Sunday, March 30, 2014
Menelusuri Akidah Sang Pembaharu (KH Ahmad Dahlan)
KH Ahmad Dahlan sebagai ulama, intelektual yang memiliki wawasan kebangsaan yang luar di anggab sebagai sang Mujaddid (pembaharu). Gagasan-gagasan KH Ahmad Dahlan di anggab oleh sebagian orang-orang Muhammadiyah sebagai sesuatu yang memberikan pencerahan, yaitu usaha kembali memurnikan ajaran islam. Sebab, akidah umat islam nusantara, khususnya tanah Jawa tidak sesuai dengan akidah, terkontaminasi dengan TBC (Tahayyul, Bidah, dan Khurafat). Inilah yang menjadi alasan kalangan pengikut Muhammadiyah, sehingga umat Islam nusantara perlu diluruskan.
Jika dikaji dan ditelurusi lebih dalam, ternyata akidah KH Ahmad Dahlan itu sama dengan keyakinan guru-gurunya, seperti Syekh Sholih Darat, Sayyed Abu Bakar Shata, Syekh Ahmad Khotib Minangkabawi. Apalagi, buku tulisan tangan Arab Pego KH Ahmad Dahlan juga mengisaratkan kalau beliau ber-akidah Al-Syairoh dan Maturidiyah. Begitu juga dengan karya-karya ulama klasik, seperti Syekh Sirajudin Abbas, juga juga mengisaratkan bahwa akidah dan madhab KH Ahmad Dahlan itu sama dengan guru-gurunya. Bahkan, madzhab fikih beliau juga jelas mengikuti Imam Syafii.
Apalagi kitab-kitab manuskprip (tulisan tangan KH Ahmad Dahlan) masih ada, dan bisa di baca hingga saat ini. Itu bisa menjadi bukti otentik, bahwa KH Ahmad Dahlan itu akidahnya Al-Syairoh dan Maturidiyah, sedangkan Madzhabnya mengikuti Imam Al-Syafii. Dengan begitu, anggapan bahwa akidahnya KH Ahmad Dahlan itu selaras dengan Syekh Abduh, Syekh Abdul Wahhab, Ibn Taimiyah, dan Ibn Qoyyim Al-Jaziyah bisa dipatahkan. semua itu terkesan di paksakan, agar supaya tersa berbeda dengan gerakan Nahdiyah (NU).
Jika KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) di anggap mengikuti pemikiran Abduh, yang menurut kajian Harun Nasution adalah ‘’neo-Mu’tazilah’’.[1] Anggapan ini salah kaprah, bahkan terkesan mengada-ngada, dalam istilah bahasa Arab disebut dengan Bidah Pemikiran Muhammadiyah. Arbiyah Lubis dalam disertasinya membuktikan, bahwa sepanjang persoalan teologi (akidah), Muhammadiyah tidaklah mengikuti Abduh sama sekali (Syafii Maarif:13). Lubis berkesimpulan bahwa tidak ada kesamaan di antara keduanya.
Muhammad Abduh bersifat rasional yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, sedangkan teologi KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) bersifat tradisonal, lebih dekat dengan teologiAsy’ariyah.[2] Dengan demikian, antara Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama’ itu memiliki kesamaan di dalam masalah akidah (teologi).
Apalagi jika melihat beberapa kitab Himpunan Putusan Madjlis Tardjih Muhammadiyah, thn, 1968-1969. Dalam kitab tersebut, Madjlis Tardjih Muhammadiyah mengambil dan menukil salah nama ulama besar yang ber-teologi Asya’riyah, yaitu Syekh Abu Mansur Al-Bagdadi.[3] Dalam catatan Putusan Dewan Tardjih Muhammadiya di tulis:’’Berkata Abu Mansur Bagdadi di dalam kitab Al-Farqu baina Al-Firoq, muka (6).[4] Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa Nabi SAW mengatakan:’’sesungguhnya orang-orang Bani Israil itu telah telah berpecah belah menjadi 71 golongan, dan umatku nanti akan berpecah belah menjadi 72 golongan, kesemuanya itu dalam Neraka, kecuali satu golongan’’.[5]
Antara informasi yang berkembang dan realitas dalam tulisan KH Ahmad Dahlan tidak sesuai. Dengan demikian, ada orang-orang terntentu atau usaha secara tersembunyi yang di lakukan secara sengaja merubah ajaran KH Ahmad Dahlan serta tata cara ibadahnya (Madzhab). Tujuan utamanya ialah karena ada unsur politik, artinya jangan sampai antara KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asaary bersatu. Sebab, persatuan antara dua kekuatan islam yang besar itu bisa menjadikan Indonesia menggunakan syariat islam.
Dengan begitu, bagaimana supaya dua kekuatan Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah tetap terkesan berbeda dan bersembarangan akidah dan tata cara ibadahnya. Khususnya masalah amaliyah ubudiyah sehari-hari. Qunut, Dua Adzan Jumat, bacaan basamlah dalam surat Al-Fatihah, sholat Tarawih 20 rakaat, ziarah kubur, tahlilan, dan istighosahan. Padahal, KH Ahmad Dahlan melakukanya, sementara para pengikutnya justru menganggab itu semua bidah (mengada-ngada) alias tersesat.
Rupanya, golongan tertentu itu sengaja melesrtarikan peberbedaan itu, dengan tujuan agar supaya kedua kelompok it terus bertengkar dan selamanya bersebarangan. Sebab, jika kedua kelompok, antara Muhammadiyah (KH Ahmad Dahlan) dan KH Hasyim Asaary (Nahdhatul Ulama’) itu bersatu, maka kekuatan islam di negeri ini akan kuat dan tidak mungkin dikalahkan oleh kekuatan politik mana-pun. Sebisanya mungkin, antara gagasan KH Ahmad Dahlan dan Gagasan KH Hasyim Asaary terus menerus diangkat agar para pengikutnya semakin panas, kemudian saling bertikai (www.wisatahaji.com). Ringkasan dari naskah Membumikan Gagasan KH Ahmad Dahlan yang di Tulis oleh Abdul Adzim Irsad
[1] . Syafii Maarif. Dr. 2000. Hubungan Muhammadiyah dan Negara: Tinjauan Telogis. Yang di tulis dalam buku Rekontruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban (UII Press-Jokjakarta) hlm 13
[2] . Syafii Maarif. Dr. 2000. Hubungan Muhammadiyah dan Negara: Tinjauan Telogis. Yang di tulis dalam buku Rekontruksi Gerakan Muhammadiyah pada Era Multiperadaban (UII Press-Jokjakarta) hlm 13
[3] . Abu Mansur Abd Qahir bin Tahir Al-Baghdadi (m.429/1037). Beliau salah satu dari sekian ulama yang ber-teologi Al-Asyairah yang membela sunnah Rosulullah SAW atas serangan-serangan Mu’tazilah dan Syiah.
[4] . Himpunan Putusan Madjils Tardjih Muhammadiyah.1969. Ditanfidzkan dan diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muahammadiyah) hlm 21
[5] (HR Tirmidzi).
Tuesday, March 25, 2014
Arabisasi, Samakah dengan Islamisasi?
Oleh : KH. Abdurrahman Wahid
--------------
BEBERAPA tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan datang pada penulis di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir Butho masih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim itu adalah agar penulis memerintahkan semua warga NU untuk membacakan surah Al-Fatihah bagi keselamatan bangsa Pakistan.
Mengapa? Karena mereka dipimpin Benazir Butho yang berjenis kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda "celakalah sebuah kaum jika dipimpin oleh seorang perempuan". Penulis menjawab bahwa hadits tersebut disabdakan pada abad VIII Masehi di jazirah/Peninsula Arabia. Bukankah ini berarti diperlukan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?
Pada waktu dan tempat itu, konsep kepemimpinan (za'amah) bersifat perorangan -di mana seorang kepala suku harus melakukan hal-hal berikut: memimpin peperangan melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari kawasan satu ke kawasan lain dan mendamaikan segala macam persoalan antar para keluarga yang berbeda-beda kepentingan dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus berfungsi membuat dan sekaligus melaksanakan hukum.
Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemimpin, baik ia Presiden maupun Perdana Menteri sebuah negara, konsep kepemimpinan kini telah dilembagakan/di-institusionalisasi-kan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri Butho tidak boleh mengambil sikap sendiri, melainkan melalui sidang kabinet yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Kabinet juga tidak boleh menyimpang dari Undang-Undang (UU) yang dibuat oleh parlemen yang beranggotakan laki-laki sebagai mayoritas. Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim Agung yang membentuk Mahkamah Agung (MA), yang keseluruhan anggotanya juga laki-laki. Karenanya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi menjadi masalah, karena konsep kepemimpinan itu sendiri telah dilembagakan/di-institusionalisasi-kan. "Anda memang benar, demikian kata orang alim Pakistan itu, tetapi tolong bacakan surah Al-Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan".
*****
Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah berkembang menjadi Islamisasi -dengan segala konsekuensinya. Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam bahasa tersebut, simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim, sehingga secara tidak terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi. Sebagai contoh, nama-nama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga di-Arabkan; kata syari'ah untuk hukum Islam, adab untuk sastra Arab, ushuludin untuk studi gerakan-gerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan fakultas keputrian dinamakan kulliyyatul bannat. Seolah -olah tidak terasa ke-Islaman-nya kalau tidak menggunakan kata-kata bahasa Arab tersebut.
Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Universitas Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula nama-nama berbagai pondok pesantren. Kebiasaan masa lampau untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan menggunakan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren (PP) Lirboyo Kediri, Tebu Ireng Jombang dan Krapyak di Yogyakarta, seolah-olah kurang Islami, kalau tidak menggunakan nama-nama berbahasa Arab. Maka, dipaksakanlah nama PP Al-Munawwir di Yogya -misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.
Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu. Kalau dahulu orang awam menggunakan kata "minggu" untuk hari ke tujuh dalam al-manak, sekarang orang tidak puas kalau tidak menggunakan kata Ahad. Padahal kata minggu, sebenarnya berasal dari bahasa Portugis, "jour do-minggo", yang berarti hari Tuhan. Mengapa demikian? Karena pada hari itu orang-orang Portugis -kulit putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari itu, kini kaum muslimin banyak mengadakan kegiatan keagamaan, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian, justru kaum muslimin menggunakan hari tutup kantor tersebut sebagai pusat kegiatan kolektif dalam ber-Tuhan?
*****
Dengan melihat kenyataan di atas, penulis mempunyai persangkaan bahwa kaum muslimin di Indonesia, sekarang justru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa kurang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam menghadapi "kemajuan Barat". Seolah-olah Islam akan kalah dari peradaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata-kata berbahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin sekarang di seluruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali ke akar Islam, yaitu kitab suci Alquran dan Hadits Nabi SAW. Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis agama Islam itu menjadi super-ficial dan "sangat keras" sekali. Bukankah ini sumber dari terorisme yang menggunakan nama Islam dan yang kita tolak?
Dari "rujukan langsung" pada kedua sumber pertama Islam itu, dikenal dengan sebutan dalil naqli, jadi sikap sempit yang menolak segala macam penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu agama (religious subject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil pengalaman dan pemikiran kaum muslimin dari berbagai kawasan (waktu yang sangat panjang). "Pemurnian Islam" (Islamic Puritanism) seperti itu, berarti tudingan salah alamat ke arah tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai kawasan selama berabad-abad, memang ada ekses buruk dari pengalaman dan perkembangan pemikiran itu, tetapi jawabnya bukanlah berbentuk puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran membersihkan Islam dari ekses-ekses yang keliru tersebut.
Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, seperti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum Katholik dijawab dengan berbagai langkah kontra-reformasi semenjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang kemudian berujung pada teologia pembebasan (liberation theology), merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium "perbedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat" (ikhtilaf al-a'immah rahmat al-ummah). Adagium tersebut bermula dari ketentuan kitab suci Alquran: "Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal" (wa ja'alnaakum syu'uuban wa qabaa'ila li ta'arafuu). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah pihak, baik kaum tradisionalis maupun kaum pembaharu dalam Islam, adalah mengakui pluralitas yang dibawakan oleh agama Islam. Indah, bukan?
Thursday, March 20, 2014
Awas, NKRI Sedang Dikepung Empat Kapitalisme Global!
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang dikepung oleh empat kekuatan kapitalisme global, yang secara pelan-pelan akan merongrong keutuhan NKRI, jika tidak dibentengi sejak sekarang. Empat kapitalisme tersebut adalah neoliberal, Islam radikal, sosial demokrat, dan neokomunisme.
Hal tersebut disampaikan oleh Abdul Mun’im DZ, wakil sekretaris kenderal PBNU, ketika menjadi pemateri dalam Pelatihan Pelatih Tingkat Nasional Pencak Silat NU Pagar Nusa, Selasa (4/3), di Gedung Youth Centre, Tlogoadi, Mlati, Sleman, DI Yogyakarta.
NU yang memang sejak awal selalu berada di garda terdepan demi keutuhan NKRI, akan selalu merasa siap untuk melakukan apapun demi keutuhan NKRI. “Jika dahulu yang disuarakan dalam NU adalah Kembali ke Khittah 1926, maka sekarang adalah saatnya mensuarakan Kembali ke Khittah NKRI,” tandasnya.
Menurutnya, meski terkadang NU nampak sering diremehkan, sesungguhnya NU memiliki kekuatan besar di Indonesia, khususnya dalam pertahanan NKRI. Bahkan lebih besar dan lebih disegani daripada pemerintah. Namun hal yang disayangkan adalah selama ini NU mudah terprovokasi.
Ia pun menyitir kata-kata KH Abdul Wahab Hasbullah yang berbunyi: “Kekuatan NU ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tetapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tetapi hanya gelugu alias pohon kelapa sebagai meriam tiruan”.
Ia mengajak semua pihak agar tidak mudah terprovokasi oleh hal-hal yang sebenarnya akan merusak keutuhan NU dan NKRI. Ia menghimbau agar NU tetap bersatu, kompak, dan solid, agar dapat selalu menjadi benteng dalam mempertahankan NKRI.
Ia juga mengingatkan para anggota DPR agar membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Sementara itu, disampaikan Mun'im DZ, keempat kapitalisme global yang sedang mengepung NKRI tersebut masing-masing memiliki tujuan, metode, dan strategi sendiri-sendiri. Meski beberapa memiliki kemiripan. Berikut cuplikan penjelasan dari slide show yang ditampilkan oleh pemateri saat itu.
Pertama, neoliberal yang berasal dari USA. Tujuannya adalah terwujudnya demokrasi liberal, merebut pengaruh politik, dan menguasai sumber daya alam serta ekonomi yang ada di Indonesia. Kini, sumber tambang emas di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur, sedang menjadi incaran dan rebutan antar negara-negara besar, seperti China, USA, Jerman, dan lainnya.
Adapun metode yang digunakan adalah dengan mengangkat isu HAM dan lingkungan hidup, melakukan tekanan ekonomi, serta infiltrasi dan inovasi.
Sedangkan strateginya adalah dengan mengubah atau mengganti UUD dan peraturan perundang-undangan lainnya, campur tangan berbagai konflik, dan mempengaruhi pola pikir.
Kedua, islam radikal yang bersumber dari Saudi Arabia. Tujuannya adalah mewujudkan khilafah Islamiyah, Negara Islam Indonesia (NII), dan menegakkan syari’at Islam.
Metode yang digunakan adalah dengan memasuki wilayah parlementer plus, yakni bidang sosial dan bawah tanah, serta mengatasnamakan jihad atau menggunakan teror. Adapun strateginya sama dengan yang digunakan oleh neoliberal.
Ketiga, sosial demokrat yang berasal dari Uni Eropa. Tujuan, metode, dan strategi yang digunakan kurang lebih sama dengan neo liberal. Namun di sini sosial demokrat memiliki strategi tambahan, yakni dengan mengusung teologi pembebasan dan melakukan dekonstruksi.
Keempat, neokomunisme. Tujuannya adalah untuk merebut kekuasaan politik, serta melaksanakan konsepsi PKI.
Metodenya yaitu dengan motif balas dendam, menghancurkan tatanan sosial, menciptakan konflik vertikal maupun horizontal, serta dengan melakukan sabotase.
Adapun strategi yang digunakan adalah sama dengan neo liberal, dengan tambahan melakukan dekonstruksi. (dwi khoirotun nisa’/mukafi niam)
Musnahnya Wahhabi dan Bangkitnya Kembali Menjadi Kerajaan Arab Saudi
Tahun 1744, terjadi kemitraan antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan Ibnu Saud melalui upacara sumpah yang menetapkan Ibnu Saud dengan emir dan Ibnu Abdul Wahhab sebagai Imam, belakangan disebut Syaikhul Islam. Putra tertua Ibnu Saud, Abdul 'Aziz ibnu Saud dinikahkan dengan putri Ibnu Abdul Wahhab. Dinasti-Wahhabi pun terbentuk, menjadi Saudi Arabia. Gerakan Wahhabi dan Dinasti Saud sejak kemunculannya berusaha menundukkan suku-suku di Jazirah Arab dibawah bendera Saudi/Wahhabi.
Tahun 1746, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengumumkan proklamasi jihad kepada siapa saja yang menentang al-Da'wah lit-Tauhid. Penyerangan mulai dilancarkan ke daerah suku-suku yang dinyatakan olehnya kafir. Setiap suku yang belum masuk Wahhabi di beri dua opsi : masuk wahhabi dan mengucapkan sumpah setia atau diperangi sebagai orang musyrik dan kafir. Banyak yang tidak tahan menghadapi kebrutalan emir Abdul Aziz putra Ibnu Saud.
Tahun 1773, tidak ada lagi lawan di Najd, semua sudah ditaklukkan oleh Saudi-Wahhabi, sementara kota Riyadl sudah menyerah. Tahun 1806, Abdul Aziz ibnu Saud wafat. Ia telah menebarkan teror ke banyak wilayah di Jazirah Arab : diselatan sampai Oman dan Yaman, sedankan di daerah utama sampai Baghdad dan Damaskus.Wahhabi yang bersekutu dengan Inggris merongrong dan memberontak terhadap Khilafah Turki Utsmani yang saat itu secara de jure maupun de facto mengusai semenanjung Jazirah Arab dan Timur Tengah secara umum.
"Jazirah Arab secara umum berada dibawah kekuasaan Turki Utsmani... Klan keluarga Syarif Hussein (keturunan Rasulullah Saw) yang menguasai kota suci Makkah sejak 700 tahun lalu itu didirikan oleh Qadatah ibnu Idris (1133-1220 M) yang dilahirkan di Yanbu', Jazirah Arab. Dia memanfaatkan firtah pertikaian yang terjadi ditengah masyarakat Makkah sebagai peluang untuk menguasainya. Dia berhasil menjadi penguasa Makkah pada tahun 1201. Kekuasaannya semakin meluas ke Madinah sebelah utara, dan Yaman sebelah selatan. Kemudian Sultan Utsmani Salim I menguasai Mesir dan semenanjung Hijaz tahun 1517. Para Syarif dari anak cucu Qatadah itu terus memegang kekuasaan di Jazirah Arab dibawah pemerintahan Turki Utsmani dari masa ke masa, baik secara de jure maupun de facto. Syarif Hussein bin Ali bin Muhammad bin Abdul Mun'in bin Awan merupakan penguasa terakhir dari kalangan syarif tersebut. Dialah yang mengumumkan revolusi Arab pada tahun 1916 dan menjadi raja Hijaz. Sampai akhirnya, dia lengser dari kekuasaannya akibat keluarga Saud menguasai Hijaz tahun 1924. Lalu diwaristi putranya, Raja Ali, namun hanya berkuasa setahun". (al-Jazirah al-'Arabiyyah fi al-Watsa'iq al-Barithaniyya; Najd wa Hijaz)
Ketika Makkah berhasil direbut oleh Wahhabi dari tangan Khalifah Turki Utsmani, maka dominasi Wahhabi ditanah suci menjadi tantangan langsung terhadap otoritas Turki kala itu. Beberapa kali serangan dilancarkan dari Baghdad oleh Khalifah, tetapi gagal.Muhammad Ali Pasha, wazir atau wakil Khalifah di Mesir, diserahi tanggung jawab mengambil alih kembali Hijaz dan tanah suci, mengambalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul haramain (pelayan 2 tanah suci : Makkah dan Madinah).
Setelah gagal di tahun 1811, pada tahun 1812 pasukan Turki Utsmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Tahun 1815, kembali pasukan Mesir menyerbu Riyadl, Makkah dan Jeddah. Kali ini pasukan Wahhabi kocar-kacir. Pada saat itu, Ibrahim Pasya, putra penguasa Mesir sebagai wakil pemerintahan Turki Utsmani, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania dan Turki. Muhammad Ibnu Saud sendiri beserta keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo, kemudian ke Konstantinopel. Di Ibukota Khilafah Utsmani itu dia dipermalukan, diarak keliling kota ditengah cemoohan penonton selama 3 hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah.
Sisa keluarga Saudi-Wahhabi menjadi tawanan di Kairo. Kehancuran Wahhabi
disambut gembira dibanyak negeri Muslim. Seorang ulama bermadzhab
Hanafi bernama Muhammad Amin ibnu Abidin yang hidup di awal abad ke-19 mengatakan :
"Ia mengaku pengikut Madzhab Hanbali, tapi dalam pemikiran-pemikirannya hanya dia saja yang muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233 H (1818 M) melalui pasukan muslim".
Tahun 1902, Abdul Aziz, putra Abdurraman ibnu Saud mengungsi ke Kuwait, memulai usaha meraih kejayaan dinasti Saud yang hilang. Dengan bantuan Syaikh Kuwait yang selama ini melindunginya, Ibnu Saud, demikian nama populer Abdul Aziz, berhasil meraih Riyadl den mengumumkan pemulihan kembali Dinasti Saud disana. Klan As-Sabah di Kuwait mendorong Ibnu Saud menaklukkan Riyadl karena mereka takut kekuasaan Klan Rasyidi yag menguasai Riyadl semakin kuat dan luas-juga terutama karena adanya aliansi Rasyidi dengan Khilafah Utsmani- sehingga mengancam Kuwait.
Pertarungan di Najd terjadi antara Ibnu Saud yang dibantu Inggris melawan Klan Rasyidi yang dibantu Khilafah Utsmani. Inggris ikut campur karena khawatir dukungan Khilafah Utsmani terhadap Ibnu Rasyid akan mengancam kepentingan mereka di Kuwait.
Tahun 1906, wilayah Qasim direbut sehingga kekuasaan Ibnu Saud semakin dekat ke jantung Klan Rasyidi di Najd Utara. Selain Qasim, Ibnu Saud juga menguasai kota-kota penting lainnya, seperti 'Unayzah dan Buraydah. Najd praktis terbelah menjadi dua: separuh dikuasai Ibnu Saud dan separuh lagi dikuasai Klan Rasyidi.
Gambaran antara dahsyatnya peperangan yang terjadi antara pihak Ibnu Saud yang dibantu Inggris dengan Ibnu Rasyidi dengan dibantu Khilafah Turki Utsmani, dikatakan oleh sejarawan Wahhabi, Ibnu Bisyr al-Najdi dalam bukunya Uwan al-Majd sebagai peperangan berdarah yang banyak menelan korban dipihak Khilafah Utsmani. Dalam sekali serang saja, sedikitnya 2400 lebih tentara muslim Khilafah Turki Utsmani yang terdiri dari orang-orang Mesir, Maroko dan Quraisy tewas terbunuh.
Pada 26 Desember 1915, ketika Perang Dunia I berkecamuk, Ibnu Saud menyepakati traktat dengan Inggris. Berdasarkan traktat ini, pemerintah Inggris mengakui kekuasaan Ibnu Saud atas Najd, Qatif, Jubail dan wilayah-wilayah yang bergabung didalam empat wilayah utama ini. Dukungan penuh pemerintah Inggris itu diakui secara resmi oleh mereka. Maka, apabila wilayah-wilayah ini diserang, Inggris akan membantu Ibnu Saud dengan kekuatan penuh. Traktat ini juga mendatangkan keuntungan material bagi Ibnu Saud. Ia mendapatkan ribuan senapan dan uang. Ibnu Saud juga menerima subsidi dan bantuan senjata yang dikirim secara teratur sampai tahun 1924, bersamaan dengan runtuhnya Khilafah Turki Utsmani.
Sebagai imbalannya, Ibnu Saud tidak akan mengadakan perundingan dan membuat traktat dengan negara asing lainnya. Ibnu Saud juga tidak akan menyerang ke, atau campur tangan di, Kuwait, Bahrain, Qatar dan Oman (yang berada dibawah proteksi Inggris). Traktat ini mengawali keterlibatan langsung Inggris dalam politik Ibnu Saud.
Sementara itu, saingan Ibnu Saud di Najd, Ibnu Rasyid, tetap berada dibawah naungan Khilafah Utsmani. Seiring dengan mulai lemahnya Khilafah, setelah berbulan-bulan dikepung, akhirnya pada 4 November 1921, Ha'il (ibukota Klan Rasyidi) jatuh ketangan Ibnu Saud yang dibantu Inggris melalui dana dan persenjataan. Penduduk oase subur disebalah utara itu pun terpaksa mengucapkan bai'at ketundukan kepada Ibnu Saud.
Sesudah menaklukkan Ha'il, Ibnu saud beralih ke Hijaz. Satu demi satu kota di Hijaz jatuh ke tangan Ibnu Saud. 'Asir, wilayah di Hijaz selatan, jatuh pada 1922, disusul Thaif, Makkah dan Madinah (ditahun 1924), Jeddah (diawal tahun 1925).
Tahun 1925 juga, dibulan Desember, Ibnu Saud menyatakan diri sebagai Raja , dan pada awal Januari 1926 ia menjadi Raja Hijaz sekaligus Sulthan Najd, dan daerah-daerah bawahannya.
Untuk pertama kalinya, sejak berdirinya Negara Saudi II, 4 wilayah penting di Jazirah Arab, yaitu Najd, Hijaz, 'Asir dan Hasa, kembali berada ditangan kekuataan Klan Saudi. Dan pada tahun 1932, Ibnu Saud telah berhasil menyatukan apa yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Arab Saudi.
"Ia mengaku pengikut Madzhab Hanbali, tapi dalam pemikiran-pemikirannya hanya dia saja yang muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233 H (1818 M) melalui pasukan muslim".
Tahun 1902, Abdul Aziz, putra Abdurraman ibnu Saud mengungsi ke Kuwait, memulai usaha meraih kejayaan dinasti Saud yang hilang. Dengan bantuan Syaikh Kuwait yang selama ini melindunginya, Ibnu Saud, demikian nama populer Abdul Aziz, berhasil meraih Riyadl den mengumumkan pemulihan kembali Dinasti Saud disana. Klan As-Sabah di Kuwait mendorong Ibnu Saud menaklukkan Riyadl karena mereka takut kekuasaan Klan Rasyidi yag menguasai Riyadl semakin kuat dan luas-juga terutama karena adanya aliansi Rasyidi dengan Khilafah Utsmani- sehingga mengancam Kuwait.
Pertarungan di Najd terjadi antara Ibnu Saud yang dibantu Inggris melawan Klan Rasyidi yang dibantu Khilafah Utsmani. Inggris ikut campur karena khawatir dukungan Khilafah Utsmani terhadap Ibnu Rasyid akan mengancam kepentingan mereka di Kuwait.
Tahun 1906, wilayah Qasim direbut sehingga kekuasaan Ibnu Saud semakin dekat ke jantung Klan Rasyidi di Najd Utara. Selain Qasim, Ibnu Saud juga menguasai kota-kota penting lainnya, seperti 'Unayzah dan Buraydah. Najd praktis terbelah menjadi dua: separuh dikuasai Ibnu Saud dan separuh lagi dikuasai Klan Rasyidi.
Gambaran antara dahsyatnya peperangan yang terjadi antara pihak Ibnu Saud yang dibantu Inggris dengan Ibnu Rasyidi dengan dibantu Khilafah Turki Utsmani, dikatakan oleh sejarawan Wahhabi, Ibnu Bisyr al-Najdi dalam bukunya Uwan al-Majd sebagai peperangan berdarah yang banyak menelan korban dipihak Khilafah Utsmani. Dalam sekali serang saja, sedikitnya 2400 lebih tentara muslim Khilafah Turki Utsmani yang terdiri dari orang-orang Mesir, Maroko dan Quraisy tewas terbunuh.
Pada 26 Desember 1915, ketika Perang Dunia I berkecamuk, Ibnu Saud menyepakati traktat dengan Inggris. Berdasarkan traktat ini, pemerintah Inggris mengakui kekuasaan Ibnu Saud atas Najd, Qatif, Jubail dan wilayah-wilayah yang bergabung didalam empat wilayah utama ini. Dukungan penuh pemerintah Inggris itu diakui secara resmi oleh mereka. Maka, apabila wilayah-wilayah ini diserang, Inggris akan membantu Ibnu Saud dengan kekuatan penuh. Traktat ini juga mendatangkan keuntungan material bagi Ibnu Saud. Ia mendapatkan ribuan senapan dan uang. Ibnu Saud juga menerima subsidi dan bantuan senjata yang dikirim secara teratur sampai tahun 1924, bersamaan dengan runtuhnya Khilafah Turki Utsmani.
Sebagai imbalannya, Ibnu Saud tidak akan mengadakan perundingan dan membuat traktat dengan negara asing lainnya. Ibnu Saud juga tidak akan menyerang ke, atau campur tangan di, Kuwait, Bahrain, Qatar dan Oman (yang berada dibawah proteksi Inggris). Traktat ini mengawali keterlibatan langsung Inggris dalam politik Ibnu Saud.
Sementara itu, saingan Ibnu Saud di Najd, Ibnu Rasyid, tetap berada dibawah naungan Khilafah Utsmani. Seiring dengan mulai lemahnya Khilafah, setelah berbulan-bulan dikepung, akhirnya pada 4 November 1921, Ha'il (ibukota Klan Rasyidi) jatuh ketangan Ibnu Saud yang dibantu Inggris melalui dana dan persenjataan. Penduduk oase subur disebalah utara itu pun terpaksa mengucapkan bai'at ketundukan kepada Ibnu Saud.
Sesudah menaklukkan Ha'il, Ibnu saud beralih ke Hijaz. Satu demi satu kota di Hijaz jatuh ke tangan Ibnu Saud. 'Asir, wilayah di Hijaz selatan, jatuh pada 1922, disusul Thaif, Makkah dan Madinah (ditahun 1924), Jeddah (diawal tahun 1925).
Tahun 1925 juga, dibulan Desember, Ibnu Saud menyatakan diri sebagai Raja , dan pada awal Januari 1926 ia menjadi Raja Hijaz sekaligus Sulthan Najd, dan daerah-daerah bawahannya.
Untuk pertama kalinya, sejak berdirinya Negara Saudi II, 4 wilayah penting di Jazirah Arab, yaitu Najd, Hijaz, 'Asir dan Hasa, kembali berada ditangan kekuataan Klan Saudi. Dan pada tahun 1932, Ibnu Saud telah berhasil menyatukan apa yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Arab Saudi.
Sumber : Buku "Best Seller" : Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi : Mereka Membunuh Semuanya, Termaasuk Ulama. Penerti Pustaka Pesantren 2011.
Negara Islam, Adakah Konsepnya?
Oleh KH Abdurrahman Wahid
Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.
Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya, jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.
Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar –tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at/prasetia. Janji itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan dengan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka. Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar ditikam Abu Lu’luah dan berada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih (electoral college - ahl halli wal aqdli), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman empire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formula Islami”.
***
Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negarakota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sampai seluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk negara dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky? Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilakukan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.
Hal ini menjadi sangat penting, karena mengemukan gagasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti membiarkan gagasan tersebut tercabik-tercabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya kemelut di Iran, antara para “pemimpin moderat” seperti Presiden Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat ini. Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama “Islam” itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang “jenis” Islam yang akan diterapkan dalam negara tersebut, Haruskah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “universal”? Kalau harus mengikuti paham Syi’ah itu, bukankah gagasan Negara Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?
***
Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan tersebut, adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal yanga menolak justru adalah mayoritas penganut agama tersebut?
Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakanlah gagasan tersebut: dengan cara apa dia akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum” kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sangat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakah penulis juga harus bertanggungjawab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu?
*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 18-April 2002.
Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.
Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya, jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.
Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar –tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at/prasetia. Janji itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan dengan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka. Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar ditikam Abu Lu’luah dan berada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih (electoral college - ahl halli wal aqdli), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman empire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formula Islami”.
***
Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negarakota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sampai seluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk negara dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky? Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilakukan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.
Hal ini menjadi sangat penting, karena mengemukan gagasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti membiarkan gagasan tersebut tercabik-tercabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya kemelut di Iran, antara para “pemimpin moderat” seperti Presiden Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat ini. Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama “Islam” itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang “jenis” Islam yang akan diterapkan dalam negara tersebut, Haruskah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “universal”? Kalau harus mengikuti paham Syi’ah itu, bukankah gagasan Negara Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?
***
Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan tersebut, adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal yanga menolak justru adalah mayoritas penganut agama tersebut?
Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakanlah gagasan tersebut: dengan cara apa dia akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum” kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sangat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakah penulis juga harus bertanggungjawab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu?
*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 18-April 2002.
Saturday, March 15, 2014
Ingin Berjumpa Nabi Muhammad SAW?
Oleh : Ustadz Husin Nabil bin Najib Assegaf
Seorang murid berjalan menuju rumah
syaikhnya. Tampak di wajahnya sedang menginginkan sesuatu. Ketika sampai
di rumah syaikhnya, dia duduk bersimpuh beradab di hadapan sang syaikh
tak bergeming sedikitpun. Kemudian dengan wajah dan suara yang berwibawa
itu, bertanyalah syaikh kepada muridnya,
“Apakah yang membuatmu datang kepadaku di tengah malam begini?” Dijawabnya dengan suara yang halus,
“Wahai syaikh, sudah lama aku ingin melihat wajah Nabiku SAW walau hanya lewat mimpi, tetapi keinginanku belum terkabul juga.”
“Ooh…itu rupanya yang kau inginkan. Tunggu sebentar,” jawab syaikh.
Dia mengeluarkan pena, kemudian menuliskan sesuatu untuk muridnya.
“Ini…bacalah setiap hari sebanyak seribu kali. Insya Allah kau akan bertemu dengan Nabimu.”
Pulanglah
murid membawa catatan dari sang syaikh dengan penuh harapan ia akan
bertemu dengan Nabi SAW. Tetapi setelah beberapa minggu kembalilah murid
ke rumah syaikhnya memberitahukan bahwa bacaan yang diberikannya tidak
berpengaruh apa-apa. Kemudian syaikh memberikan bacaan baru untuk
dicobanya lagi. Sayangnya beberapa minggu setelah itu muridnya kembali
lagi memberitahukan kejadian yang sama.
Setelah berdiam beberapa saat, berkatalah sang syaikh,
“Nanti malam engkau datang ke rumahku untuk aku undang makan malam.”
Sang murid
menyetujui permintaan syaikhnya dengan penuh keheranan. Dia ingin
bertemu Nabi, tetapi kenapa diundang makan malam. Karena dia termasuk
murid yang taat, dipenuhinyalah permintaan syaikhnya itu. Datanglah ia
ke rumah syaikhnya untuk menikmati hidangan malamnya. Tenyata syaikh
hanya menghidangkan ikan asin saja dan memerintahkan muridnya untuk
menghabiskannya.
“Makan, makanlah semua dan jangan biarkan tersisa sedikitpun!”
Maka sang
muridpun menghabiskan seluruh ikan asin yang ada. Setelah itu ia merasa
kehausan karena memang ikan asin membuat orang haus. Tetapi ketika ingin
meneguk air yang ada di depan matanya, sang syaikh melarangnya,
“Kau tidak boleh meminum air itu hingga esok pagi, dan malam ini kau akan tidur di rumahku!” kata sang syaikh.
Dengan penuh
keheranan diturutinya perintah syaikh tadi. Tetapi di malam hari ia
susah untuk tidur karena kehausan. Ia membolak-balikkan badannya, hingga
akhirnya tertidur karena kelelahan. Tetapi apa yang terjadi?. Ia
bermimpi bertemu syaikhnya membawakan satu ember air dingin lalu
mengguyurkan ke badannya. Kemudian terjagalah ia karena mimpi itu
seakan-akan benar-benar terjadi pada dirinya. Kemudian ia mendapati
syaikhnya telah berdiri di hadapannya dan berkata,
“Apa yang kau mimpikan?”
Dijawab olehnya, “Syaikh, aku tidak bermimpi Nabiku SAW. Aku memimpikanmu membawa air dingin lalu mengguyurkan ke badanku.”
Tersenyumlah sang syaikh karena jawaban muridnya. Kemudian dengan bijaksana ia berkata,
“Jika cintamu pada Nabi seperti cintamu pada air dingin itu, kau akan bermimpi Nabimu SAW.”
Menangislah
sang murid dan menyadari bahwa di dalam dirinya belum ada rasa cinta
kepada Nabi. Ia masih lebih mencintai dunia daripada Nabi. Ia masih
meninggalkan sunnah-sunnahnya. Ia masih menyakiti hati umat Nabi. Ia
masih…masih…masih…..
“Ooh berapa
banyak tenaga yang harus aku keluarkan untuk bertemu Nabiku. Aku sadari
Nabiku bukan sesuatu yang murah dan mudah untuk dipetik atau dibeli
dengan uang. Aku hanya berharap semoga Nabiku mendengar keluhan yang
keluar dari hatiku ini dan menjemputku walau di dalam mimpi.”
Allahumma Sholli Wasallim Wabarik 'alaih
Sumber : Oleh Ustadz Husin Nabil bin Najib Assegaf.
Wasiat Terakhir Imam Al-Ghazali
Imam Ghazali terbangun pada dini hari dan
sebagaimana biasanya melakukan shalat dan kemudian beliau bertanya pada
adiknya,
“Hari apakah sekarang ini?”
Adiknya pun menjawab,
“Hari senin.”
Beliau kemudian memintanya untuk mengambilkan sajadah putihnya, lalu beliau menciumnya, Menggelarnya dan kemudian berbaring diatasnya sambil berkata lirih,
“Ya Allah, hamba mematuhi perintahMu,” dan beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Di bawah bantalnya mereka menemukan bait-bait berikut, ditulis oleh Al-Ghazali ra., barangkali pada malam sebelumnya.
“Katakan pada para sahabatku, ketika mereka melihatku, mati Menangis untukku dan berduka bagiku
Janganlah mengira bahwa jasad yang kau lihat ini adalah aku
Dengan nama Allah, kukatakan padamu, ini bukanlah aku,
Aku adalah jiwa, sedangkan ini hanyalah seonggok daging
Ini hanyalah rumah dan pakaian ku sementara waktu.
Aku adalah harta karun, jimat yang tersembunyi,
Dibentuk oleh debu ,yang menjadi singgasanaku,
Aku adalah mutiara, yang telah meninggalkan rumahnya,
Aku adalah burung, dan badan ini hanyalah sangkar ku
Dan kini aku lanjut terbang dan badan ini kutinggal sbg kenangan
Puji Tuhan, yang telah membebaskan aku
Dan menyiapkan aku tempat di surga tertinggi,
Hingga hari ini , aku sebelumnya mati, meskipun hidup diantara mu.
Kini aku hidup dalam kebenaran, dan pakaian kubur ku telah ditanggalkan.
Kini aku berbicara dengan para malaikat diatas,
Tanpa hijab, aku bertemu muka dengan Tuhanku.
Aku melihat Lauh Mahfuz, dan didalamnya ku membaca
Apa yang telah, sedang dan akan terjadi.
Biarlah rumahku runtuh, baringkan sangkarku di tanah,
Buanglah sang jimat, itu hanyalah sebuah kenang2an, tidak lebih
Sampingkan jubahku, itu hanyalah baju luar ku,
Letakkan semua itu dalam kubur, biarkanlah terlupakan
Aku telah melanjutkan perjalananku dan kalian semua tertinggal.
Rumah kalian bukanlah tempat ku lagi.
Janganlah berpikir bahwa mati adalah kematian, tapi itu adalah kehidupan,
Kehidupan yang melampaui semua mimpi kita disini,
Di kehidupan ini, kita diberikan tidur,
Kematian adalah tidur, tidur yang diperpanjang
Janganlah takut ketika mati itu mendekat,
Itu hanyalah keberangkatan menuju rumah yang terberkati ini
Ingatlah akan ampunan dan cinta Tuhanmu,
Bersyukurlah pada KaruniaNya dan datanglah tanpa takut.
Aku yang sekarang ini, kau pun dapat menjadi
Karena aku tahu kau dan aku adalah sama
Jiwa-jiwa yang datang dari Tuhannya
Badan badan yang berasal sama
Baik atapun jahat, semua adalah milik kita
Aku sampaikan pada kalian sekarang pesan yang menggembirakan
Semoga kedamaian dan kegembiraan Allah menjadi milikmu selamanya.
MELESTARIKAN MENCIUM TANGAN ULAMA
STOP MENUDUH BID'AH !!, SUNNAH - ADAB & NASIHAT --
Syekh Abdul Fattah Rowah seorang ulama besar Arab Saudi sekaligus mudarris (guru) di Masjidilharam melarang santri-santri mencium tangan beliau dengan inhina’ (membungkukkan kepala). Tetapi, beliau tidak melarang santrinya mencium tanganya tetapi dengan tidak menundukkan kepala. Beliau lebih suka santrinya mencium keningnya, sebagai bentuk penghormatan terhadap gurunya. Karena mencium kening di Arab Saudi bagian dari budaya seorang murid memulyakan gurunya.
Dalam tradisi Jawa, mencium tangan orang yang lebih sepuh usianya adalah bentuk penghormatan dan kemulyaan. Dan, ini dilakukan oleh sebagian besar umat islam nusantara, baik oleh orang Muhammadiyah, NU, atau organisasi lainya. Mencium tangan seorang ulama, dalam syariat islam sangat dianjurkan, bahkan harus dilestarikan. Jadi, mencium tangan seorang ulama saat beralaman adalah salaman Syari.
Tetapi realaitas dilapangan, tidak semua ulama mau dan berkenan dicium tangannya. KH Suyuti Dahlan misalnya, beliau selalu menolak ketika santrinya akan mencium tanganya. Seorang Kyai ketika ditanya kenapa tidak mau dicium tangannya, sang Kyai itu menjawab dengan singkat:’’ aku takut merasa takabbur’’.
Kendati demikian tidak mau dicium tangannya, ternyata Kyai tersebut tidak pernah melarang praktek mencium tanganya seorang ulama. Sebab, Kyai yang takut takabbur itu ketika menjadi santri ternyata juga mencium tangan guru-gurunya saat bersalaman, sebagai bentuk hormat. Kenapa tidak mencium keningnya? Sebab, tradisnya tidak sama dengan tradisi yang berkembang di Arab Saudi.
Bagi seorang anak, mencium tangan saat bersalaman dengan ayah dan ibundanya, serta guru-gurunya adalah wajib, sebagai bentuk penghormatan dan baktinya. Sedangkan bagi sesama remaja, pemuda, tidak diperbolehkan mencium tangan. Apalagi lawan jenis (laki-laki dan wanita) sangat dilarang mencium tangan, apalagi berpelukan, kecuali suami istri. Allah SWT melarang laki-laki dan wanita bersentuhan kulit. Salaman itu termasuk sentuhan kulit yang membahayakan.
Selanjutnya, orang yang tidak boleh dicium tanganya adalah orang kaya atau pejabat. Syekh Zaenuddin an-Nawawi sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan, bahwa membungkukan badan, mencium tangan atau kaki-kaki orang kaya, hukumnya makruh. Bahkan, bisa jadi haram hukumnya. Dalam sebuah keterangan makolah dijelaskan:’’ barang siapa merendahkan diri dari orang kaya, maka akan hilang dua pertiga agamanya”. Keterangan ini mengisaratkan bahwa sungkan, takut, serta hormat kepada orang kaya dan pejabat tinggi itu tidak boleh. Anehnya, justru banyak sekali orang-orang yang menghormati dan memulyakan orang-orang kaya dan pejabat.
Adapaun orang-orang yang boleh, bahkan sunnah dicium tanganya adalah para ulama. Ulama itu artinya orang-orang yang berilmu dan beramal, serta memiliki khosyah (rasa takut) kepada Allah SWT. Secara tegas, Allah SWT mengatakan:’’ Ulama itu pewaris para Nabi’’. Sementara dalam keterangan ayat lain, Allah SWT menjelaskan:’’ sesungguhnya orang-orang yang memiliki rasa takut kepada Allah SWT adalah para ulama (QS Fathir (35:28).
Seorang tabiin suatu ketika melihat Anas Ibn Malik sahabat Rosulullah SAW. Buru-buru Said mendekati dan mencium tangan Ana Ibn Malik ra. Kemudian Said mengatakan:’’ saya tahu, tangan beliau pernah bersentuhan dengan tangan Rosulullah SAW’’. Beruntung sekali orang yang pernah mencium tangan seorang ulama yang memiliki khosyah kepada Allah SWT.
Jadi, mencium tangan orang-orang sholih, berilmu, disunnahkan. Seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Ubaidah ra suatu ketika mencium tangan sahabat Umar Ibn Al-Khattab ra. Begitu juga dengan sahabat Ka’ab ra yang pernah mencium tangan dan kaki Rasulullah SAW. Seorang sahabat Nabi SAW, sekaligus penulis ayat-ayat Al-Quran, yaitu Zaid bin Tsabits pernah mencium tangan Ibnu Abas ra, karena Ibn Abbas termasuk ahlu bait (Kitab Bughyah, hlm 296).
Banyaknya keterangan hadis yang mengkisahkan sahabat, tabiin, ulama mencium tangan merupakan sebuah isarat bahwa hukum mencium tangan seorang ulama adalah sunnah. Sebab, apa yang dilakukan sahabat merupakan ajaran yang harus dilestarikan.
Orang Arab Saudi semuanya mengenakan jubbah panjang, tetapi tidak semua yang memakai jubbah panjang itu ulama. Maling saja di Arab Saudi memakai jubbah dan jengotnya panjang. Seringkali, orang terkesima dengan jubbah putih dan jenggotnya, sehingga ketika bertemu dan bersalaman berusaha menciumnya. Abad 16-20, hampir semua Imam dan ulama di Masjidilharam berdarah asing, termasuk keturunan nusantara. Hampir semua ulama nusantara pernah mengajar dan menjadi Imam Masjidilharam ( Lihat: Warisan Intelektual Nusantara di Ranah Haram; Abdul Adzim Irsad (2013). Mereka juga mengajarkan bagaimana cara bersalaman dan mencium tangan guru-gurunya, karena itu bagian dari ajaran ulama Ahlussunah Waljamaah.
Thursday, March 13, 2014
Konspirasi JF. Kennedy, Sukarno, Suharto, CIA dan Freeport
Bongkar Konspirasi Hebat:
Antara John F. Kennedy, Sukarno, Suharto dan Freeport
Pada sekitar tahun 1961, Presiden
Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak dan tambang-tambang
asing di Indonesia. Minimal sebanyak 60 persen dari keuntungan
perusahaan minyak asing harus menjadi jatah rakyat Indonesia. Namun
kebanyakan dari mereka, gerah dengan peraturan itu. Akibatnya, skenario
jahat para elite dunia akhirnya mulai direncanakan terhadap kekayaan
alam negeri tercinta, Indonesia.
Pada akhir tahun 1996 lalu, sebuah artikel yang ditulis oleh seorang penulis Lisa Pease yang dimuat dalam majalah Probe. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC. Judul tulisan tersebut adalah “JFK, Indonesia, CIA and Freeport“.
Walau dominasi Freeport atas “gunung
emas” di Papua telah dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di negeri
ini ternyata sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.
Dalam tulisannya, Lisa Pease mendapatkan temuan jika Freeport Sulphur,
demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping
ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun pada tahun 1959.
Saat
itu di Kuba, Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator
Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu
dinasionalisasikan.
Freeport Sulphur yang baru saja
hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya dari Kuba,
akhirnya terkena imbasnya. Maka terjadi ketegangan di Kuba.
Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Fidel Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.
Ditengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.
Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita
jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg
(Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jacques Dozy di tahun 1936.
Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah
dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja
di perpustakaan Belanda.
Namun, Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan kemudian membacanya.
Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita
kepada pemimpin Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang
keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan
alamnya yang begitu melimpah.
Tidak seperti wilayah lainnya diseluruh
dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada disekujur tubuh Gunung
Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di
dalam tanah.
Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias
dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran
cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka
perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan
yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson
melakukan survey dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah
sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku
berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai
harta karun terbesar, yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi
karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah.
Dari udara, tanah disekujur gunung
tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan
temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih
tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak!!
Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama GOLD MOUNTAIN,
bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson
memperkirakan jika Freeport akan untung besar, hanya dalam waktu tiga
tahun pasti sudah kembali modal. Pimpinan Freeport Sulphur ini pun
bergerak dengan cepat.
Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur
mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di
Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah
mengancam.
Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy (JFK) agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno.
Kennedy mengancam Belanda, akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat.
Belanda yang saat itu memerlukan bantuan
dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran
akibat Perang Dunia II, terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga.
Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai emas yang ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pemimpin Freeport jelas marah besar.
Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan
paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan
melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!
Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963.
Banyak kalangan menyatakan penembakan
Kennedy merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum
Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik
di Amerika.
Presiden Johnson yang menggantikan
Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya.
Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali
kepada militernya.
Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport.
Tokoh yang satu ini memang punya
kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long
juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California).
Soekarno pada tahun 1961 memutuskan
kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya
diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari
tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh
kebijakan Soekarno ini.
Augustus C.Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya.
Mungkin suatu kebetulan yang ajaib, Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian Hospital di New York, dimana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962).
Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Lisa Pease dengan cermat menelusuri
riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun
sementara sebagai pemimpin Texaco.
Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu, yang di Indonesia dikenal sebagai “masa yang paling krusial”.
Pease mendapatkan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank,
salah satu perusahaan Rockefeller. Pada bulan Agustus 1965, Long
diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelejen kepresidenan AS untuk
masalah luar negeri.
Badan ini memiliki pengaruh sangat besar
untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long
diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang
dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang
disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Sedangkan menurut pengamat sejarawan dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi Marwan Adam,
Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak
bangsa sendiri.
Asvi juga menuturkan, sebuah arsip di
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember
1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang
membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.
Soeharto yang pro-pemodal asing, datang
ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat, bahwa
dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan
asing itu.
“Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu,” kata Asvi.
Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari
Amerika Serikat menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya
berinvestasi di Papua. Namun Soekarno menolak secara halus.
“Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya,” ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno.
Soekarno berencana modal asing baru masuk
Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola.
Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia
masih memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Oleh
karenanya sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar
ke negara-negara lain.
Soekarno boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara.
Namun Asvi menjelaskan bahwa usaha pihak luar yang bernafsu ingin mendongkel kekuasaan Soekarno, tidak kalah kuat!
Setahun sebelumnya yaitu pada tahun 1964,
seorang peneliti diberi akses untuk membuka dokumen penting Departemen
Luar Negeri Pakistan dan menemukan surat dari duta besar Pakistan di
Eropa.
Dalam surat per Desember 1964, diplomat
itu menyampaikan informasi rahasia dari intel Belanda yang mengatakan
bahwa dalam waktu dekat, Indonesia akan beralih ke Barat. Lisa
menjelaskan maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di
Indonesia oleh partai komunis.
Sebab itu, angkatan darat memiliki alasan
kuat untuk menamatkan Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah itu
membuat Soekarno menjadi tahanan.
Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur sudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua.
Salah satu bukti sebuah telegram rahasia Cinpac 342,
21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada pertemuan para
penglima tinggi dan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana
darurat itu, bila Presiden Soekarno meninggal.
Namun kelompok yang
dipimpin Jenderal Soeharto tersebut ternyata bergerak lebih jauh dari
rencana itu. Jenderal Suharto justru mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.
Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang benar adanya.
Maka dibuatlah PKI sebagai kambing hitam sebagai tersangka pembunuhan 7 Dewan Jenderal yang pro Sukarno melalui Gerakan 30 September
yang didalangi oleh PKI, atau dikenal oleh pro-Suharto sebagai
“G-30/S-PKI” dan disebut juga sebagai Gestapu (Gerakan Tiga Puluh)
September oleh pro-Sukarno.
Setelah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan negara Indonesia berubah total.
Terjadi kudeta yang telah direncanakan
dengan “memelintir dan mengubah” isi Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) 1966, yang pada akhirnya isi dari surat perintah itu
disalahartikan.
Dalam Supersemar, Sukarno sebenarnya
hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan negara yang kacau-balau
kepada Suharto, bukan justru menjadikannya menjadi seorang presiden.
Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport
yang diterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease
menulis bahwa akhirnya pada awal November 1965, satu bulan setelah
tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno (yang dikenal juga
sebagai 7 dewan Jenderal yang dibunuh PKI), Forbes Wilson mendapat
telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?”
Forbes Wilson jelas kaget. Dengan jawaban
dan sikap tegas Sukarno yang juga sudah tersebar di dalam dunia para
elite-elite dan kartel-kartel pertambangan dan minyak dunia, Wilson
tidak percaya mendengar pertanyaan itu.
Dia berpikir Freeport masih akan sulit
mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa. Ketika itu Soekarno
masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana
Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para
petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting
di dalam lingkaran elit Indonesia.
Oleh karenanya, usaha Freeport untuk
masuk ke Indonesia akan semakin mudah. Beberapa elit Indonesia yang
dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan
Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo .
Namun pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport, juga dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet Bratanata.
Selain itu juga ada seorang bisnisman sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan asing yaitu Julius Tahija.
Julius Tahija berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport.
Dalam bisnis ia menjadi pelopor dalam
keterlibatan pengusaha lokal dalam perusahaan multinasional lainnya,
antara lain terlibat dalam PT Faroka, PT Procter & Gambler
(Inggris), PT Filma, PT Samudera Indonesia, Bank Niaga, termasuk
Freeport Indonesia.
Sedangkan Ibnu Soetowo sendiri sangat
berpengaruh di dalam angkatan darat, karena dialah yang menutup seluruh
anggaran operasional mereka.
Sebagai bukti adalah dilakukannya
pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967 yaitu UU
no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di
Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller seorang Bilderberger dan
disahkan tahun 1967.
Maka, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Bukan saja menjadi lembek, bahkan sejak
detik itu, akhirnya Indonesia menjadi negara yang sangat tergantung
terhadap Amerika, hingga kini, dan mungkin untuk selamanya.
Bahkan beberapa bulan sebelumnya yaitu
pada 28 Februari 1967 secara resmi pabrik BATA yang terletak di Ibukota
Indonesia (Kalibata) juga diserahkan kembali oleh Pemerintah Indonesia
kepada pemiliknya. Penandatanganan perjanjian pengembalian pabrik Bata
dilakukan pada bulan sesudahnya, yaitu tanggal 3 Maret 1967.
Keterangan gambar diatas:
Penandatanganan perjanjian pengembalian kembali pabrik Bata pada
tanggal 3 Maret 1967. Sumber foto: The Netherlands National News Agency
(ANP) (klik untuk memperbesar)
Padahal pada masa sebelumnya sejak tahun
1965 pabrik Bata ini telah dikuasai pemerintah. Jadi untuk apa dilakukan
pengembalian kembali? Dibayar berapa hak untuk mendapatkan atau
memiliki pabrik Bata itu kembali? Kemana uang itu? Jika saja ini terjadi
pada masa sekarang, pasti sudah heboh akibat pemberitaan tentang hal
ini.
Namun ini baru langkah-langkah awal dan
masih merupakan sesuatu yang kecil dari sepak terjang Suharto yang masih
akan menguasai Indonesia untuk puluhan tahun mendatang yang kini
diusulkan oleh segelintir orang agar ia mendapatkan gelar sebagai
Pahlawan Nasional. Penandatangan penyerahan kembali pabrik Bata
dilakukan oleh Drs. Barli Halim, pihak Indonesia dan Mr. Bata ESG Bach.
Masih ditahun yang sama 1967, perjanjian
pertama antara Indonesia dan Freeport untuk mengeksploitasi tambang di
Irian Jaya juga dilakukan, tepatnya pada tanggal 7 April perjanjian itu
ditandatangani.
Keterangan gambar diatas: Penandatanganan Kontrak Freeport di Jakarta Indonesia, 1967. Sumber foto: The Netherlands National News Agency (ANP) (klik untuk memperbesar)
Akhirnya, perusahaan Freeport Sulphur of Delaware,
AS pada Jumat 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan
pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport
diperkirakan menginvestasikan 75 hingga 100 juta dolar AS.
Penandatanganan bertempat di Departemen
Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri
Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills
(Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport
Indonesia), anak perusahan yang dibuat untuk kepentingan ini.
Penandatanganan
kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di
Papua Barat tersebut disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat
untuk Indonesia, Marshall Green.
Freeport mendapat hak konsensi lahan
penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun terhitung
sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Pada Desember 1972
pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali dilakukan dengan tujuan
Jepang.
Dari penandatanganan
kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar penyusunan Undang-Undang
Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967.
Inilah kali pertama kontrak pertambangan
yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan
perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto
berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia.
Setelah itu juga ikut ditandatangani kontrak eksplorasi nikel di pulau Irian Barat dan di area Waigee Sentani oleh PT Pacific Nickel Indonesia dan Kementerian Pertambangan Republik Indonesia.
Keterangan gambar diatas: Penandatanganan Kontrak Nikel Irian oleh Pacific Nickel Indonesia, 19 Februari 1969. Sumber foto: The Netherlands National News Agency (ANP) (klik untuk memperbesar)
Perjanjian dilakukan oleh E. OF Veelen (Koninklijke Hoogovens),
Soemantri Brodjonegoro (yaitu Menteri Pertambangan RI selanjutnya yang
menggantikan Ir. Slamet Bratanata) dan RD Ryan (U.S. Steel).
Pacific Nickel Indonesia adalah perusahaan yang didirikan oleh Dutch Koninklijke Hoogovens, Wm. H. MÃœLLER, US Steel, Lawsont Mining dan Sherritt Gordon Mines Ltd.
Namun menurut penulis, perjanjian-perjanjian pertambangan di Indonesia banyak keganjilan.
Contohnya seperti tiga perjanjian diatas
saja dulu dari puluhan atau mungkin ratusan perjanjian dibidang
pertambangan. Terlihat dari ketiga perjanjian diatas sangat meragukan
kebenarannya.
Pertama, perjanjian pengembalian pabrik
Bata, mengapa dikembalikan? apakah rakyat Indonesia tak bisa membuat
seperangkat sendal atau sepatu? sangat jelas ada konspirasi busuk yang
telah dimainkan disini.
Kedua, perjanjian penambangan tembaga oleh Freeport, apakah mereka benar-benar menambang tembaga?
Saya sangat yakin mereka menambang emas, namun diperjanjiannya tertulis menambang tembaga.
Tapi karena pada masa itu tak ada media,
bagaimana jika semua ahli geologi Indonesia dan para pejabat yang
terkait di dalamnya diberi setumpuk uang? Walau tak selalu, tapi didalam
pertambangan tembaga kadang memang ada unsur emasnya.
Perjanjian ketiga adalah perjanjian
penambangan nikel oleh Pasific Nickel, untuk kedua kalinya, apakah
mereka benar-benar menambang nikel?
Saya sangat yakin mereka menambang perak, namun diperjanjiannya tertulis menambang nikel.
Begitulah seterusnya, semua
perjanjian-perjanjian pengeksplotasian tambang-tambang di bumi Indonesia
dilakukan secara tak wajar, tak adil dan terus-menerus serta
perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku selama puluhan bahkan
ratusan tahun ke depan.
Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan,
kekayaan Indonesia pun terjual, dirampok, dibawa kabur ke negara-negara
pro-zionis, itupun tanpa menyejahterakan rakyat Indonesia selama puluhan
tahun lamanya.
“Saya melihat seperti balas budi
Indonesia ke Amerika Serikat karena telah membantu menghancurkan
komunis, yang konon bantuannya itu dengan senjata,” tutur pengamat
sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Asvi Marwan
Adam.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport mengandeng Bechtel,
perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John
McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA
Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun.
Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg”
setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu
memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya
menempati urutan ketiga terbesar didunia.
Maley menulis, data tahun 1995
menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar
40,3 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan untuk 45 tahun ke
depan.
Ironisnya, Maley dengan bangga juga
menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia
yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia!!
Istilah
Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya
EMASPURA. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga
mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di
permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru
menggalinya dengan sangat mudah.
Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Tambang Grasberg (Grasberg Mine)
atau Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut
Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut
emas dan tembaga itu ke Amerika.
Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang!!
Seharusnya patut dipertanyakan, mengapa kota itu bernama Tembagapura?
Apakah pada awalnya pihak Indonesia sudah
“dibohongi” tentang isi perjanjian penambangan dan hanya ditemukan
untuk mengeksploitasi tembaga saja?
Jika iya, perjanjian penambangan harus
direvisi ulang karena mengingat perjanjian pertambangan biasanya berlaku
untuk puluhan tahun kedepan!
Menurut kesaksian seorang reporter CNN
yang diizinkan meliput areal tambang emas Freeport dari udara, dengan
helikopter ia meliput gunung emas tersebut yang ditahun 1990-an sudah
berubah menjadi lembah yang dalam.
Semua emas, perak, dan tembaga yang ada
digunung tersebut telah dibawa kabur ke Amerika, meninggalkan limbah
beracun yang mencemari sungai-sungai dan tanah-tanah orang Papua hingga
ratusan tahun ke depan.
Dan menurut penelitian Greenpeace,
Operasi Freeport McMoran di Papua telah membuang lebih dari 200.000 ton
tailing perharinya ke sungai Otomina dan Aikwa, yang kemudian mengalir
ke Laut Arafura.
Dan hingga 2006 lalu saja diperkirakan sudah membuang hingga tiga miliar ton tailing yang sebagian besar berakhir di lautan.
Sedimentasi laut dari limbah pertambangan hanyalah satu dari berbagai ancaman yang merusak masa depan lautan kita. (download PDF: laut Indonesia dalam krisis)
Keterangan 2 foto diatas: tampak semakin berkurangnya salju atau es di Puncak Jaya Papua. Foto kiri Puncak Jaya ditahun 1936, dan foto kanan Puncak Jaya ditahun 1972. (lihat animasi format GIF)
Freeport juga merupakan ladang uang haram bagi para pejabat negeri ini di era Suharto, dari sipil hingga militer.
Sejak
1967 sampai sekarang, tambang emas terbesar di dunia itu menjadi
tambang pribadi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya.
Freeport McMoran sendiri telah
menganggarkan dana untuk itu yang walau jumlahnya sangat besar bagi
kita, namun bagi mereka terbilang kecil karena jumlah laba dari tambang
itu memang sangat dahsyat.
Jika Indonesia mau mandiri, sektor inilah
yang harus dibereskan terlebih dahulu. Itu pula yang menjadi salah satu
sebab, siapapun yang akan menjadi presiden Indonesia kedepannya, tak
akan pernah mampu untuk mengubah perjanjian ini dan keadaan ini.
Karena,
jika presiden Indonesia siapapun dia, mulai berani mengutak-atik
tambang-tambang para elite dunia, maka mereka akan menggunakan seluruh
kekuatan politik dengan media dan militernya yang sangat kuatnya di
dunia, dengan cara menggoyang kekuasaan presiden Indonesia.
Kerusuhan, adu domba, agen rahasia,
mata-mata, akan disebar diseluruh pelosok negeri agar rakyat Indonesia
merasa tak aman, tak puas, lalu akan meruntuhkan kepemimpinan
presidennya siapapun dia.
Inilah salah satu “warisan” orde baru, new order, new world order di era kepemimpinan rezim dan diktator Suharto selama lebih dari tiga dekade.
Suharto, presiden Indonesia selama 32 tahun yang selalu tersenyum dengan julukannya “the smilling General”, presiden satu-satunya di dunia yang sudi melantik dirinya sendiri menjadi Jenderal bintang lima
Namun
masih banyak yang ingin menjadikannya pahlawan nasional, karena telah
sukses menjual kekayaan alam dari dasar laut hingga puncak gunung, dari
Sabang hingga Merauke, yaitu negeri tercinta ini, Indonesia yang besar,
Indonesia Raya. Dan ini bukan lagi kosnspirasi teori, tapi semua ini
adalah konspirasi fakta.
Indonesia, negeri yang seharusnya
memiliki masyarakat yang makmur sebagai Mercu Suar Dunia, negeri yang
seharusnya mumpuni dan berguna untuk membantu puluhan negara-negara
miskin yang rakyatnya masih banyak dihantui kelaparan berkepanjangan di
banyak belahan dunia, akibat penguasa selama 32 tahun itu, kini justru
jadi bangsa pengemis. (berbagai sumber)
Mengapa Osama
bin Laden yang dibilang telah tewas tapi Amerika dan Inggris tetap
tidak mau meninggalkan Afganistan begitu saja?? Apa pula yang dicari
Amerika dan Inggris di Afghanistan???? Jackpot!!!
AS menemukan tambang-tambang dengan keuntungan trilyunan dollar yang akan dikuasainya!
Sedangkan
Inggris akan menguasai heroin di Afghanistan dengan waktu tanpa batas
alias sepanjang masa!! Untuk kepentingan obat-obatan atau justru untuk
perdagangan kartel narkoba seantero dunia??
Dear Blog readers,
In this mid-weekend’s blog edition, we want to discuss with you the Q3-2013 earnings reports of Freeport McMoRan (Nyse: FCX), reported on Tuesday October 22nd before the bell, and the one of Caterpillar (Nyse: CAT), reported this morning October 23rd before the NYSE opening bell.
In this mid-weekend’s blog edition, we want to discuss with you the Q3-2013 earnings reports of Freeport McMoRan (Nyse: FCX), reported on Tuesday October 22nd before the bell, and the one of Caterpillar (Nyse: CAT), reported this morning October 23rd before the NYSE opening bell.
About Freeport McMoRan:
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. engages in the exploration of mineral resource properties. The company primarily explores for copper, gold, molybdenum, cobalt, silver, and other metals, such as rhenium and magnetite. It operates in five segments: North America Copper Mines, South America Mining, Indonesia Mining, Africa Mining, and Molybdenum Operations.
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. engages in the exploration of mineral resource properties. The company primarily explores for copper, gold, molybdenum, cobalt, silver, and other metals, such as rhenium and magnetite. It operates in five segments: North America Copper Mines, South America Mining, Indonesia Mining, Africa Mining, and Molybdenum Operations.
It is worth mentioning that the company, is the biggest operator in the Indonesian “Grasberg Mine” which is the largest gold mine and the third largest copper mine in the world.
In 2013, the company acquires Plains
Exploration & Production Company and McMoRan Exploration Co. –
adding a high quality portfolio of oil and gas assets to its global
mining business.
Highlights: -Freeport-McMoRan Copper & Gold Q3-2013 results-
- Revenues increased 40 percent to US$ 6.2 billion in Q3 2013 compared to $4.4 billion in Q3 2012.
- Operating cash flow jumped 257 percent from US$ 526 million in Q3-2012 to $1.9 billion during last quarter.
- Consolidated copper volumes increased 13 percent to 1,041 mm lbs in Q3 2013 compared to 922 mm lbs in Q3 2012.
- Consolidated gold volumes increased 51 percent from 202k oz in the third quarter 2012 to 305k oz in the same period in 2013. (Source PDF)
Subscribe to:
Posts (Atom)