BULAN SUCI RAMADHAN
1. Dalil Puasa Ramadhan
Puasa bulan suci Ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang mukallaf (dewasa/baligh). Perintah pengamalannya (kefardhuannya) turun pada tanggal 10 Sya’ban 18 bulan setelah Nabi Saw. hijrah ke Madinah. Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar hukum puasa adalah firman Allah Swt. QS. al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan (pula) kepada orang-orang sebelum kalian, semoga kalian bertakwa.”
Hadits Nabi Muhammad Saw.:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَدَةٍ أَنْ لَاإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ االزَّكَاةِ، وَ حِجِّ الْبَيْتِ، وَصِيَامِ رَمَضَا نَ
“Islam didirikan atas lima dasar; Syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, naik haji dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar Ra.).
Dan adanya ijma’ ulama, yaitu kesepakatan para imam madzhab dimana para imam telah sepakat mengenai kefardhuannya dan tidak ada seorang Muslim pun yang mengingkarinya.
2. Penetapan Awal Bulan Ramadhan
صُوْمُوْأ لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْلِمُوْا ِعدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal (bulan tanggal satu) dan berbukalah karena melihatnya. Dan jikalau tidak tampak lantaran langit tertutup awan maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban genap 30 hari.” (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah Ra.).
Dalam hadits ini jelas dalam memberikan gambaran tentang cara menentukan awal bulan Ramadhan dan akhirnya. Yaitu:
a. Ramadhan ditentukan awalnya dengan Ru’yah (melihat bulan tanggal satu).
b. Jikalau hilal tidak tampak diRu’yah karena langit berawan, maka awal Ramadhan ditentukan dengan Ikmal, yaitu bulan Sya’ban di hitung sampai 30 hari kemudian hari berikutnya itulah tanggal satu Ramadhan.
Menurut rumusan hadits di atas, maka dasar satu-satunya untuk menentukan awal Ramadhan adalah Ru’yah. Sedang Ikmal hanya merupakan jalan keluar jika Ru’yah tidak dapat dilakukan lantaran langit mendung.
Ru’yah dilakukan dengan melihat langsung, sedang Ikmal dapat dilakukan dengan Hisab. Oleh karena itu, maka Hisab hanya berperan sebagai petunjuk saja, tidak dapat dipakai sebagai dasar penentuan awal bulan. Walaupun misalnya pada hari Ahad sudah mulai masuk Ramadhan menurut Hisab, tetapi jika ternyata hilal belum dapat diRu’yah maka Hisab tersebut tidak dapat diikuti.
Demikianlah empat madzhab sependapat bahwa dasar penentuan awal bulan Ramadhan adalah Ru’yah. Tentang kedudukan hasil hisab adalah sebagai berikut:
a) Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hanbali berpendapat bahwa hasil hisab tidak mengikat sama sekali, baik bagi ahli hisab yang menghisab itu sendiri maupun bagi orang yang mempercayainya. Hal demikian karena adanya ketetapan agama yang telah jelas dan tidak boleh dilanggar, bahwa dasar penentuan awal bulan adalah Ru’yah atau Ikmal.
b) Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa hasil hisab mengikat pada ahli hisab yang bersangkutan dan orang-orang yang membenarkan hasil hisab tersebut, sedangkan kaum Muslimin pada umumnya tidak terikat dengan hasil tersebut. Jadi yang wajib berpuasa berdasarkan hisab tersebut adalah hanya orang yang menghisab itu sendiri dan orang-orang yang membenarkannya. Orang selain mereka tidak.
Masalah Ru’yah adalah bukan masalah khilafiyah, tetapi hal itu merupakan ketentuan agama yang jelas tegas (sharih) dan karenanya harus kita terima dan kita ikuti secara mutlak. Tidak perlu dibanding-bandingkan atau di timbang-timbang dengan hisab.
Ada sekelompok orang yang tidak mau menerima Ru’yah tersebut, dan sebaliknya mempertahankan peranan hisab secara mutlak. Mereka beralasan bahwa; Ru’yah itu cocok pada zaman dahulu dimana belum banyak ahli hisab (termasuk Nabi sendiri), Ru’yah itu menyulitkan sedangkan agama itu menghendaki kemudahan, dan ada juga yang menta’wil kata Ru’yah dengan makna pena (berarti hisab), dan masih banyak lagi alasan yang mereka kemukakan yang berdasar buah rasio semata.
Kalau memang benar pendapat mereka ini, berarti benar pula pemahaman dan penghayatan agama yang hanya dengan rasio. Bila demikian, maka rusaklah Islam. Dasar pokok yang tadinya al-Quran dan as-Sunnah Nabi telah dirubah menjadi berdasarkan akal rasio. Na’udzu billah.
Kalau mereka menganggap kita yang berdasar petunjuk Nabi ini Bid’ah, lalu mereka yang beragama berdasar akar rasio itu apa namanya? Mungkinkah mereka telah membuat syari’at baru atau memperbaharui (mentajdid) Syari’at Islam. Allah tidak mengangkat Nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw. Sejuta alasan dapat mereka kemukakan. Dan sejuta alasan juga dapat kita sampaikan untuk menolaknya. Yang jelas Allah Swt. telah berfirman dalam QS. al-Ahzab ayat 36:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
3. Niat Puasa
Niat melakukan puasa adalah salah satu rukun puasa. Niat puasa wajib dilaksanakan di malam hari sebelum terbit fajar. Sabda Nabi Muhammad Saw.:
مَنْ لَمْ يُبَيَّت الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa tidak melakukan niat di malam hari, sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dll. dari Hafshah Ummil Mu’minin Ra.)
Hadits tersebut jelas menyatakan bahwa niat puasa harus dilakukan di malam hari. Kewajiban melakukannya di malam hari ini adalah khusus untuk puasa wajib. Sedangkan untuk puasa sunnah berniat disiang hari diperbolehkan.
Pendapat Imam Maliki dan sahabat-sahabatnya memperbolehkan niat puasa sebulan Ramadhan dengan cukup sekali niat untuk semuanya. Sedangkan setiap malam disunnahkan untuk memperbaharuinya.
إِذَا نَوَى أَوَّالَ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صِيَامَ جَمِيْعِهِ كَفَاهُ وَلاَ يَحْتَاجُ لِنِيَةٍ لِكُلِّ يَوْمٍ، وَيُسْتَحَبُّ تَجْدِيْدُ هَا فَقَطْ
“Apabila niat berpuasa di malam pertama bulan Ramadhan untuk puasa 1 (satu) bulan, maka telah cukup. Setiap harinya tidak perlu lagi berniat sendiri. Hanya disunnahkan memperbaharuinya saja.”
Imam Syafi’i menyatakan sunnah melafalkan niat tersebut, agar dengan cara begitu hatinya tertuntun dan lebih dapat memusatkan perhatian pada niatnya itu.
وَيُسَنُّ أَنْ يَنْطِقَ بِلِسَانِهِ بِالنِّيَّةِ ِلأَنَّهُ عَوْنٌ لِلْقَلْبِ
“Sunnah lisannya melafalkan niat, karena hal itu dapat menolong niat dalam hatinya.”
Lafal niat puasa dapat berbentuk sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ شَهْرِ رَمَضَان هَذِهِ السَّنّةِ ِللهِ تَعَالَى
“Aku berniat puasa esok hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini, sebagai fardhu karena Allah Ta’ala.”
Apabila kita telah niat puasa sebulan pada malam pertama maka pada malam-malam berikutnya tidak perlu niat lagi. Bila pada malam berikutnya kita niat lagi hukumnya sunnah, tidak wajib.
4. Shalat Tarawih
Shalat Tarawih hukumnya Sunnah Muakkad dan dalam menunaikannya disunnahkan dengan berjamaah. Waktunya adalah setelah shalat Isya’ sampai terbit fajar. Dapat dilakukan sebelum shalat Witir. Bahkan menurut para ulama Malikiyyah melakukan Tarawih setelah Witir itu makruh.
a) Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Jumlah rakaat shalat Tarawih adalah 20. Hal ini berdasar apa yang dilakukan oleh sahabat Nabi Umar bin Khathab Ra. dan seluruh sahabat Nabi waktu itu. Mereka melakukan shalat Tarawih 20 rakaat disambung 3 rakaat witir. Jadi semuanya 23 rakaat. Disebutkan dalam suatu hadits:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِى زَمَانٍ عُمَرَبْنِ اْلحَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِثَلاَثٍ وَ عِسْرِيْنَ رَكَعَهً
“Orang-orang di zaman Umar bin Khathab Ra. melakukannya 23 rakaat.” (HR. Imam Malik).
Dalam riwayat lain disebutkan :
إِنَّهُمْ يَقُوْ مُوْ نَ عَلَى عَهْدٍ عُمَرَ بْنِ اْلحَطَّا بِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِى شَهْرِرَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكَعَةً
“Bahwa sesungguhnya para sahabat di masa Umar bin Khathab Ra. pada bulan Ramadhan melakukan (Tarawih) 20 rakaat.” (HR. al-Baihaqi).
Dalam hal ini kita memang harus mengikuti praktek yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khathab dan sahabat lainnya, keterangannya sebagai berikut:
1. Tidak ada hadits Nabi yang secara langsung dan jelas menerangkan berapa jumlah rakaat shalat Tarawih Nabi. Memang ada diketahui Nabi bersama para sahabat melakukan Tarawih di masjid 8 rakaat, kemudian mereka pulang dan pada penyempurnaan sendiri di rumah masing-masing, hingga komplek perumahan mereka gemuruh (dari suara orang shalat) bagaikan suara lebah. Kemudian sampai berapa rakaat mereka menyempurnakan itu, inilah masalahnya. Yang menegaskan jawabannya adalah Umar bin Khathab, yaitu 20 rakaat. Dan ternyata penegasan ini tidak diragukan oleh sahabat-sahabat yang lain. Mereka semua menerima bahkan juga melakukan Tarawih 20 rakaat.
2. Nabi sendiri memerintahkan agar kita mengikuti jejak Abu Bakar dan Umar bin Khathab, yaitu dalam hadits:
إِقْتَدُوْا بِالَّلذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ
“Ikutilah kalian sesudahku kepada dua orang; Abu Bakar dan Umar.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
b) Ada yang Salah Paham
Sekelompok orang yang salah paham menyatakan bahwa shalat Tarawih itu 8 rakaat, Witir 3 rakaat jumlah semua 11 rakaat. Kelompok kecil ini beralasan dengan hadits riwayat Aisyah sebagai berikut:
قَالَتْ : مَاكَانَ يَزِيْدُفىِ رَمَضَانَ وَلاَفىِ غَيْرِهِ عَلىَ إِحْدَى عَشْرَةَرَكْعَةً
Aisyah berkata: “Tidak pernah Nabi menambah hingga melebihi 11 rakaat, baik dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.”
Hadits ini memang menyatakan bahwa Nabi melakukan 11 rakaat, tidak pernah lebih dari itu. Shalat ini selalu Nabi lakukan dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Lalu shalat apakah ini? Apakah yang dimaksud di sini shalat Tarawih? Ini bukan shalat Tarawih. Sebab tidak ada shalat Tarawih yang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Awas jangan salah paham!
Lalu shalat apa? Ini adalah shalat Witir. Jumlah maksimal rakaat shalat Witir adalah 11 rakaat. Di dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan Witir paling banyak dapat dilakukan 11 rakaat. Oleh karena itu Imam Bukhari mencantumkan hadits tersebut dalam bab shalat Witir, bukan bab Tarawih.
Kesimpulannya, kelompok kecil tadi salah paham. Mereka menerapkan dalil tidak tepat. Dalil haditsnya shahih, bagus. Tetapi penerapannya tidak benar.
Memang tidak ada satupun ulama yang menyatakan bahwa shalat Tarawih itu 8 rakaat. Madzhab empat sepakat 20 rakaat, di seluruh dunia termasuk Makkah dan Madinah melaksanakan dengan 20 rakaat, dari dahulu sampai sekarang. Sedang yang melakukan 8 rakaat hanyalah kita dapati di beberapa mushalla yang ternyata jauh dari ulama. Kami menghimbau marilah kita bersama-sama mengkaji al-Quran dan as-Sunnah sekali lagi.
c) Pelaksanaan Shalat Tarawih
Shalat Tarawih dilakukan sekali salam setiap dua rakaat. Jadi untuk 20 rakaat itu dilakukan 10 salam. Hal ini berdasarkan hadits:
صَلاَةُ الَّليْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat sunnah di malam hari adalah dua-dua.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Umar Ra.).
Apabila dilakukan dengan sekali salam dalam setiap 4 rakaat, maka:
1. Ulama Hanafiyah menyatakan hanya dihitung dengan dua rakaat saja untuk 4 rakaat yang dilakukan dengan sekali salam itu.
2. Ulama Hambaliyah menyatakan Tarawih tetap sah tetapi makruh.
3. Ulama Malikiyah menyatakan sah tetapi makruh.
4. Ulama Syafi’iyah menyatakan tidak sah, Tarawih harus dilakukan dengan sekali salam setiap dua rakaat.
Oleh karena itu demi menjaga persatuan umat hendaklah kita melakukan Tarawih dua-dua. Sebab cara inilah yang jelas disepakati oleh semua ulama serta dilakukan sejak dahulu sampai sekarang. (Diedit ulang dari tulisan KH. Ali Ma’shum Krapyak dalam Dirasah Diniyah “BANGKIT”).
http:// www.muslimedianews.com/ 2014/06/ kh-ali-mashum-krapyak-mengu las-seputar.html
http:// pustakamuhibbin.blogspot.co m/2014/06/ bulan-suci-ramadhan.html
Sya'roni As-Samfuriy, Cikarang 19 Juni 2014
1. Dalil Puasa Ramadhan
Puasa bulan suci Ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang mukallaf (dewasa/baligh). Perintah pengamalannya (kefardhuannya) turun pada tanggal 10 Sya’ban 18 bulan setelah Nabi Saw. hijrah ke Madinah. Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar hukum puasa adalah firman Allah Swt. QS. al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan (pula) kepada orang-orang sebelum kalian, semoga kalian bertakwa.”
Hadits Nabi Muhammad Saw.:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَدَةٍ أَنْ لَاإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ االزَّكَاةِ، وَ حِجِّ الْبَيْتِ، وَصِيَامِ رَمَضَا نَ
“Islam didirikan atas lima dasar; Syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, naik haji dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar Ra.).
Dan adanya ijma’ ulama, yaitu kesepakatan para imam madzhab dimana para imam telah sepakat mengenai kefardhuannya dan tidak ada seorang Muslim pun yang mengingkarinya.
2. Penetapan Awal Bulan Ramadhan
صُوْمُوْأ لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْلِمُوْا ِعدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal (bulan tanggal satu) dan berbukalah karena melihatnya. Dan jikalau tidak tampak lantaran langit tertutup awan maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban genap 30 hari.” (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah Ra.).
Dalam hadits ini jelas dalam memberikan gambaran tentang cara menentukan awal bulan Ramadhan dan akhirnya. Yaitu:
a. Ramadhan ditentukan awalnya dengan Ru’yah (melihat bulan tanggal satu).
b. Jikalau hilal tidak tampak diRu’yah karena langit berawan, maka awal Ramadhan ditentukan dengan Ikmal, yaitu bulan Sya’ban di hitung sampai 30 hari kemudian hari berikutnya itulah tanggal satu Ramadhan.
Menurut rumusan hadits di atas, maka dasar satu-satunya untuk menentukan awal Ramadhan adalah Ru’yah. Sedang Ikmal hanya merupakan jalan keluar jika Ru’yah tidak dapat dilakukan lantaran langit mendung.
Ru’yah dilakukan dengan melihat langsung, sedang Ikmal dapat dilakukan dengan Hisab. Oleh karena itu, maka Hisab hanya berperan sebagai petunjuk saja, tidak dapat dipakai sebagai dasar penentuan awal bulan. Walaupun misalnya pada hari Ahad sudah mulai masuk Ramadhan menurut Hisab, tetapi jika ternyata hilal belum dapat diRu’yah maka Hisab tersebut tidak dapat diikuti.
Demikianlah empat madzhab sependapat bahwa dasar penentuan awal bulan Ramadhan adalah Ru’yah. Tentang kedudukan hasil hisab adalah sebagai berikut:
a) Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hanbali berpendapat bahwa hasil hisab tidak mengikat sama sekali, baik bagi ahli hisab yang menghisab itu sendiri maupun bagi orang yang mempercayainya. Hal demikian karena adanya ketetapan agama yang telah jelas dan tidak boleh dilanggar, bahwa dasar penentuan awal bulan adalah Ru’yah atau Ikmal.
b) Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa hasil hisab mengikat pada ahli hisab yang bersangkutan dan orang-orang yang membenarkan hasil hisab tersebut, sedangkan kaum Muslimin pada umumnya tidak terikat dengan hasil tersebut. Jadi yang wajib berpuasa berdasarkan hisab tersebut adalah hanya orang yang menghisab itu sendiri dan orang-orang yang membenarkannya. Orang selain mereka tidak.
Masalah Ru’yah adalah bukan masalah khilafiyah, tetapi hal itu merupakan ketentuan agama yang jelas tegas (sharih) dan karenanya harus kita terima dan kita ikuti secara mutlak. Tidak perlu dibanding-bandingkan atau di timbang-timbang dengan hisab.
Ada sekelompok orang yang tidak mau menerima Ru’yah tersebut, dan sebaliknya mempertahankan peranan hisab secara mutlak. Mereka beralasan bahwa; Ru’yah itu cocok pada zaman dahulu dimana belum banyak ahli hisab (termasuk Nabi sendiri), Ru’yah itu menyulitkan sedangkan agama itu menghendaki kemudahan, dan ada juga yang menta’wil kata Ru’yah dengan makna pena (berarti hisab), dan masih banyak lagi alasan yang mereka kemukakan yang berdasar buah rasio semata.
Kalau memang benar pendapat mereka ini, berarti benar pula pemahaman dan penghayatan agama yang hanya dengan rasio. Bila demikian, maka rusaklah Islam. Dasar pokok yang tadinya al-Quran dan as-Sunnah Nabi telah dirubah menjadi berdasarkan akal rasio. Na’udzu billah.
Kalau mereka menganggap kita yang berdasar petunjuk Nabi ini Bid’ah, lalu mereka yang beragama berdasar akar rasio itu apa namanya? Mungkinkah mereka telah membuat syari’at baru atau memperbaharui (mentajdid) Syari’at Islam. Allah tidak mengangkat Nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw. Sejuta alasan dapat mereka kemukakan. Dan sejuta alasan juga dapat kita sampaikan untuk menolaknya. Yang jelas Allah Swt. telah berfirman dalam QS. al-Ahzab ayat 36:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
3. Niat Puasa
Niat melakukan puasa adalah salah satu rukun puasa. Niat puasa wajib dilaksanakan di malam hari sebelum terbit fajar. Sabda Nabi Muhammad Saw.:
مَنْ لَمْ يُبَيَّت الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa tidak melakukan niat di malam hari, sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim dll. dari Hafshah Ummil Mu’minin Ra.)
Hadits tersebut jelas menyatakan bahwa niat puasa harus dilakukan di malam hari. Kewajiban melakukannya di malam hari ini adalah khusus untuk puasa wajib. Sedangkan untuk puasa sunnah berniat disiang hari diperbolehkan.
Pendapat Imam Maliki dan sahabat-sahabatnya memperbolehkan niat puasa sebulan Ramadhan dengan cukup sekali niat untuk semuanya. Sedangkan setiap malam disunnahkan untuk memperbaharuinya.
إِذَا نَوَى أَوَّالَ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صِيَامَ جَمِيْعِهِ كَفَاهُ وَلاَ يَحْتَاجُ لِنِيَةٍ لِكُلِّ يَوْمٍ، وَيُسْتَحَبُّ تَجْدِيْدُ هَا فَقَطْ
“Apabila niat berpuasa di malam pertama bulan Ramadhan untuk puasa 1 (satu) bulan, maka telah cukup. Setiap harinya tidak perlu lagi berniat sendiri. Hanya disunnahkan memperbaharuinya saja.”
Imam Syafi’i menyatakan sunnah melafalkan niat tersebut, agar dengan cara begitu hatinya tertuntun dan lebih dapat memusatkan perhatian pada niatnya itu.
وَيُسَنُّ أَنْ يَنْطِقَ بِلِسَانِهِ بِالنِّيَّةِ ِلأَنَّهُ عَوْنٌ لِلْقَلْبِ
“Sunnah lisannya melafalkan niat, karena hal itu dapat menolong niat dalam hatinya.”
Lafal niat puasa dapat berbentuk sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ شَهْرِ رَمَضَان هَذِهِ السَّنّةِ ِللهِ تَعَالَى
“Aku berniat puasa esok hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini, sebagai fardhu karena Allah Ta’ala.”
Apabila kita telah niat puasa sebulan pada malam pertama maka pada malam-malam berikutnya tidak perlu niat lagi. Bila pada malam berikutnya kita niat lagi hukumnya sunnah, tidak wajib.
4. Shalat Tarawih
Shalat Tarawih hukumnya Sunnah Muakkad dan dalam menunaikannya disunnahkan dengan berjamaah. Waktunya adalah setelah shalat Isya’ sampai terbit fajar. Dapat dilakukan sebelum shalat Witir. Bahkan menurut para ulama Malikiyyah melakukan Tarawih setelah Witir itu makruh.
a) Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Jumlah rakaat shalat Tarawih adalah 20. Hal ini berdasar apa yang dilakukan oleh sahabat Nabi Umar bin Khathab Ra. dan seluruh sahabat Nabi waktu itu. Mereka melakukan shalat Tarawih 20 rakaat disambung 3 rakaat witir. Jadi semuanya 23 rakaat. Disebutkan dalam suatu hadits:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِى زَمَانٍ عُمَرَبْنِ اْلحَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِثَلاَثٍ وَ عِسْرِيْنَ رَكَعَهً
“Orang-orang di zaman Umar bin Khathab Ra. melakukannya 23 rakaat.” (HR. Imam Malik).
Dalam riwayat lain disebutkan :
إِنَّهُمْ يَقُوْ مُوْ نَ عَلَى عَهْدٍ عُمَرَ بْنِ اْلحَطَّا بِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِى شَهْرِرَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكَعَةً
“Bahwa sesungguhnya para sahabat di masa Umar bin Khathab Ra. pada bulan Ramadhan melakukan (Tarawih) 20 rakaat.” (HR. al-Baihaqi).
Dalam hal ini kita memang harus mengikuti praktek yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khathab dan sahabat lainnya, keterangannya sebagai berikut:
1. Tidak ada hadits Nabi yang secara langsung dan jelas menerangkan berapa jumlah rakaat shalat Tarawih Nabi. Memang ada diketahui Nabi bersama para sahabat melakukan Tarawih di masjid 8 rakaat, kemudian mereka pulang dan pada penyempurnaan sendiri di rumah masing-masing, hingga komplek perumahan mereka gemuruh (dari suara orang shalat) bagaikan suara lebah. Kemudian sampai berapa rakaat mereka menyempurnakan itu, inilah masalahnya. Yang menegaskan jawabannya adalah Umar bin Khathab, yaitu 20 rakaat. Dan ternyata penegasan ini tidak diragukan oleh sahabat-sahabat yang lain. Mereka semua menerima bahkan juga melakukan Tarawih 20 rakaat.
2. Nabi sendiri memerintahkan agar kita mengikuti jejak Abu Bakar dan Umar bin Khathab, yaitu dalam hadits:
إِقْتَدُوْا بِالَّلذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ
“Ikutilah kalian sesudahku kepada dua orang; Abu Bakar dan Umar.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
b) Ada yang Salah Paham
Sekelompok orang yang salah paham menyatakan bahwa shalat Tarawih itu 8 rakaat, Witir 3 rakaat jumlah semua 11 rakaat. Kelompok kecil ini beralasan dengan hadits riwayat Aisyah sebagai berikut:
قَالَتْ : مَاكَانَ يَزِيْدُفىِ رَمَضَانَ وَلاَفىِ غَيْرِهِ عَلىَ إِحْدَى عَشْرَةَرَكْعَةً
Aisyah berkata: “Tidak pernah Nabi menambah hingga melebihi 11 rakaat, baik dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan.”
Hadits ini memang menyatakan bahwa Nabi melakukan 11 rakaat, tidak pernah lebih dari itu. Shalat ini selalu Nabi lakukan dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Lalu shalat apakah ini? Apakah yang dimaksud di sini shalat Tarawih? Ini bukan shalat Tarawih. Sebab tidak ada shalat Tarawih yang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Awas jangan salah paham!
Lalu shalat apa? Ini adalah shalat Witir. Jumlah maksimal rakaat shalat Witir adalah 11 rakaat. Di dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan Witir paling banyak dapat dilakukan 11 rakaat. Oleh karena itu Imam Bukhari mencantumkan hadits tersebut dalam bab shalat Witir, bukan bab Tarawih.
Kesimpulannya, kelompok kecil tadi salah paham. Mereka menerapkan dalil tidak tepat. Dalil haditsnya shahih, bagus. Tetapi penerapannya tidak benar.
Memang tidak ada satupun ulama yang menyatakan bahwa shalat Tarawih itu 8 rakaat. Madzhab empat sepakat 20 rakaat, di seluruh dunia termasuk Makkah dan Madinah melaksanakan dengan 20 rakaat, dari dahulu sampai sekarang. Sedang yang melakukan 8 rakaat hanyalah kita dapati di beberapa mushalla yang ternyata jauh dari ulama. Kami menghimbau marilah kita bersama-sama mengkaji al-Quran dan as-Sunnah sekali lagi.
c) Pelaksanaan Shalat Tarawih
Shalat Tarawih dilakukan sekali salam setiap dua rakaat. Jadi untuk 20 rakaat itu dilakukan 10 salam. Hal ini berdasarkan hadits:
صَلاَةُ الَّليْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat sunnah di malam hari adalah dua-dua.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Umar Ra.).
Apabila dilakukan dengan sekali salam dalam setiap 4 rakaat, maka:
1. Ulama Hanafiyah menyatakan hanya dihitung dengan dua rakaat saja untuk 4 rakaat yang dilakukan dengan sekali salam itu.
2. Ulama Hambaliyah menyatakan Tarawih tetap sah tetapi makruh.
3. Ulama Malikiyah menyatakan sah tetapi makruh.
4. Ulama Syafi’iyah menyatakan tidak sah, Tarawih harus dilakukan dengan sekali salam setiap dua rakaat.
Oleh karena itu demi menjaga persatuan umat hendaklah kita melakukan Tarawih dua-dua. Sebab cara inilah yang jelas disepakati oleh semua ulama serta dilakukan sejak dahulu sampai sekarang. (Diedit ulang dari tulisan KH. Ali Ma’shum Krapyak dalam Dirasah Diniyah “BANGKIT”).
http://
http://
Sya'roni As-Samfuriy, Cikarang 19 Juni 2014