Pages

Sunday, November 30, 2014

Biksu Kecil & Air Sumur



Seorang biksu kecil yg baru ditahbis, diminta gurunya mengambil air di dekat sumur vihara. Ia pun pergi ke sumur dan mencoba utk menimba sumur dgn ember. Tetapi yg didapatkannya adalah ember kosong tanpa ada airnya. Semakin ditimba semakin sia-sia usaha mendapatkan air, semakin marah, kesal dan jengkel, sumur itu tetap tidak memberikan air.

Ia tidak percaya dan mengintip ke dalam sumur. Sumur itu sangat dalam dan terlihat gelap sp ke dasar, hampir dipastikan tidak dapat terlihat apa yg ada di dalam sumur. Semakin berusaha semakin emosi dan kesal. Semakin kesal yang ada malah keringat membasahi tubuh.

Tiba-tiba gurunya datang. Lalu biksu kecil itu komplain sama gurunya, "Mengapa Guru tidak berkata bila sumur ini kosong, mengapa saya harus menimbanya?"

Sang Guru balik bertanya, "Berapa kali kamu menimba?"

Biksu kecil menjawab,"Sudah banyak kali dan sudah emosi jiwa" *

Guru; "Bila sudah tahu kosong, mengapa harus menimba? Mengapa harus emosi dan mengapa menutup indra kesadaranmu?" ("Plakk")...

Kepala biksu kecil itu dipukul dengan tongkat.

"Lihat ke samping sumur itu, di sana ada keran air dari pompa sumur, tinggal dibuka kerannya, air pun mengalir. Aku suruh kamu mengambil air di dekat sumur, bukan menimba sumur!"

Seketika wajah biksu kecil itu merah padam.. Buang-buang energi dan emosi...

Hanya karena tidak ada usaha untuk membuka 'kesadaran'
Akhirnya ia pun mendapat "Pencerahan" ~~~~~

Sering kita marah tanpa alasan, emosi jiwa, padahal duduk persoalannya disebabkan oleh karena kita sok tahu, sok yakin benar dan tidak mau tahu. Akhirnya menyalahkan kondisi yang ada, padahal yang perlu diperbaiki adalah pikiran kita. Kalau mentok menghadapi suatu masalah, buka mata hati, cari solusi lain.

Tapi memang kadang-kadang harus "plakk" baru ada pencerahan.

Saturday, November 1, 2014

DICARI: KEUNGGULAN BUDAYA


Oleh KH Abdurrahman Wahid

Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala yu’la alaihi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih rendah.

Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemunduran peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”. Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Islam.

Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Islam/fiqh bahwa orang Islam diperkenankan menggunakan kekerasan hanya jika diusir dari kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). Selain alasan tersebut itu tidak diperkenankan menggunakan kekerasan terhadap siapapun, walau atas dasar keunggulan pandangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, mereka salah memahami Islam, ketika memaahami bahwa kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]: 54). Kalau sikap itu dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca oleh Rasul-Nya.

***

Jelaslah sikap Islam dalam hal ini, yaitu tidak mengangap rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam mengajukan untuk mencari keunggulan dari orang lain sebagai bagian dari pengembangannya. Untuk mencapai keunggulan itu Nabi bersabda “carilah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (utlubû al-ilmâ walau bî al-shîn).” Bukankah hingga saat ini pun ilmu-ilmu kajian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan tersebut? Dengan demikian, Nabi mengharuskan kita mencarinya ke mana-mana. Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapapun, karena ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang terdapat di mana-mana. Bahkan teknologi maju yang kita gunakan adalah hasil ikutan (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirintis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa juga menghasilkan hal-hal yang berguna bagi kehidupan kita sehari- hari. Pengertian “longgar” seperi inilah yang dikehendaki kitab suci al-Qur’ân dan Hadits.

Lalu adakah “kelebihan teknis” orang-orang lain atas kaum muslimin yang dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam? Tidak, karena amal perbuatan kaum muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. Hal itu dinyatakan sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. Dan ia adalah orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fil âkhirati minal khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Dari kitab suci ini dapat diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan seorang non-muslim, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.

Sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkaitan dengan keyakinan agama dan dengan demikian memiliki kualitas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara teknis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. Pengislaman perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan teknis” semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain.

***

Dengan demikian, jelas peradaban Islam memiliki keunggulan budaya dari sudut penglihatan Islam sendiri, karena ada kaitannya dengan keyakinan keagamaan. Kita diharuskan mengembangkan dua sikap hidup yang berlainan. Di satu pihak, kaum muslimin harus mengusahakan agar Islam -sebagai agama langit yang terakhir- tidak tertinggal, minimal secara teoritik. Tetapi di pihak lain kaum muslimin diingatkan untuk melihat juga dimensi keyakinan agama dalam menilai hasil budaya sendiri. Ini juga berarti Islam menolak tindak kekerasan untuk mengejar ketertinggalan “teknis” tadi.

Walaupun kita menggunakan kekerasan berlipat-lipat kalau memang secara budaya kita tidak memiliki pendorong ke arah kemajuan, maka kaum muslimin akan tetap tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian keunggulan atau ketertinggalan budaya Islam tidak terkait dengan penguasaan “kekuatan politik”, melainkan dari kemampuan budaya sebuah masyarakat muslim untuk memelihara kekuatan pendorong ke arah kemajuan, teknologi dan ilmu pengetahuan.

Kita tidak perlu berkecil hati melihat “kelebihan” orang lain, karena hal itu hanya akibat belaka dari kemampuan budaya mereka mendorong munculnya hal-hal baru yang bersifat “teknis”. Di sinilah letak pentingnya dari apa yang oleh Samuel Huntington disebut sebagai “perbenturan budaya (clash of civilizations)”. Perbenturan ini secara positif harus dilihat sebagai perlombaan antar budaya, jadi bukanlah sesuatu yang harus dihindari.

***

Beberapa tahun lalu penulis diminta oleh Yomiuri Shimbun, harian berbahasa Jepang terbitan Tokyo dan terbesar di dunia dengan oplah 11 juta lembar tiap hari, untuk berdiskusi dengan Profesor Huntington, bersama-sama dengan Chan Heng Chee (dulu Direktur Lembaga Kajian Asia-Tenggara di Singapura dan sekarang Dubes negeri itu untuk Amerika Serikat) dan Profesor Aoki dari Universitas Osaka. Dalam diskusi di Tokyo itu, penulis menyatakan kenyataan yang terjadi justru bertentangan dengan teori “perbenturan budaya” yang dikemukakan Huntington. Justru sebaliknya ratusan ribu warga muslimin dari seluruh dunia belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri-negeri Barat tiap tahunnya, yang berarti di kedua bidang itu kaum muslim saat ini tengah mengadopsi (mengambil) dari budaya Barat.

Nah, keyakinan agama Islam mengarahkan mereka agar menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mereka kembangkan dari negeri-negeri Barat untuk kepentingan kemanusiaan, bukannya untuk kepentingan diri sendiri. Pada waktunya nanti, sikap ini akan melahirkan kelebihan budaya Islam yang mungkin tidak dimiliki orang lain: “kebudayaan yang tetap berorientasi melestarikan perikemanusiaan, dan tetap melanjutkan misi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau perlu harus kita tambahkan pelestarian akhlak yang sekarang merupakan kesulitan terbesar yang dihadapi umat manusia di masa depan, seperti terbukti dengan penyebaran AIDS di seluruh dunia, termasuk di negeri-negeri muslim.



*) Dikutip dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di harian Duta

Sumber: NU Online

Anda suka share berita dari VOA-ISLAM, SUARANEWS, PKSblablabla, JONRU, dsb? Anda kurang vitamin D

Pesatnya era “internetisasi” sekarang makin tipis antara dunia maya dan dunia nyata. Mau nyari informasi, ga perlu nunggu koran pagi datang, tinggal mampir ke mbah google dapet deh informasi yang dicari. Tapi hati hati, banyak informasi yang sengaja dislewengkan pihak tertentu untuk tujuan tertentu. Klimaksnya? Tuh kemaren soal Quickcount, terbukti kan mana lembaga survey dan media abal abal mana yang kredibel :lol:

Hmm.. cukup menarik lihat fenomena saat ini. Begitu mudahnya orang untuk berbagi kabar, tinggal klik atau tinggal sentuh tombol share. Mau facebook, Twitter, Path, dll bisa. Bagi kabar yang benar, okelah bisa buat nambah nambah informasi bagi yang lain. Tapi untuk kabar yang ga benar, anda sama aja ikut serta dalam gerakan goblokisasi serta hasutisasi.

aluvimoto redaksi antaranews
Sumber yang selalu saya jadikan referensi informasi. Antaranews.com

Saya sendiri bukan orang Pers yang tentunya menjunjung tinggi kaidah jurnalistik maupun “sumpah jabatannya” orang pers. Tapi at least saya tahu lah batasan batasan membuat artikel di blog abal abal ini via googling dan etika jurnalistik. Bila ada masalah dengan cara penulisan maupun isinya silahkan saja untuk kontak saya di sosmed beserta email blog ini. At least, ada yang berani tanggung jawab lah dengan tulisan yang saya buat yakni saya sendiri. Oke, skip…..

cats
See? yakin deh banyak yang beginian. Selamat bung anda termasuk orang yang berhasil digobloki :lol:

Balik lagi ke judul, kenapa saya agak begitu heran dengan orang yang dengan gampangnya share berita dari VOA-ISLAM, SUARANEWS, PKSblablabla, JONRU, dll? “Man, use your brain, utekmu tok nggonen, pake otakmu”, mungkin begitu yang ada di pikiran saya begitu melihat teman saya sendiri yang membagikan artikel nonsense dari Media abal abal. Dan entah kenapa mayoritas yang share orang yang saya kira agamanya kuat.
Apakah ada kata ISLAM maupun dalil dari kitab maupun hadist dalam artikel hingga nama domain yang dipakai lantas isinya akan selalu benar? Belum tentu :lol:
Mengapa saya katakan media abal abal? Ciri pastinya cuma ada 2 :
1.Redaksi unknown or even unreachable
ngejurnalwordpress
Gini nih yang namanya media, ada madunya eh redaksinya :mrgreen: . Pic by : ngejurnal
Di media abal abal mana ada :lol: , silahkan cek ke suaranews atau voa-islam.com. Temukan redaksinya atau minimal kontak yang bisa dihubungi. Saya jamin kaga bakalan ada, dan kalaupun ada tidak bakalan ada respon dari yang bersangkutan. Malah di media abal abal lain saya pernah baca, penanggung jawab isi artikel di salah satu media abal abal lain, yakni Allah SWT :lol:
Seberapa penting sih redaksi? Redaksi itu penting sekaleeeeeeee, bisa dibilang jantung dari setiap kegiatan pers. Di redaksi ini ada yang bertanggung jawab dari seluruh artikel yang keluar. Jadi pepatah makin tinggi pohon makin tinggi anginnya itu bener banget, di jabatan apapun kalau makin tinggi tingkatannya makin besar tanggung jawabnya.

aluvimoto redaksi voa

Redaksinya? ga ada tuh :roll: , cek kontaknya deh kalo mau kepo level lanjut :lol:
Lah kalo blogger (kaya saya :lol: ) , atau teman teman di forum kompasiana/detikforum bagaimana? Tanggung jawab isi konten jadi tanggung jawab personal alias diri sendiri. Kalau di forum masih ada yang bisa nyaring artikel mana yang yang akan keluar, yaitu tugas moderator. At least masih bisa dihubungi lah.

2. Isi artikel dimulai dengan JUDUL HEBOH, dan Disertai dengan artikel yang memutar balikkan fakta!
aluvimoto redaksi suaranews
Bah Blogger, Joomla kek kalo mau lebih meyakinkan :lol: . Redaksi? gaib :mrgreen:
Saya sendiri pernah iseng nyobain buat judul Heboh namun isinya bukan untuk memutar balikkan fakta atau menghasut. Dan memang tanggapannya LUAR BIASA! Ada yang hanya baca judul saja langsung panas, ada juga yang senyum senyum tahu maksud saya yang sebenarnya. Teknik penulisan seperti ini ada namanya, cuma saya lupa :lol:. Yang jelas dipakai juga di teknik marketing atau di psikologi, psikomarketing atau apa itu namanya. Cek artikelnya disini :mrgreen:
Paling gampang gini deh, di pinggir jalan ada tulisan JANGAN TENGOK KIRI. Dijamin deh, tanpa pikir panjang langsung ngeliat ada apa sih, tanpa harus tahu terlebih dahulu otak kita seakan otomatis mengikuti sugesti tersebut. Nah si tukang share tanpa baca isinya ini juga demikian, sepertinya otaknya sudah terlatih. Jika liat judul wah, otak langsung otomatis ngeshare isi berita yang belum tentu benar :lol:
So, How do we prevent Civil War? Bagaimana kita mencegah perang saudara?
STOP SHARING THOSE STUPID ARTICLES, JUST THINK!

Gile ngeri bener ye sampe perang saudara dibawa bawa. Tapi ini bener lho, ada kecenderungan bisa saja terjadi. Perang diawali dengan kebencian, kebencian individual berubah communal, dan seterusnya seterusnya. Padahal penyebabnya sepele, orang malas menelaah lebih jauh!
As a blogger, saya sendiri prihatin dan mangkel dengan hadirnya media abal abal seperti ini. Makin banyak keraguan terhadap media online, termasuk blog. Makin banyak orang juga yang terlalu mudah dihasut. Mungkin gara gara angka konsumsi susu dan ikan di negara kita yang katanya maritim terlalu rendah dibandingkan negara lain. Padahal ya tinggal milah milah mana yang benar mana yang salah, di Al Quran juga sudah ada tuntunannya, IQRA alias BACA!

Sumber: co-pas aluvimoto.com, dan KASKUS

HABIB ALI AL-JUFRIY DAN KELAHIRAN ISA BIN MARYAM AS.

 
Sebuah tulisan asli dari Maulana ad-Da'i Ilallah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Jufri الحبيب علي الجفري mengenai pendapatnya tentang "Hukum Mengucapkan Selamat Natal", sebuah pandangan paling gamblang dan moderat menurutku.

الحمد لله..

(نحن أولى بموسى منهم)

هكذا قال النبى صلى الله عليه وآله وسلم عندما قيل له بأن يهود المدينة يصومون عاشوراء فرحاً بنجاة سيدنا موسى وقومه من فرعون وجنوده، وقد كان يصوم هذا اليوم وهو فى مكة قبل الهجرة..

لم يسأل النبى الكريم عن ارتباط الشهر العربى بالواقعة على الرغم من أن الحساب العبرى مختلف عنه، واكتفى بكون يهود المدينة قد ارتبطوا بالأشهر العربية لأنهم استوطنوا بلاد العرب، ولم يقُل: وكيف نتحقق من صحة التاريخ فإن اليهود قد حرفوا كتابهم لذا لا يجوز أن نثق بتحديدهم لتاريخ نجاة موسى؟!

لأن الأمر ليس متعلقاً بذات الزمان بقدر ما هو متعلق بالمعنى الذى تدل عليه المناسبة وهو الفرح بفضل الله، ومحبة الصالحين من عباده..

وهذا الارتباط بمواسم فضل الله على عباده الصالحين هو ارتباط أصيل وعميق فى ديننا..

فإنّ ركن الإسلام الخامس وهو الحج.. ملىء بمعانى الارتباط بفضل الله على خُلَّصِ عباده الصالحين من الأمم السابقة..

بدايةً بالطواف حول الكعبة التى رفع إبراهيم الخليل قواعدها مع ابنه إسماعيل.. ومروراً بالسعى بين الصفا والمروة حيث كانت سيدتنا هاجر المصرية تسعى بين هذين الجبلين بحثاً عن الماء لتشرب وتسقى طفلها..

ورمى الجمرات بمنى حيث رجم الخليلُ عليه السلام الشيطانَ عندما كان يحاول جاهداً أن يثنيه عن امتثال أمر الله فى امتحان ذبح ابنه إسماعيل..

ووصولاً إلى ذبح الهدى الذى يذكرنا بالذبح العظيم الذى جعله الله فداء لإسماعيل بعد نجاح أبيه فى الاختبار الصعب.

هذه عظمة شعائرنا التى نعبد الله تعالى بها، أنها مرتبطة بالمعانى العميقة وليست مجرد أداء شكلى ظاهرى..

وقد قال تعالى: {وَذَكِّرهُمْ بأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فى ذلكَ لآياتٍ لكلِّ صَبَّارٍ شَكورٍ}.

لهذا عندما تأتى ذكرى ميلاد السيد المسيح عليه السلام.. فإننا نستشعر أننا أمام تذكر يوم من أيام الله.. تميّز بمعجزة عظيمة فى مولده الشريف ارتبطت بمعنى السلام الذى نحن فى أشد الحاجة إليه فى هذه الأيام.. نعم فقد جعل الله السيد المسيح رمزاً للسلام فى هذا العالم..

ألم يقُل تعالى على لسان السيد المسيح: {وَالسَّلامُ عَلَىَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيٍّا}؟

فهذا وَحدَه سبب كافٍ لأن أفرح بهذه الذكرى الشريفة بغض النظر عن التدقيق فى ضبط تاريخها عندنا أو عند غيرنا أو اختلاف الأرثوذكس والكاثوليك والبروتستانت أو غيرهم حول التحديد الدقيق للمناسبة..

لأن الأمر غير متعلق بذات اليوم بل بالمعنى الذى يرمز إليه..

ثم إن إخوتنا فى الإنسانية وجيرتنا فى الأرض ونظراءنا فى الخلق لهم علينا حق البر والقسط اللذَين نبهنا الله إليهما بقوله تعالى: {لا يَنْهَاكُمُ اللهُ عنِ الَّذينَ لم يُقاتِلوكمْ فى الدِّينِ ولمْ يُخرجوكم من ديارِكُمْ أَن تَبَرُّوهمْ وتُقسِطُوا إِليهِمْ إِنَّ اللهَ يُحبُّ المُقسِطِينَ}.

قال الحسن البصرى: إن المسلمين استأمروا رسول الله فى أقربائهم من المشركين أن يَصِلُوهم، فأنزل الله تعالى هذه الآية..

وقال ابن عباس يريد بالصلة وغيرها {إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} يريد أهل البر والتواصل..

وقال شيخ المفسرين الحافظ ابن جرير الطبرى فى تفسيره للآية: وأولى الأقوال فى ذلك بالصواب قول من قال: عُنى بذلك لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين من جميع أصناف الملل والأديان أن تبرّوهم وتَصِلُوهم وتُقسطوا إليهم.. ولا معنى لقول من قال: ذلك منسوخ.

ولكم أن تتأملوا كيف ربط الله برّ غير المسلمين وحسن مواصلتهم بمحبته تعالى: {إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطينَ}..

فإنّ البرّ والقسط فى تعامل المسلمين مع غيرهم سبيل موصل إلى محبة الله تعالى.. و(البر حُسنُ الخُلق) كما قال الحبيب المصطفى صلى الله عليه وآله وسلم..

وقبل أن يتحمّس إخوتى من طلبة العلم ويهرعون إلى جمع أقوال الفريق الذى منع التهنئة من فقهاء الأمة.. أُذكرهم بأن من لم يُجِز تهنئة غير المسلمين بأعيادهم الدينية ربط ذلك بفَرَضية (إقرارهم) على ما يعتقدونه من عقائد مخالفة للإسلام.. ولم يذكروا دليلاً صريحاً يمنع التهنئة لذاتها..

وهذا (الإقرار) لا يُتصوّر اليوم من المسلمين بعد استقرار الإسلام وانتشار المعلومات ووضوح الاختلاف العقدى ونُضج السلوك البشرى..

إذ لا يوجد مسلم اليوم ممن يُهنئون جيرانهم المسيحيين يخطر بباله أنه يقر بأُلوهية السيد المسيح أو بأنه ابنُ الرب تعالى!.. ولا يوجد مسيحى يتوهم ذلك من تهنئة المسلم له!

كما أنه لا يوجد مسيحى اليوم ممن يُهنئون جيرانهم المسلمين بالعيدين أو برمضان أو بالمولد النبوى الشريف يفهم من ذلك أنه قد أقرّ المسلم على اعتقاده.. ولا يوجد مسلم اليوم يتوهم ذلك من تهنئة المسيحى له!

لكن المعنى الذى يصل إلى القلوب والعقول هو البر والصلة وحسن الجيرة وكريم الأخلاق..

فهل من عاقل اليوم يرى ذلك إقراراً على العقيدة؟ أو مشاركةً فى طقوس العبادة؟

وهل وصلنا إلى حالة صرنا فيها نتشاجر ونصدر الفتاوى ونعلن البيانات.. بل ونكيل التُّهم ونشكك فى سلامة معتقدات بعضنا بسبب كلمة طيبة اعتاد المسلم أن يقولها لجاره المسيحى: «كل عام وأنتم بخير»؟

أى مستوى من السقوط ندفع إليه أجيالنا؟

أم أى مستوى من الاستخفاف بعظمة هذا الدين نقدمه لشبابنا؟

من حق من لا يريد أن يُهنئ غيره ألا يفعل فلم يقُل أحد إن هذا فرضٌ، لكن أن نُنكر على من يفعل ونُبرِق وُنرعِد ونُشكك فى دينه! فهذا نوع من العبث بدين الله! بل هو تقزيم لعظمة الشريعة السمحة!

أرجوكم كفوا عن الإساءة إلى عظمة هذا الدين..

أرجوكم كفوا عن تنفير الناس منه بتضييق رحابه الواسعة عليهم..

وانتبهوا إلى غضب النبى الكريم وتحذيره الشديد عندما شكا إليه رجل أنه صار يتأخر عن صلاة الفجر فى المسجد بسبب تطويل الإمام كما روى البخارى بسنده إلى أبى مسعود الأنصارى، إذ قال الرجل: يا رسولَ اللهِ إِنِّى لأتأَخرُ عن صلاةِ الغدَاةِ من أَجلِ فُلان مما يُطيلُ بنا..

قال أبومسعود: فما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أشد غضباً فى موعظة منه يومئذ!

فقال صلى الله عليه وآله وسلم: (يا أَيها الناسُ إنَّ منكم مُنَفِّرِينَ فمن صلى بالناسِ فَلْيُوجِزْ، فإنَّ فيهمُ الضعيفَ والكبيرَ وذا الحاجةِ).

غضب النبى واشتد فى موعظته واتهم من يطيل الصلاة بأنه مُنفّر!..

فكيف بمن يطعن فى دين الناس ويُشكك فى إيمانهم وسلامة معتقدهم بسبب بِرّهم بجيرانهم؟

وأُذكّر نفسى وأُذكّركم بوصيته صلى الله عليه وآله وسلم: (يَسِّروا ولا تُعسِّروا وبَشِّروا ولا تُنفِّروا).

وأخيراً..

أُهنئ سيدنا محمداً بميلاد السيد المسيح.. نعم أُهنئ سيدنا محمداً..

أليس هو من قال: (أنا أولى الناس بعيسى ابن مريم فى الدنيا والآخرة)..

وأُهنئ المسلمين والمسيحيين بل أُهنئ البشرية كلها بالميلاد المجيد لمن تجلّى الله عليه فى مولده باسمه السلام فجعله رمزاً للسلام..

وأقول لسيدنا المسيح:

سيدى يا روح الله ويا كلمته.. السلام عليك يوم وُلدتَ ويوم تموتُ ويوم تُبعثُ حياً..


Terjemahkan sendiri!

JANGAN MARAHI, TAPI RAHMATI

 

Habib Hasan bin Abdullah bin Umar asy-Syathiri adalah Pengasuh Rubath Tarim yang sangat terkenal dan dihormati di kota Tarim, Hadhramaut. Suatu ketika, beliau berkunjung ke Singapura dan menginap di salah satu hotel. Ketika murid beliau sedang mengurus check-in, beliau duduk di salah satu sofa yang ada di lobby hotel.

Tiba-tiba duduk di hadapan beliau sepasang kekasih bule. Mereka tak henti-hentinya berciuman dan berpelukan di hadapan sang Habib. Habib Hasan hanya menunduk. Rata-rata orang Hadhramaut tak biasa memandang perempuan yang bukan muhrimnya, apalagi dalam adegan mesra.

Setelah urusan check-in selesai, Habib Hasan dipersilakan oleh murid-muridnya untuk memasuki lift yang akan membawa ke lantai kamar. Tak disangka, kedua kekasih itu ikut masuk ke dalam lift dan meneruskan percumbuannya. Murid-murid Habib Hasan marah dan bermaksud menegur sepasang kekasih tadi karena berbuat yang tidak senonoh di hadapan seorang ulama besar.

Namun Habib Hasan justru melarang murid-muridnya untuk menegur mereka. Beliau tetap menunduk dan kemudian membaca doa. Doa beliau sebagaimana yang masyhur dari Imam Abu Hanifah: "Allahumma kama farihtahuma fiddunya, fafarrihhuma fil akhirat." (Ya Allah, seperti Engkau beri kebahagiaan pada mereka berdua (sepasang kekasih itu) di dunia, bahagiakanlah mereka di akhirat).

Begitulah akhlaq ulama-ulama besar kita. Mereka tidak reaktif dan membabi buta. Rasa kasih sayang didahulukan dari kemarahan. Keinginan Habib Hasan adalah agar keduanya berbahagia di akhirat kelak, seperti kebahagiaan mereka bercumbu dan bercinta di dunia. (Sumber cerita: Habib Ismail Fajrie Alatas)

Jenggot Bukan Sunah Rasul ?

Memelihara jenggot merupakan sunnah Nabi, banyak dalil menerangkan masalah ini, misalnya hadis dari Aisyah diriwayatkan Muslim, Rasulullah bersabda, “sepuluh perkara adalah fitrah, di antaranya mencukur kumis dan menumbuhkan jenggot”. Demikian tulisan Ilham Kadir dengan judul Membela “Jenggot” Sunnah Rasul yang dimuat Tribun Timur Edisi Jumat/22/08/2013, halaman 27.

Ilham Kadir, guru SMPN 2 Enrekang, bukan pakar hadis. Latar belakang keilmuannya tentang hadis masih tergolong miskin. Ini dikarenakan sangat tekstual dalam memahami hadis seperti dalam opininya. Matan hadis yang dikutipnya tidak lengkap sementara dalam memahami sebuah hadis harus dilihat munasabah (hubungan) matan hadis sebelumnya, tidak pula mengemukakan asbab wurud al-hadis (latar belakang histori dan situasi) hadis tersebut disabdakan, sementara tekstual dan kontekstual matan hadis baru bisa dipahami secara akurat setelah mencermati asbab wurud-nya.

Matan hadis tentang itu berdasarkan hasil takhrij (penelurusan melalui kamus Hadis) ditemukan dalam Bukhari (5443 dan 5893), Muslim (260, 380, 381, 382, 383), Turmuzi (2687 dan 2688), al-Nasai (15, 4959, 4960, 5131). Dari sini diketahui ada dua redaksi hadis yang berbeda matannya.

Pertama, Inhaku al-syawariba wa a’fu al-lihay (habiskanlah kumis dan biarkan jenggot seadanya).

Kedua, juzzu al-syawariba wa arkhu al-lihay khalifu al-majusa (pendekkanlah kumis dan pelihara jenggot, selisihilah kaum Majusi) karena mereka, terutama Majusi pedesaan memiliki kebiasaan memanjangkan kumis dan mencukur jenggot, tetapi di Mekah kebiasaan itu rupanya tidak berlaku karena Abu Lahab, Abu Jahal dan pemuka kaum Kafir di Mekah saat itu juga berjenggot, apa bedanya dengan sahabat lain.

Jadi perintah dalam matan hadis ini diperuntukkan kepada sahabat Nabi di pedesaan yang berinteraksi dengan kaum Majusi karena ternyata sahabat Nabi, Ibnu Umar yang juga mendengar langsung hadis itu disabdakan, memotong jenggotnya jika merasa terlalu panjang.

Ditinjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan historinya, pada masa Nabi atau bersamaan saat hadis itu disabdakan, di daerah pedesaan khususnya di negeri Ajam memang terlihat dikotomi antara muslim dan non-muslim sehingga dibutuhkan suatu identitas untuk membedakan di antaranya.

Ketika itu, hadis diyakini sebagai suatu hal yang harus dipenuhi, sehingga menjalankan apa yang diperintahkan oleh Nabi untuk mereka merupakan kewajiban yang harus dilakukan, sehingga kandungan matan hadis tersebut selain bersifat lokal juga temporal, tidak bersifat universal. Konteks kekinian, hal tersebut dianggap tidak relevan dengan melihat bahwa banyak pula umat non-muslim yang memanjangkan jenggotnya.

Ditinjau segi asbab wurud hadis berkenaan dengan situasinya, perintah Nabi untuk memanjangkan jenggot memang relevan untuk orang-orang Arab, terutama Pakistan, yang secara ilmiah dan alamiah dikaruniai jenggot yang subur. Tingkat kesuburan dan ketebalan rambut milik orang-orang Indonesia tidak sama dengan mereka.

Bahkan sebagian besar di antara kita tidak bisa tumbuh jenggotnya padahal agamawan, sebutnya misalnya pakar tafsir Qurais Shihab Shihab, atau di Sulawesi Selatan saat ini ulama kharismatik, AGH. Sanusi Baco, AGH. Bakri Kadir, AGH. Baharuddin HS, Allahu Yarham AGH. Harisah Qaddasallahu Sirrah, (kalau di kalsel ada KH. Zaini Ghani Sekumpul) dan sederetan ulama lainnya, justru tidak ditakdirkan untuk berjenggot, nah apakah ulama kharismatik ini bisa divonis tidak mengikuti sunnah.

Sangat naïf bila jenggot dijadikan sebagai ukuran sunnah, karena akan terlihat bahwa yang menjalankan Islam dengan kaffah hanyalah mereka yang berjenggot sementara yang lain pengingkar sunnah.

Kembali pada definisi hadis, adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi saw. Jenggot tidak masuk dalam definisi tersebut, tetapi masuk pada ciri khas fisik Nabi dan ciri ini tidak bisa mengikat pada semua umat Islam. Sama halnya dengan perintah menikahi empat orang perempuan (QS. al-Nisa/4:3) bukan kewajiban bagi semua kaum laki-laki sehingga perintah tersebut tidak bisa mengikat pada semua umat Islam.

Harus dimengerti bahwa jenggot terdiri dari tiga kategori. Pertama, jenggot biologis seperti orang-orang Arab, Kedua, jenggot ideologis seperti orang-orang yang memaksakan dirinya berjenggot dengan berbagai cara misalnya membeli obat penumbuh-penyubur jenggot.

Ketiga, gabungan idiologis-biologis. Kategorisasi ini, hendaknya disesuaikan dengan individu masing-masing, bagi mereka yang tidak bisa tumbuh jenggotnya, tidak usah dipaksakan. Mereka yang dikarunia tumbuh subur jenggotnya, silakan pelihara dan rawat dengan rapih jika memungkinkan tetapi jangan dijadikan sebagai simbol sunnah karena itu hanya sebagai assesoris fisik.

Dengan begitu, bagi yang berjenggot jangan divonis salah, sebaliknya yang tidak berjenggot jangan divonis tidak mengikuti sunnah Nabi. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq. (*)
-----------------------------------------
Oleh:
Mahmud Suyuti
Ketua MATAN Sulawesi Selatan/ Dosen Hadis dan Mantan Kepala Laboratorium Hadis UIM Makassar


Alhamdulillah... Bulan ini bisa mengikuti beliau bertemu rakyat sampai tiga kali.
Sungguh berat mengikuti beliau. Karena saya asli Kota Solo, saya sering salah jalan. Bagaimana tidak? Lokasi pengajian beliau benar-benar desa pelosok. Dan, karena saya sering salah jalan, otomatis saya seperti harus "berpetualang" dulu, sebelum diizinkan bertemu Cak Nun.
***
Ini hanya berdasarkan ingatan dan sebagian sudah di-bahasa Indonesia-kan. Sudah TIDAK orisinil ucapan beliau! Ini cuma hasil aktivitas pertanian saya atas benih ilmu yang ditaburkan beliau. Tidak mungkin semua bisa saya ringkas, jadi saya hanya ambilkan salah tiga benih ilmu hikmah saja.

1. MENDIDIK ANAK. Jangan suka menanyakan anakmu ingin makan apa. Cukup suruh ia makan hasil masakanmu. Kalau sejak kecil dibiasakan hanya makan apa yang anakmu mau, nanti dewasanya ia akan jadi orang lemah ringkih. Anakmu saat dewasa hanya mampu melakukan sesuatu yang ia inginkan. Cukup seminggu sekali saja dimanjakan ingin makan apa.

2. EKONOMI ISLAM. Dalam bekerja, harus ada pembagiannya: Profesional, semi profesional, semi infaq, dan infaq.
(a) Kalau yang bertransaksi denganmu adalah orang kaya atau perusahaan besar, tidak apa-apa profesional minta bayaran hingga ratusan juta. (b) Kalau yang bertransaksi denganmu adalah orang kelas menengah atau UKM, maka tidak boleh minta bayaran tinggi-tinggi. (c) Kalau yang bertransaksi denganmu adalah rakyat, maka tidak boleh cari untung. Minta bayaran semi infaq, yaitu sekedar "uang makan satu hari" saja. (d) Dan, kalau yang bertransaksi denganmu adalah orang yang sudah sangat susah hidupnya, maka kamu justru yang harus sedekah.

3. PENDEKAR KEHIDUPAN. Tidak ada pendekar yang tidak pernah terluka dan tidak pernah berpuasa. Tidak baik jika seorang pendekar selalu menang. Seorang pendekar harus pernah berkali-kali dibanting.
Jika Timnas U-19 selalu menang, maka di masa depan mentalnya akan hancur. Kalau sudah sukses juara di Piala Asia Tenggara, lalu berada di Piala Asia satu tahun, tidak boleh langsung naik ke Piala Dunia. Hidup itu harus tertata.

Mempelajari Karakteristik Penghuni Surga


_
Oleh: Doni Febriando

Menurut logika normal, seharusnya saya tidak mungkin menulis tema ini. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba merasa perlu menulis ilmu ini. Saat asyik cuci piring dan gelas seusai sahur, tiba-tiba ada ilham masuk. Terpikir ilmu ini dan merasa suatu hari nanti akan berguna.
Jujur ilmu ini untuk konsumsi pribadi. Sebab ilmu ini belum sempurna, masih ijtihad diri saya yang masih sangat muda (23 tahun). Mustahil sudah betul. Saya masih sangat sangat butuh banyak belajar. Jadi, para pembaca sekalian hendaknya memposisikan tulisan saya ini sebagai beras, jangan dianggap sudah nasi.
Karena masih “beras”, berarti masih perlu dimasak lagi. Jangan menganggap isi tulisan saya sudah final dan pantas diikuti secara massal.
***
Mungkin tidak saat Anda jalan-jalan di taman surga nanti melihat orang bertengkar?
“Lho! Kamu kan warga Muhammadiyah, kok bisa masuk surga?!” kata penghuni surga A.
“Justru aku yang harusnya heran! Nahdliyyin seharusnya ahli neraka!” kata penghuni surga B.
“Salah semua! Kalian berdua seharusnya digoreng bareng di neraka! Kalian berdua tidak sepaham dan tidak satu partai denganku sewaktu masih di dunia!” kata penghuni surga C.
Mungkin tidak ada kejadian seaneh itu di surga? Kok rasa-rasanya mustahil ada pertengkaran di surga.
Dari kemustahilan tersebut, kita bisa memetik ilmu hikmahnya. Caranya tinggal dibalik peristiwa tersebut. Poin pertama, berarti ciri-ciri calon penghuni surga adalah orang yang selama hidupnya di dunia tidak memiliki ego yang tinggi.
Kalau dianalisa, sebab pertengkaran si A, si B, dan si C hanya masalah ego saja. Karena si A lahir di keluarga NU, maka si A menganggap amalan warga Muhammadiyah tidak sehebat dirinya. Karena si B lahir di keluarga Muhammadiyah, maka si B menganggap nahdliyyin itu ahli bid’ah. Si C lebih gawat, karena si C lebih jelas memperlihatkan egonya.
Padahal, seperti kita tahu, si A, si B, dan si C bukan nabi semua. Berarti hikmah yang bisa petik, tidak ada manusia pasca kewafatan Nabi Muhammad SAW yang terjamin pasti masuk surga, apalagi bisa mengkapling-kapling surga orang lain.
Indonesia sebertengkar sekarang ini karena mayoritas mengidap pola pemikiran si C. Kalau tidak sepaham dan satu partai dengan dirinya, maka orang lain itu kafir. Kalau sudah mendukung Prabowo, maka alim ulama sekaliber Profesor Quraish Shihab divonis masuk neraka, hanya karena beliau itu terang-terangan mendukung Jokowi. Begitu pula sebaliknya.
Skala lebih kecil, prilaku si C bisa kita temukan sehari-hari di banyak orang. Karena merasa dirinya ustadzah dan berjilbab, maka ia memvonis tetangganya yang tidak berjilbab masuk neraka semua. Karena merasa dirinya rajin shalat, maka ia memvonis temannya yang bolong-bolong shalatnya masuk neraka semua. Berprilaku seperti si C bukan? Hanya “bajunya” beda-beda. Ada yang pakai alasan jilbab, alasan shalat, alasan haji, alasan organisasi, alasan capres, dan sebagainya.
Polanya tetap sama; siapa yang tidak seperti diriku, maka ia pasti masuk neraka.
***
Kalau kita kembangkan lagi poin pertama, maka lahir poin kedua dan ketiga tentang karaktistik para penghuni surga.
Poin kedua, para penghuni surga semasa hidup di dunia rendah hati semua. Ciri-cirinya saat masih hidup di dunia yaitu tidak menggantungkan diri pada amal shalih. Kalau ia rajin shalat, one day five juz, ahli sedekah, maka ia tidak akan memamerkan amal shalihnya.
Pamer itu tidak mesti dalam bentuk cerita lisan. Pamer bisa juga “diceritakan” melalui sikap. Ada orang yang suka marah-marah pada banyak orang tanpa sebab. Bisa jadi orang itu sedang ingin pamer keshalehan dirinya sendiri. Jadi, marahnya itu pura-pura saja, karena batinnya sedang tersenyum bangga pada amal shalihnya sendiri. Sombong.
Gus Dur semasa hidup tidak suka marah-marah bukan karena tidak tahu dosa-dosa banyak orang. Beliau hanya tidak pernah menggantungkan dirinya pada amal shalih. Gus Dur semasa hidup luar biasa ibadahnya. Tidak cuma rajin shalat dan pernah naik haji, Gus Dur sangat kuat bacaan Qur’annya. Sehari beliau mampu mendaraskan lima juz. Kedermawanan beliau pun sangat kuat, sehingga saat meninggal Gus Dur hanya memegang uang Rp. 200.000,00 saja.
Gus Dur semasa hidup sukanya mengayomi para pendosa, karena beliau orangnya rendah hati. Jutaan amal shalih yang pernah beliau lakukan tidak pernah dijadikan alat untuk mengagung-agungkan diri di depan para pendosa.
Tidak mungkin surga isinya para ahli ibadah yang saling mengagung-agungkan amal shalihnya. Betul tidak?
Poin ketiga, para penghuni surga semasa hidup memiliki sifat welas asih. Ciri-cirinya saat masih hidup di dunia yaitu sibuk mencintai dan melayani orang lain. Orang yang memiliki sifat welas asih tidak mungkin egois.
Mustahil para penghuni surga semasa hidup adalah orang-orang yang egois. Sibuk mencintai dirinya sendiri, sibuk melayani dirinya sendiri. Kalau orang lain tidak seperti dirinya, ia akan marah-marah. Tidak sepaham dianggap tidak “mencintai” pemikiran dirinya. Tidak satu capres dianggap tidak “melayani” pilihan politik dirinya.
Para calon penghuni surga pasti saat di dunia sibuk mencintai dan melayani orang lain. Orang yang tidak sebagus dirinya diayomi. Orang yang tidak seberuntung dirinya ditolongi. Hidupnya penuh cinta dan kedamaian.
***
Nabi Muhammad SAW pernah bercerita kalau surga itu tidak seperti bayangan orang-orang. Saking luar biasa indahnya, sampai-sampai tidak bisa dilukiskan dengan khayalan.
Ini pemikiran saya pribadi, jangan dianggap sudah benar; jangan-jangan surga itu lebih ke “suasana”. Saya menduga lebih ke arah immateriil, karena rasa-rasanya aneh kalau kenikmatan surga itu isinya istana-istana megah, perhiasan-perhiasan mewah, dan bidadari-bidadari cantik. Kalau yang seperti itu, rasa-rasanya kok seperti masuk ke diskotik.
Cukup bawa uang satu milyar rupiah, masak sudah langsung dapat merasakan kenikmatan-kenikmatan surgawi? Terlalu rendah kalau kenikmatan khas surga bisa dibeli dengan uang. Seperti diskotik saja.
Mungkin surga itu seperti Indonesia. Tanahnya subur, memiliki ribuan jenis flora-fauna, suhunya hangat, air berlimpah, bergunung-gunung, dan sebagainya. Hanya saja di surga kita bisa langsung melihat Allah dan dikelilingi orang-orang yang berakhlak baik.
Bisa jadi... Karena kalau surga itu kenikmatannya berupa materiil, tentu akan luar biasa membosankan. Para pembaca sekalian yang dari kalangan orang kaya pasti paham maksud saya. Tiap malam tidur di hotel berbintang lima, serba dilayani banyak orang, selalu makan-minum di restoran, bergelimang perhiasan mewah, punya istri super cantik, dan sebagainya itu tidak istimewa.
Punya rumah kecil di desa yang permai, memiliki keluarga harmonis, semua tetangganya berakhlak baik, berkumpulnya dengan orang-orang shalih, dan tiap hari isinya bergembira rasa-rasanya lebih terasa “surga”. Bisa jadi...
***
Kalau kenikmatan surga tidak bersumber pada sesuatu yang materiil, berarti kita bisa menikmati surga tanpa harus meninggal terlebih dahulu. Kita cukup lakukan poin satu, dua, dan tiga di atas. Tetap lakukan terus-menerus, meski lingkungan tidak mendukung.
Ketika kita istiqomah berbuat baik, maka Allah akan memberikan surga dunia kepada kita. Surga yang lebih sejati, surga yang tidak ternilai. Bisa dengan Allah memberi hidayah ke orang-orang sekeliling kita. Atau bisa juga Allah memindahkan kita ke lingkungan yang surgawi. Pasti itu.
Setiap perbuatan ada jodohnya. Kalau berbuat baik, maka jodohnya akan kebaikan. Kalau berbuat buruk, maka jodohnya akan keburukan. Hanya saja datangnya jodoh perbuatan bisa sehari, seminggu, empat bulan, atau sepuluh tahun kemudian. Tergantung kebijaksanaan Allah.
Saran saya, jangan mencari surga, tapi pantaskanlah diri Anda untuk dicari surga. Seperti halnya mekanisme pernikahan. Ketika Anda adalah calon imam yang baik, maka bidadari akan mencari Anda.