![Photo: BAHASA GERAM
Oleh: KH.Ahmad Mustofa Bisri
Bangsa ini sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah hanya karena panas global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung dapur, bahkan di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja orang yang marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata pun seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri ini tidak lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun –apalagi teve--tampaknya suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan.
Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di forum-forum terhormat itu dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para demonstran di jalanan. Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para “pembawa aspirasi” gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”. Demokrasi yang–setelah euforia reformasi--dipahami sebagai sesuatu tatanan yang mesti bermuatan kekasaran dan kemarahan.
Yang lebih musykil lagi “bahasa kemarahan” ini juga sudah seperti tren pula di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah keagamaan, ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka. Seolah-olah tanpa gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah khotbah dan makalah sejati.
Khususnya di ibu kota dan kota-kota besar lainnya, di hari Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah menyaksikan dan mendengarkan khotbah “ustadz” yang dengan kebencian luar biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak sealiran atau sepaham dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan “Orang Pintar Baru” (OPB) lebih kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat keagamaan dan ishlah.
Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu seiring dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang “mengajarkan” kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnya–yang agaknya juga OPB—di samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan “pengetahuan baru”-nya. Lalu menganggap apa yang dikemukakannya merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah kebenaran sejati satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah. Dan yang salah pasti jahanam.
Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah, khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat sana-sani tersebut pada gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu kemana-mana; termasuk ke media komunikasi internet dan handphone. Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis orang di ruang-ruang yang khusus disediakan untuk mengomentari suatu berita atau pendapat di “dunia maya” atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu.
Kita boleh beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan dengan slogan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah” tersebut akibat dari berbagai faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa ini beragama Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja musykil. Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut.
Bagi umat Islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul SAW, yang terbaik dan paling baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung, Nabi Muhammad SAW. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam, terutama para pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan perilaku Nabi mereka.
Nabi Muhammad SAW sebagaimana diperikan sendiri oleh Allah dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa, pekerti yang agung (Q. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku (Q. 3: 159). Bacalah kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang mengalami sendiri bergaul dengan Rasulullah SAW. Rata-rata mereka sepakat bahwa Panutan Agung kita itu benar-benar teladan. Pribadi paling mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak kasar, tidak suka mengumpat dan mencaci, tidak menegur dengan cara yang menyakitkan hati, tidak membalas keburukan dengan keburukan, tapi memilih memaafkan. Beliau sendiri menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir r.a,“InnaLlaaha ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang memberi pelajaran dan memudahkan.
Bagi Nabi Muhammad SAW pun, orang yang dinilainya paling mulia bukanlah orang yang paling pandai atau paling fasih bicara (apalagi orang pandai yang terlalu bangga dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau orang fasih yang menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi Rasulullah SAW orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia akhlaknya. Wallahu a’lam.
[ 18 Juni 2010 ]](https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xpa1/t1.0-9/p417x417/10487610_672227109526466_5993432567763581558_n.jpg)
Oleh: KH.Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)
Bangsa ini
sedang terserang virus apa sebenarnya? Apakah hanya karena panas
global? Di rumah, di jalanan, di lapangan bola, di gedung dapur, bahkan
di tempat-tempat ibadah, kita menyaksikan saja o
rang
yang marah-marah. Tidak hanya laku dan tindakan, ujaran dan kata-kata
pun seolah-olah dipilih yang kasar dan menusuk. Seolah-olah di negeri
ini tidak lagi ada ruang untuk kesantunan pergaulan. Pers pun –apalagi
teve--tampaknya suka dengan berita dan tayangan-tayangan kemarahan.
Lihatlah “bahasa” orang-orang terhormat di forum-forum terhormat itu
dan banding-sandingkan dengan tingkah laku umumnya para demonstran di
jalanan. Seolah-olah ada “kejumbuhani” pemahaman antara para “pembawa
aspirasi” gedongan dan “pembawa aspirasi” jalanan tentang “demokrasi”.
Demokrasi yang–setelah euforia reformasi--dipahami sebagai sesuatu
tatanan yang mesti bermuatan kekasaran dan kemarahan.
Yang
lebih musykil lagi “bahasa kemarahan” ini juga sudah seperti tren pula
di kalangan intelektual dan agamawan. Khotbah-khotbah keagamaan,
ceramah-ceramah dan makalah-makalah ilmiah dirasa kurang afdol bila
tidak disertai dengan dan disarati oleh nada geram dan murka.
Seolah-olah tanpa gelegak kemarahan dan tusuk sana tusuk sini bukanlah
khotbah dan makalah sejati.
Khususnya di ibu kota dan kota-kota
besar lainnya, di hari Jumat, misalnya, Anda akan sangat mudah
menyaksikan dan mendengarkan khotbah “ustadz” yang dengan kebencian luar
biasa menghujat pihak-pihak tertentu yang tidak sealiran atau sepaham
dengannya. Nuansa nafsu atau keangkuhan “Orang Pintar Baru” (OPB) lebih
kental terasa dari pada semangat dan ruh nasihat keagamaan dan ishlah.
Kegenitan para ustadz OPB yang umumnya dari perkotaan itu seiring
dengan munculnya banyak buku, majalah, brosur dan selebaran yang
“mengajarkan” kegeraman atas nama amar makruf nahi munkar atau atas nama
pemurnian syariat Islam. Penulis-penulisnya–yang agaknya juga OPB—di
samping silau dengan paham-paham dari luar, boleh jadi juga akibat
terlalu tinggi menghargai diri sendiri dan terlalu kagum dengan
“pengetahuan baru”-nya. Lalu menganggap apa yang dikemukakannya
merupakan pendapatnya dan pendapatnya adalah kebenaran sejati
satu-satunya. Pendapat-pendapat lain yang berbeda pasti salah. Dan yang
salah pasti jahanam.
Dari bacaan-bacaan, ceramah-ceramah,
khotbah-khotbah dan ujaran-ujaran lain yang bernada geram dan menghujat
sana-sani tersebut pada gilirannya menjalar-tularkan bahasa tengik itu
kemana-mana; termasuk ke media komunikasi internet dan handphone.
Lihatlah dan bacalah apa yang ditulis orang di ruang-ruang yang khusus
disediakan untuk mengomentari suatu berita atau pendapat di “dunia maya”
atau sms-sms yang ditulis oleh anonim itu.
Kita boleh
beranalisis bahwa fenomena yang bertentangan dengan slogan “Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang ramah” tersebut akibat dari berbagai
faktor, terutama karena faktor tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dan
ketertinggalan. Namun, mengingat bahwa mayoritas bangsa ini beragama
Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, fenomena tersebut tetap saja musykil.
Apalagi jika para elit agama yang mengajarkan budi pekerti luhur itu
justru ikut menjadi pelopor tren tengik tersebut.
Bagi umat
Islam, al-khairu kulluhu fittibaa’ir Rasul SAW, yang terbaik dan paling
baik adalah mengikuti jejak dan perilaku panutan agung, Nabi Muhammad
SAW. Dan ini merupakan perintah Allah. Semua orang Islam, terutama para
pemimpinnya, pastilah tahu semata pribadi, jejak-langkah dan perilaku
Nabi mereka.
Nabi Muhammad SAW sebagaimana diperikan sendiri
oleh Allah dalam al-Quran, memiliki keluhuran budi yang luar biasa,
pekerti yang agung (Q. 68:4). Beliau lemah lembut, tidak kasar dan kaku
(Q. 3: 159). Bacalah kesaksian para shahabat dan orang-orang dekat yang
mengalami sendiri bergaul dengan Rasulullah SAW. Rata-rata mereka
sepakat bahwa Panutan Agung kita itu benar-benar teladan. Pribadi paling
mulia; tidak bengis, tidak kaku, tidak kasar, tidak suka mengumpat dan
mencaci, tidak menegur dengan cara yang menyakitkan hati, tidak membalas
keburukan dengan keburukan, tapi memilih memaafkan. Beliau sendiri
menyatakan, seperti ditirukan oleh shahabat Jabir r.a,“InnaLlaaha
ta’aala lam yab’atsnii muta’annitan...”, Sesungguhnya Allah tidak
mengutusku sebagai utusan yang keras dan kaku, tapi sebagai utusan yang
memberi pelajaran dan memudahkan.
Bagi Nabi Muhammad SAW pun,
orang yang dinilainya paling mulia bukanlah orang yang paling pandai
atau paling fasih bicara (apalagi orang pandai yang terlalu bangga
dengan kepandaiannya sehingga merendahkan orang atau orang fasih yang
menggunakan kefasihannya untuk melecehkan orang). Bagi Rasulullah SAW
orang yang paling mulia ialah orang yang paling mulia akhlaknya. Wallahu
a’lam.
[ 18 Juni 2010 ]