akting?
Kalau darah saya halal....
wis gek ndang dipateni ....
dan okeh sing kudu dipateni....

Allah saja masih memiliki ruang ....
barangsiapa mau beriman maka berimanlah....
barangsiapa mau kufur...
silakan kufur.....

Maka....
kepada orang yang kita anggap sesat ...
atau kufur....
mbok wis didongakke wae ...
supaya diberi hidayah oleh Allah...

Jangan dituding-tuding...
Itu menghina martabat manusia...
Musuh kita adalah kesempitan ....
dan kedangkalan berpikir...
koyo JARAN....
Anda semua harus ombo...
dan jembar pikirane....

Harus mengerti kiasan...
dan konteks-konteks....
Makanya...
sebelum omong banyak tentang Islam....
yuk belajar dulu jadi manusia....

Manusia yang manusia itu melu keroso loro (sakit)...
kalau ada manusia lainnya disakiti hatinya....
Bahkan kalau kita menyakiti orang lain ...
aslinya kita sendiri juga merasa sakit....
Manusia yang jembar dan murni ...
itu sesungguhnya pandai merasa (rumongso/ngroso)...

Rasulullah saja ketika diprotes sahabat ...
tentang Bilal yang tak bisa mengucap huruf Syin....
kok malah dipilih sebagai muadzin...
justru menjawab...
pokoknya ...
kalau kalian mendengar dia mengucap sin....
padahal yang harusnya syin....
itu maksudnya syin.....
Itulah kearifan Rasulullah...

Kalau kalian tidak menerima hal ini....
berarti kamu menghina orang celat....
Bisa kualat kita ...

semoga #tidakgagalpaham ..
(dikutip dari Quote MH Ainun Najib )

Thursday, July 17, 2014

BAHASA GERAM


Photo: BAHASA GERAM 
Oleh: KH.Ahmad Mustofa Bisri

Bangsa ini sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah hanya karena panas global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung dapur, bahkan di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja orang yang marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun –apalagi teve--tampaknya suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan.

Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di forum-forum terhormat itu dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para demonstran di jalanan. Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para “pembawa aspirasi” gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”. Demokrasi yang–setelah euforia reformasi--dipahami sebagai sesuatu tatanan yang mesti bermuatan kekasaran dan kemarahan.

Yang lebih musykil lagi “bahasa kemarahan” ini juga sudah seperti tren pula di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah keagamaan, ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka. Seolah-olah tanpa gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah khotbah dan makalah sejati.

Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, di hari Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah “ustadz” yang dengan kebencian luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan “Orang Pintar Baru” (OPB) lebih kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat keagamaan dan ishlah.

Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu seiring dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang “mengajarkan” kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnya–yang agaknya juga OPB—di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-nya. Lalu menganggap apa yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah kebenaran sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah. Dan yang salah pasti jahanam.

Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat sana-sani tersebut pada gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu kemana-mana; termasuk ke media komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis orang di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk mengomentari suatu berita atau pendapat di “dunia maya” atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu.

Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan dengan slogan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah” tersebut akibat dari berbagai faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa ini beragama Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja musykil. Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut.

Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul SAW, yang terbaik dan paling baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung, Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam, terutama para pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan perilaku Nabi mereka.

Nabi Muhammad SAW sebagaimana diperikan sendiri oleh Allah dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa, pekerti yang agung (Q. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Q. 3: 159). Bacalah kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami sendiri bergaul dengan Rasulullah SAW. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung kita itu benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir r.a,“InnaLlaaha ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang memberi pelajaran dan memudahkan.

Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang dinilainya paling mulia bukanlah orang yang paling pandai atau paling fasih bicara (apalagi orang pandai yang terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau orang fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi Rasulullah SAW orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia akhlaknya. Wallahu a’lam.

[ 18 Juni 2010 ]
 Oleh: KH.Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)

Bangsa ini sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah hanya karena panas global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung dapur, bahkan di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja orang yang marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun –apalagi teve--tampaknya suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan.

Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di forum-forum terhormat itu dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para demonstran di jalanan. Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para “pembawa aspirasi” gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”. Demokrasi yang–setelah euforia reformasi--dipahami sebagai sesuatu tatanan yang mesti bermuatan kekasaran dan kemarahan.

Yang lebih musykil lagi “bahasa kemarahan” ini juga sudah seperti tren pula di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah keagamaan, ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka. Seolah-olah tanpa gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah khotbah dan makalah sejati.

Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, di hari Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah “ustadz” yang dengan kebencian luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan “Orang Pintar Baru” (OPB) lebih kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat keagamaan dan ishlah.

Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu seiring dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang “mengajarkan” kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnya–yang agaknya juga OPB—di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-nya. Lalu menganggap apa yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah kebenaran sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah. Dan yang salah pasti jahanam.

Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat sana-sani tersebut pada gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu kemana-mana; termasuk ke media komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis orang di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk mengomentari suatu berita atau pendapat di “dunia maya” atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu.

Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan dengan slogan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah” tersebut akibat dari berbagai faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa ini beragama Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja musykil. Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut.

Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul SAW, yang terbaik dan paling baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung, Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam, terutama para pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan perilaku Nabi mereka.

Nabi Muhammad SAW sebagaimana diperikan sendiri oleh Allah dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa, pekerti yang agung (Q. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Q. 3: 159). Bacalah kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami sendiri bergaul dengan Rasulullah SAW. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung kita itu benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir r.a,“InnaLlaaha ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang memberi pelajaran dan memudahkan.

Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang dinilainya paling mulia bukanlah orang yang paling pandai atau paling fasih bicara (apalagi orang pandai yang terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau orang fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi Rasulullah SAW orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia akhlaknya. Wallahu a’lam.

[ 18 Juni 2010 ]

BAHAYA HASHTAG #SYIAH_BUKAN_ISLAM TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


Photo: BAHAYA HASHTAG #SYIAH_BUKAN_ISLAM TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

By: Awy' Ameer Qolawun
------
1. Ada hastag yg menurutku menarik tapi pada dasarnya di sisi lain cukup berbahaya untuk kerukunan dlm ummat Islam sendiri, #SyiahBukanIslam

2. Kultwit ini tidak hendak membela syiah, secara ideologi salah tetap salah, sesat bisa jadi (dlm kasus2 tertentu), tapi #SyiahBukanIslam ?

3. Menyikapi permasalahan #SyiahBukanIslam ini harus jeli, sebab efeknya sangat banyak sekali, bahkan pada pondasi syariat kita sendiri

4. Ah yg bener, kok berlebihan banget gt Wy? Bagi pelajar ilmu hadits, akan segera tahu bahayanya propaganda #SyiahBukanIslam

5. Semestinya kita harus betul2 arif dalam soal ini, dan kaidah dasar yg mesti kita pegang, seseorang dihukumi muslim hanya dg dua hal saja.

6. Pertama, dia syahadat, kedua, dia sholat menghadap kiblat. Maka seluruh hukum syariat, perlakuan, perlindungan, berlaku atas dia...

7. ...dan selanjutnya setelah itu jika ideologinya melenceng, adl hal lain yg berhubungan dg batin. Bukan hukum dhohir.

8. Semestinya kita tidak begitu saja memukul rata #SyiahBukanIslam , sebab di dalam syiah sendiri terdapat berbagai macam aliran.

9. Semisal Zaidiyyah, ini pecahan Syiah, tapi kita tidak bisa memasukkannya dalam #SyiahBukanIslam sebab mereka tdk mengkafirkan Abu Bakr

10. Kembali kepada bahaya terselubung dalam propaganda #SyiahBukanIslam yg bisa meruntuhkan pondasi syariah.. Dari mananya?

11. Kita semua pasti tahu kitab hadits Bukhori-Muslim dan 4 yg lain (Abu Daud, Ibn Majah, Tirmidzi, Annasa-i) yg jadi refernsi utama kita

12. Jika tetap bersikukuh bahwa #SyiahBukanIslam maka (sekedar tahu saja) keenam kitab raksasa referensi utama itu semuanya tertolak!

13. Karena siapapun muslim tahu bahwa periwayatan hadits dari orang kafir adalah tidak diterima. Jadi mata rantai hadits harus muslim asli

14. Sementara para periwayat hadits dalam keenam kitab raksasa tadi tidak sedikit yg Syiah, nah bagaimana jadinya jika #SyiahBukanIslam ?

15. Jika ingin tahu biografi sekaligus profil singkat para periwayat hadits dalam keenam kitab tadi, silakan ke yg paling kecil, Al-Kasyif

16. Di situ tidak sedikit kita temukan periwayat yg statusnya Syi'i, rumiya bit tasyayyu', rofidhi... Tapi kok tetap diterima?

17. Karena kalau mereka (syiah) itu mutlak dihukumi kafir artinya kita sama sekali tidak bisa menggunakam hadits2 riwayat Bukhori-Muslim

18. Dan setelah itu,efek selanjutnya, segala jenis hukum fiqih hasil istinbath dari hadits2 itu juga tidak sah. Remuk redam bangunan syariah

19. Oke, mungkin sebagian berhujjah dg pernyataan beberapa Imam semisal Imam Syafi'i bahwa #SyiahBukanIslam

20. Tapi harus dicermati, itu kafirnya seperti apa dulu? Bisa jadi yg kafir ideologinya, tapi hukum dhohir atasnya tetap Islam sebab...

21. ...mereka juga sholat dan syahadat yg sama dengan kita. Perihal ada syahadat lain itu kembali ke bahwa syiah banyak jenisnya.

22. Satu hal yg perlu kita ingat baik2, jangan mudah menyesatkan apalagi mengkafirkan sesama muslim karena kita tdk tahu akhir kita.

23. Apa yg berpropaganda #SyiahBukanIslam itu bisa menjamin bahwa dirinya nanti bakal tetap mati dalam keadaan Islam?

24. Jangan2 yg di-bukanislam-kan itu nantinya tobat dan yg teriak2 mem-bukanislam-kan matinya su'ul khotimah, na'udzu billah, siapa tahu

25. Maka tugas kita bersama adl jika memang memandang mereka itu salah, maka luruskan dg santun dan baik, bukan malah menjauhkan

26. Katanya dakwah (mengajak) kok hasilnya malah mengusir, membuat orang muak, dan ujung2nya benci. Ketahuan tidak paham arti kata "dakwah"

27. Pada akhirnya kita mesti banyak belajar dalam2, jangan asal ikut yel-yel #SyiahBukanIslam tanpa tahu efeknya, atau sebab ego saja

28. Ingat, musuh kita yg jelas, yg disebut terang2an dalam al-Qur'an, yaitu setan, semakin hari semakin pintar dalam strategi penjerumusan

29. Salah satunya adalah lewat pengkafiran yg lain, sebab efek pengkafiran sesama muslim adl balik ke si pengkafir itu sendiri.

30. Maka tentu di akhirat kelak akan jadi lelucon jika trnyata sama2 jumpanya di neraka. Atau memalukan jika yg dikafirkan malah masuk surga

31. Maka, yg lebih baik adalah konsentrasi pada Islam kita masing2, sudah bener belum, bukan malah ngurusi #SyiahBukanIslam atau JIL jg

32. Jika masih keukeuh ngurusi mereka, maka gunakan cara yg elegan, Ud'u ila Sabili Robbika bil hikmah wal mau'idzotil hasanah...

33. Juga jangan keras2, wa lau kunta faddzon gholidhol qolbi lanfaddzu min haulik. Masa' ngaku dakwah tapi ndak paham dua ayat dakwah ini?

34. Tidak perlu aku artikan apa makna dua ayat itu, kalau mengklaim diri berdakwah mestinya sudah paham dg baik dua ayat tadi.

35. Kalau belum paham dua ayat tadi, maka silakan evaluasi diri, apakah sudah punya kapasitas untuk dakwah? Jangan asal semangat saja.

36. Semoga Allah Memberi kita taufiq, selamat malam jumat, saatnya banyak2 membaca sholawat kepada Junjungan tercinta...

jangan lewatkan: perihal syiah Rafidhah: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=654699477887357&l=5221598543

Oleh: Awy' Ameer Qolawun (Gus Awy)
------
1. Ada hastag yg menurutku menarik tapi pada dasarnya di sisi lain cukup berbahaya untuk kerukunan dlm ummat Islam sendiri, #SyiahBukanIslam

2. Kultwit ini tidak hendak membela syiah, secara ideologi salah tetap salah, sesat bisa jadi (dlm kasus2 tertentu), tapi #SyiahBukanIslam ?

3. Menyikapi permasalahan #SyiahBukanIslam ini harus jeli, sebab efeknya sangat banyak sekali, bahkan pada pondasi syariat kita sendiri

4. Ah yg bener, kok berlebihan banget gt Wy? Bagi pelajar ilmu hadits, akan segera tahu bahayanya propaganda #SyiahBukanIslam

5. Semestinya kita harus betul2 arif dalam soal ini, dan kaidah dasar yg mesti kita pegang, seseorang dihukumi muslim hanya dg dua hal saja.

6. Pertama, dia syahadat, kedua, dia sholat menghadap kiblat. Maka seluruh hukum syariat, perlakuan, perlindungan, berlaku atas dia...

7. ...dan selanjutnya setelah itu jika ideologinya melenceng, adl hal lain yg berhubungan dg batin. Bukan hukum dhohir.

8. Semestinya kita tidak begitu saja memukul rata #SyiahBukanIslam , sebab di dalam syiah sendiri terdapat berbagai macam aliran.

9. Semisal Zaidiyyah, ini pecahan Syiah, tapi kita tidak bisa memasukkannya dalam #SyiahBukanIslam sebab mereka tdk mengkafirkan Abu Bakr

10. Kembali kepada bahaya terselubung dalam propaganda #SyiahBukanIslam yg bisa meruntuhkan pondasi syariah.. Dari mananya?

11. Kita semua pasti tahu kitab hadits Bukhori-Muslim dan 4 yg lain (Abu Daud, Ibn Majah, Tirmidzi, Annasa-i) yg jadi refernsi utama kita

12. Jika tetap bersikukuh bahwa #SyiahBukanIslam maka (sekedar tahu saja) keenam kitab raksasa referensi utama itu semuanya tertolak!

13. Karena siapapun muslim tahu bahwa periwayatan hadits dari orang kafir adalah tidak diterima. Jadi mata rantai hadits harus muslim asli

14. Sementara para periwayat hadits dalam keenam kitab raksasa tadi tidak sedikit yg Syiah, nah bagaimana jadinya jika #SyiahBukanIslam ?

15. Jika ingin tahu biografi sekaligus profil singkat para periwayat hadits dalam keenam kitab tadi, silakan ke yg paling kecil, Al-Kasyif

16. Di situ tidak sedikit kita temukan periwayat yg statusnya Syi'i, rumiya bit tasyayyu', rofidhi... Tapi kok tetap diterima?

17. Karena kalau mereka (syiah) itu mutlak dihukumi kafir artinya kita sama sekali tidak bisa menggunakam hadits2 riwayat Bukhori-Muslim

18. Dan setelah itu,efek selanjutnya, segala jenis hukum fiqih hasil istinbath dari hadits2 itu juga tidak sah. Remuk redam bangunan syariah

19. Oke, mungkin sebagian berhujjah dg pernyataan beberapa Imam semisal Imam Syafi'i bahwa #SyiahBukanIslam

20. Tapi harus dicermati, itu kafirnya seperti apa dulu? Bisa jadi yg kafir ideologinya, tapi hukum dhohir atasnya tetap Islam sebab...

21. ...mereka juga sholat dan syahadat yg sama dengan kita. Perihal ada syahadat lain itu kembali ke bahwa syiah banyak jenisnya.

22. Satu hal yg perlu kita ingat baik2, jangan mudah menyesatkan apalagi mengkafirkan sesama muslim karena kita tdk tahu akhir kita.

23. Apa yg berpropaganda #SyiahBukanIslam itu bisa menjamin bahwa dirinya nanti bakal tetap mati dalam keadaan Islam?

24. Jangan2 yg di-bukanislam-kan itu nantinya tobat dan yg teriak2 mem-bukanislam-kan matinya su'ul khotimah, na'udzu billah, siapa tahu

25. Maka tugas kita bersama adl jika memang memandang mereka itu salah, maka luruskan dg santun dan baik, bukan malah menjauhkan

26. Katanya dakwah (mengajak) kok hasilnya malah mengusir, membuat orang muak, dan ujung2nya benci. Ketahuan tidak paham arti kata "dakwah"

27. Pada akhirnya kita mesti banyak belajar dalam2, jangan asal ikut yel-yel #SyiahBukanIslam tanpa tahu efeknya, atau sebab ego saja

28. Ingat, musuh kita yg jelas, yg disebut terang2an dalam al-Qur'an, yaitu setan, semakin hari semakin pintar dalam strategi penjerumusan

29. Salah satunya adalah lewat pengkafiran yg lain, sebab efek pengkafiran sesama muslim adl balik ke si pengkafir itu sendiri.

30. Maka tentu di akhirat kelak akan jadi lelucon jika trnyata sama2 jumpanya di neraka. Atau memalukan jika yg dikafirkan malah masuk surga

31. Maka, yg lebih baik adalah konsentrasi pada Islam kita masing2, sudah bener belum, bukan malah ngurusi #SyiahBukanIslam atau JIL jg

32. Jika masih keukeuh ngurusi mereka, maka gunakan cara yg elegan, Ud'u ila Sabili Robbika bil hikmah wal mau'idzotil hasanah...

33. Juga jangan keras2, wa lau kunta faddzon gholidhol qolbi lanfaddzu min haulik. Masa' ngaku dakwah tapi ndak paham dua ayat dakwah ini?

34. Tidak perlu aku artikan apa makna dua ayat itu, kalau mengklaim diri berdakwah mestinya sudah paham dg baik dua ayat tadi.

35. Kalau belum paham dua ayat tadi, maka silakan evaluasi diri, apakah sudah punya kapasitas untuk dakwah? Jangan asal semangat saja.

36. Semoga Allah Memberi kita taufiq, selamat malam jumat, saatnya banyak2 membaca sholawat kepada Junjungan tercinta...

jangan lewatkan: perihal syiah Rafidhah: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=654699477887357&l=5221598543

Monday, July 14, 2014

Dalil Nyekar Bunga Di Kuburan


Oleh: Ulinuha Asnawi

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQJGSzKxiergVIDPpkBJB24QIVHFNgv1KS2yV76eYcM5v6JtCf4 
Barangkali telinga masyarakat Indonesia tidaklah asing dengan istilah nyekar. Adapun arti nyekar adalah menabur beberapa jenis bunga di atas kuburan orang yang diziarahinya, seperti menabur bunga kamboja, mawar, melati, dan bunga lainnya yang beraroma harum. Ada kalanya yang diziarahi adalah kuburan sanak keluarga, namun tak jarang pula kuburan orang lain yang dikenalnya. Nabi saw. sendiri pernah berziarah kepada dua kuburan muslim yang sebelumnya tidak dikenal oleh beliau saw.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasannya suatu saat Nabi SAW. melewati dua kuburan muslim, lantas beliau SAW. bersabda:
"Sesungguhnya kedua orang ini sedang disiksa, keduanya disiksa bukanlah karena suatu masalah yang besar, tetapi yang satu terbiasa bernamimah (menfitnah dan mengadu domba), sedangkan yang satu lagi terbiasa tidak bersesuci (tidak cebok) jika habis kencing".

Kemudian beliau saw. mengambil pelepah kurma yang masih segar dan memotongnya, untuk dibawa saat menziarahi kedua kuburan tersebut, lantas beliau saw. menancapkan potongan pelepah kurma itu di atas dua kuburan tersebut pada bagian kepala masing-masing, seraya bersabda : Semoga Allah meringankan siksa dari kedua mayyit ini selagi pelepah korma ini masih segar. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim pada Kitabut Thaharah (Bab Bersuci).

Berkiblat dari hadits shahih inilah umat Islam melakukan ajaran Nabi saw. untuk menziarahi kuburan sanak famili dan orang-orang yang dikenalnya untuk mendoakan penduduk kuburan. Dari hadits ini pula umat Islam belajar pengamalan nyekar bunga di atas kuburan.

Tentunya kondisi alam di Makkah dan Madinah saat Nabi saw masih hidup, sangat berbeda dengan situasi di Indonesia. Maksudnya, Nabi saw saat itu melakukan nyekar dengan menggunakan pelepah kurma, karena pohon kurma sangat mudah didapati di sana, dan sebaliknya sangat sulit menemui jenis pepohonan yang berbunga. Sedangkan masyarakat Indonesia berdalil bahwa yang terpenting dalam melakukan nyekar saat berziarah kubur, bukanlah faktor pelepah kurmanya, yang kebetulan sangat sulit pula ditemui di Indonesia , namun segala macam jenis pohon, termasuk juga jenis bunga dan dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi dampak positif bagi mayyit yang berada di alam kubur, yaitu dapat memperingan siksa kubur sesuai sabda Nabi saw.

Karena Indonesia adalah negeri yang sangat subur, dan sangat mudah bagi masyarakat untuk menanam pepohonan di mana saja berada, ibarat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Maka masyarakat Indonesia-pun menjadi kreatif, yaitu disamping mereka melakukan nyekar dengan menggunakan berbagai jenis bunga dan dedaunan yang beraroma harum, karena memang banyak pilihan dan mudah ditemukan di Indonesia, maka masyarakat juga rajin menanam berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan, tujuan mereka hanya satu yaitu mengamalkan hadits Nabi SAW., dan mengharapkan kelanggengan peringanan siksa bagi sanak keluarga dan handai taulan yang telah terdahulu menghuni tanah pekuburan. Karena dengan menanam pohon ini, maka kualitas kesegarannya pepohonan bisa bertahan relatif sangat lama.

Memang Nabi SAW. tidak mencontohkan secara langsung penanaman pohon di tanah kuburan. Seperti halnya Nabi SAW. juga tidak pernah mencontohkan berdakwah lewat media cetak, elektronik, bahkan lewat dunia maya, karena situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan Nabi SAW. melakukannya. Namun para ulama kontemporer dari segala macam aliran pemahaman, saat ini marak menggunakan media cetak, elektronik, dan internet sebagai fasilitas penyampaian ajaran Islam kepada masyarakat luas, tujuannya hanya satu yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW., namun dengan asumsi agar dakwah islamiyah yang mereka lakukan lebih menyentuh masyarakat luas, sehingga pundi-pundi pahala bagi para ulama dan da’i akan lebih banyak pula dikumpulkan. Yang demikian ini memang sangat memungkinkan dilakukan pada jaman modern ini.

Jadi, sama saja dengan kasus nyekar yang dilakukan masyarakat muslim di Indonesia, mereka bertujuan hanya satu, yaitu mengikutijejak nyekarnya Nabi SAW., namun mereka menginginkan agar keringanan siksa bagi penghuni kuburan itu bisa lebih langgeng, maka masyarakt-apun menanam pepohonaan di tanah pekuburan, hal ini dikarenakan sangat memungkinkan dilakukan di negeri yang bertanah subur ini, bumi Indonesia dengan penduduk muslim asli Sunny Syafii.

Ternyata dari satu amalan Nabi dalam menziarahi dua kuburan dari orang yang tidak dikenal, dan memberikan solusi amalan nyekar dengan penancapan pelepah korma di atas kuburan mayyit, dengan tujuan demi peringasnan siksa kubur yang tengah mereka hadapi, menunjukkan bahwa keberadaan Nabi SAW. adalah benar-benar rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, termasuk juga alam kehidupan dunia kasat mata, maupun alam kubur, bahkan bagi alam akhirat di kelak kemudian hari.

(Literatur tunggal: Kitab Tahqiiqul Aamal fiima yantafiul mayyitu minal a`maal, karangan Abuya Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani, Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad 21)