Dewasa
ini. Kita pasti mengetahui, bahwasanya guru mana yang tidak mau semua
muridnya berhasil dan sukses dalam mata pelajarannya. Tak ayal jika guru
ketika berada di rumah sang guru mondar-mandir, ke sana ke mari, hanya
perlu memikirkan metode pengajaran yang mudah dipaham oleh para
muridnya.
Hal inilah yang pernah dialami oleh Ust. H.
Syamsul huda, seniman kaligrafi berkaliber nasional jebolan Pondok
Pesantren Salafiyah. Selain sangat ahli dalam masalah seni tulis dan
lukis kaligrafi, beliau juga sangat ahli dalam masalah ilmu Nahwu.
Al-Kisah dahulu, ketika Ust. Syamsul masih mengajar ilmu nahwu di
Pon-Pes Salafiyah, Mulai ba’da shalat shubuh Ust. Syamsul mulai mondar
mandir di depan kantor madrasah salafiyah. Yang diberpikir tiada lain
adalah menggunakan metode apakah yang paling tepat agar semua anak
didiknya mendapat nilai bagus semua. Padahal jika dilihat, nilai siswa
pada pelajaran nahwu yang diajarkan oleh Ust. Syamsul terbilang lumayan
relatif, seperti layaknya sekolah-sekolah formal yang lain pastilah ada
satu dua anak yang dapat niali merah.
Sudah hampir jam masuk sekolah
Ust. Syamsul masih saja mondar-mandir di depan kantor madrasah. Ketika
itu Kiai Hamid yang berada di teras ndalem melihat Ust. Syamsul yang
terlihat seperti orang linglung. Kiai Hamid pun datang menghampiri Ust.
Syamsul.
“Sul…
ayo melok aku.” (Sul… Ayo ikut Saya). Ajak Kiai Hamid. Lalu, Ustad yang
kini mengisi jajaran staf pengajar di madrasah tsanawiyah dan aliyah
tersebut digandeng tangannya sampai di samping ndalem (kediaman) Kiai
Hamid. Di situ Ust. Syamsul ditunjukkan sebuah pohon kelapa yang masih
sedikit buahnya.
“Sul…awakmu weroh ta lek krambil iku gak kiro
dadi kelopo kabeh. Yo onok singlugur, onok sing dadi degan langsung di
ondoh, onok seng dadi kelopo iku mek titik, loh ngono iku mau masio wes
dadi kelopo kadang sekdipangan bajing. Cobak pikiren mane, seumpamane
lek kembang iku dadi kabeh, singsakaken iku uwite nggak kuat engkok”.
(Sul… apakah kamu tahu, kalau “krambil” (bunga kelapa) itu tidak akan
jadi kelapa semuanya. Ya ada yang terjatuh, ada yang masih jadi degan
akan tetapi sudah diambil, ada juga yang sudah jadi kelapa, itu pun
sedikit. Walau pun sudah jadi kelapa, terkadang belum dipanen sudah
dimakan sama tupai dulu. Coba kamu pikir, kalau bunga itu jadi kelapa
semua, yang kasihan itu pohonnya, pasti tidak akan kuat.) ujar Kiai
Hamid. Belum Ust. Syamsul menjawab Kiai Hamid melanjutkan lagi.
“anggepen ae wet kelopo iku mau guru, lek onok guru muride dadi kabeh yo
angel, yo onok sing bijine elek, yo onok sing pas-pasan. Yo onok mane
sing apik. Engko lek muride oleh nilai apik kabeh sak’aken gurune,
biso-biso lek nggak kuat guru iku mau biso ngomong “ikiloh didikanku,
dadi kabeh sopo disek gurune” lah akhire isok nimbulno sifat sombong.
Paham awakmu Sul? Lek paham wes ndang ngajaro, sekolahe wes wayahe
melebu.” (anggap saja pohon kelapa itu tadi adalah guru. Kalau ada
seorang guru yang muridnya sukses semua itu sangat sulit. Ya pastinya
ada yang nilainya jelek, ada yang nilainya biasa-biasa, dan ada juga
yang nilainya bagus. Nanti kalau nilai muridnya bagus semua yang kasihan
adalah gurunya. Bisa-bisa guru tersebut berbicara “ini loh, anak
didikku, semuanya sukses, siapa dulu gurunya” lah, akhirnya bisa
menimbulkan sifat sombong.
Kamu paham Sul? Kalau paham cepat
mengajar, sudah waktunya jam masuk sekolah.) tambah Kiai Hamid. Tanpa
menjawab Ust. Syamsul pun langsung undur diri dari Kiai Hamid.
Subhanalloh … padahal, Ust Syamsul masih bercerita sedikit pun, akan
tetapi sudah menjawab semua yang dikeluhkan oleh Ust. Syamsul, dengan
menggunakan sebuah filosofi pohon kelapa.
Setiba dikelas Ust.
Syamsul masih terpikir oleh ucapan Kiai Hamid tadi. “benar juga apa yang
dikatakan oleh beliau (Kiai Hamid”. Ujar Ust. Syamsul dalam hati.
Sebaiknya cerita ini bisa menjadi ibrah bagi para guru, agar tidak
terlalu berkecil hati ketika ada satu-dua anak didiknya yang didak mampu
pada pelajaran yang guru ajarkan. Dibalik itu semua pasti aka nada
hikmahnya… (zen)
Sumber Pondok Salafiyah Pasuruan
No comments:
Post a Comment