Sunday, May 18, 2014
Mbah Sya’roni: NU dan Muhammadiyah itu Sama
Salah satu kiai sepuh yang dimiliki NU yang masih tersisa adalah KH Sya’roni Ahmadi dari Kudus, Jawa Tengah. Kini, di usinya yang ke-85, putra menantu Almaghfurlah KH Arwani Amin, pendiri Pesantren Yanbu’ul Quran, ini masih tetap mengisi pengajian tiap Jumat usai jamaah Shubuh di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Pengajian kitab Tafsir Showi yang dibaca kiai kharismatik ini sangat diterima dan bahkan digemari tidak hanya kalangan Nahdliyin, namun juga oleh warga Muhammadiyah.
Hal tersebut terbukti dari banyaknya pengunjung dari berbagai daerah di sekitar Kudus, semisal Jepara, Pati, Rembang, dan Demak. Selain itu, juga banyak rombongan menggunakan bus pariwisata dari seantero Jawa-Madura yang ketika rombongan ziarah Walisongo sengaja mengatur jadwal agar sampai di kota Kudus pada Jumat dini hari.
Ulama Kudus yang dikategorikan sebagai “Kiai Tanpa Pesantren” oleh Kepala Puslitbang Penda Balitbang Diklat Kemenag RI Prof Abdurrahman Mas’ud PhD ini termasuk kias khos yang duduk di Mustasyar PBNU. Ketika berkunjung ke Kudus, kontributor NU Online Musthofa Asrori didampingi seorang pengurus Mutakhorrijin Qudsiyyah yang di Semarang (Maqdis) berkesempatan wawancara khusus dengan Mbah Sya’roni di kediamannya pada Sabtu, (19/4) sore.
Bagaimana pandangan Ke-NU-an dan pemikiran kiai flamboyan penggila bola yang hafal nama-nama pemain bola mancanegara ini? Berikut cuplikan wawancara singkat NU Online dengan guru besar Qiraat Sab’ah (Bacaan Tujuh) yang juga hafal Alquran 30 juz itu.
Bagaimana pandangan Mbah Sya’roni tentang NU masa kini?
Kembali kepada khittah, pandangan secara umum NU sudah baik. Cuma sepeninggal Kiai Sahal, khittah-nya jadi agak kurang. Kalau Kiai Sahal kan khittah-nya kencang. Meski demikian, sekarang lumayan bagus setelah Gus Mus bersedia maju. Saya berpikir, daripada yang lain masih mendingan Gus Mus.
Mengapa begitu, Kiai?
Jadi, waktu menanggapi masalah Pemilu dan soal caleg-caleg DPR itu sikap Gus Mus sudah tepat. Beliau menganjurkan warga NU supaya ikut mencoblos, karena ini adalah tugas kita sebagai warga negara Indonesia tiap lima tahun sekali.
Tapi, saya sendiri waktu nyoblos itu ya ndak bisa sendirian, mas. Jadi, saya pamit (baca: izin) kepada panitia pemilu bahwa pendengaran saya sudah berkurang, saya masuk TPS boleh ndak ditemani cucu saya? Kalau ndak boleh saya pulang. Lalu, petugas menjawab. Oo.. boleh, Pak. Lalu, saya buka empat lembar saya pilih nomor ini mana begitu. Jadi, saya di(boleh)kan nyoblos.
Memangnya usia Mbah yai sekarang berapa?
Kulo nembe wolu gangsal (saya baru 85 tahun). Makanya, tadi saya bilang ke sampean kalau saya diajak komunikasi itu kurang jelas.
Dokter saya pribadi, Dokter Zakir, suatu hari duduk di ruang kerjanya. Lalu, saya bilang: Kir, ini pendengaran saya kok kurang banget. Oo.. itu normal, Pak. Lho, normal gimana? Kalau orang setua bapak pendengarannya masih tajam berarti nggak normal. (Mbah Sya’roni tertawa terkekeh-kekeh).
Nah, kembali ke NU, Mbah. Bagaimana pandangan dan saran Mbah Sya’roni bagi kepengurusan PBNU yang sekarang dipimpin Gus Mus?
Ya, harus ala Gus Mus. Tidak bisa ala Kiai Sahal. Gus Mus kan bisa membat mentul (baca: bermanuver). Kalau Kiai Sahal kan kencang. Gus Mus bisa menggak-menggok sithik (belak-belok sedikit). Udah itu saja cukup.
Mbah Sya’roni ingin mengatakan Gus Mus luwes?
Luwes bagi orang-orang yang senang, yang kurang senang nyebutnya very very coloso (nyerempet-nyerempet bahaya). Hahaa.. Tapi ya itu tadi, Gus Mus masih bagus dari yang lain.
Nasehat Mbah Sya’roni kepada generasi dan kader muda NU? Khususnya menyambut 100 tahun NU pada 2026.
Yang penting, kita harus kuat ke-NU-annya. Sebetulnya, NU dan Muhammadiyah (itu) sama. Nanti saya beri keterangan (baca: penjelasan). Jadi, Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan waktu masih santri mondoknya di tempat Mbah Kiai Sholeh Darat Semarang. Bahkan hingga ke Mekah, beliau berdua juga nyantri bareng. Oleh karena itu, pandangan Kiai Dahlan sama dengan NU.
Saya punya kitab fiqih karangan Kiai Dahlan. Di kitab jilid tiga halaman 50 beliau menjelaskan fatwa penting dalam Bahasa Daerah. “Sholat Tarawih yoiku sholat rong puluh rokaat, saben-saben rong rokaat kudu salam. Wektune ono ing sasi poso sak wuse saben-saben sholat Isya’.” (Sholat Tarawih itu adalah sholat 20 rekaat, tiap-tiap dua rekaat harus salam. Waktunya di bulan puasa setelah sholat Isya’). Lho.. Kan jelas tho..
Masih ada banyak lagi yang bisa dipelajari dari Kitab Fiqih karya Mbah Dahlan ini. Nah, yang ‘nakal’ itu murid Kiai Dahlan yang namanya Kiai Mas Mansur dari Surabaya. Jadi, setelah itu (baca: sejak Mas Mansur jadi Ketua Umum Muhammadiyah) ada perubahan-perubahan. Dia bikin yang namanya Majlis Tarjih. Lalu, keputusannya antara lain rekaat sholat Tarawih yang 20 dengan dengan yang delapan rekaat itu lebih baik yang delapan. Jadi, ditarjih. Nah, yang baru-baru justru mengatakan yang 20 rekaat itu bid’ah dhalalah.
Kiai Mas Mansur bilang, ini organisasi bukan organisasi Dahlaniy, tapi Muhammadiyah.
Lalu, bagaimana sikap kita terhadap mereka dan golongan lainnya?
Jadi begini, suatu ketika, datang orang ke rumah. Lalu bercerita, bahwa di Mekah imamnya ketika jamaah Maghrib, Isya’, dan Shubuh tidak membaca Basmalah. Saya tanya, memang sampean nggak denger? Iya, saya tidak mendengarnya. Langsung saya jawab, malah mereka kalau sholat Dhuhur dan Ashar tidak membaca Fatihah. Lha kok bisa, Kiai? Ya karena saya tidak mendengarnya. Nah, jadi tidak mendengar digunakan dalil untuk menyebut tidak baca.
Terima kasih atas nasehat dan petuahnya, Mbah. Mohon doanya..
Iya, sama-sama. Tugas kalian sebagai anak muda NU meneruskan pencarian kitab-kitab Fiqih karya Mbah Dahlan tersebut untuk meng-NU-kan orang-orang Muhammadiyah.
Saturday, May 17, 2014
Bacaan Ringan Jauhkan Bayi dari Dosa Berat Zina
Menjadi orang tua bagi anak-anak sangat gampang. Ia boleh menunggu saja anak-anak keluar dari rahim istrinya atau memungut anak dari pangkuan panti asuhan dan rumah bersalin. Sedangkan menjadi orang tua yang berperan, susah-susah gampang. Dibilang gampang, kadang terkendala di tengah jalan. Dibilang susah, tetapi berjalan begitu saja.
Yang paling gampang, melantunkan lafal adzan di kuping kanan dan iqamah di telinga kiri bayi yang menjadi tugas orang tua pertama kali setelah anak lahir. Selain karena demikian perlakuan Rasulullah SAW terhadap Hasan dan Husein, tetapi juga lafal dua kalimat syahadat yang masuk ke lubang telinga bayi cukup melindunginya dari setan ibu-ibu yang suka ‘mengasuh’ bayi-bayi manusia. Ini jelas disabdakan Rasulullah SAW.
Setelah itu, para orang tua juga selayaknya mengantisipasi masa depan bayi sejak dini. Mereka dianjurkan membaca surah Al-Qadar di telinga kanan si bayi. Amalan ini berkhasiat menjauhkan si anak dari dosa besar zina sepanjang usianya kelak. Anggaplah sebagai pembuktian kasih sayang orang tua demi kepentingan masa depan bayi. Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Baijuri dalam Hasyiyatus Syekh bin Ibrahim Al-Baijuri ala Syarhil Allamah ibni Qasim Al-Ghazzi menerangkan.
و نقل عن الشيخ الديربي أنه يسن أن يقرأ فى أذن المولود اليمنى سورة إنا أنزلناه لأن من فعل به ذلك لم يقدر الله عليه زنا طول عمره. قال هكذا أخذناه عن مشايخنا
“Dikutip dari Syekh Dairobi bahwa dianjurkan membaca surah Al-Qadar di lubang telinga kanan bayi. Karena, bayi mana saja yang diperlakukan demikian niscaya dilindungi Allah dari dosa zina seusia hidupnya. Kata Syekh Dairobi, ‘Demikianlah amalan yang kami terima dari para guru kami’.”
Adapun susahnya memainkan peran orang tua yang baik seperti dikeluhkan banyak orang tua, saking banyaknya tidak perlu dikatakan di sini. Salah satunya boleh disebut; yakni menanamkan nilai-nilai agama kepada si anak agar tidak terjerumus dalam segala bentuk dosa kecil atau besar, termasuk zina. Tetapi secara umum, orang tua perlu kesabaran lebih untuk terus mendampingi dan mendidik anak. Wallahu A’lam. (Alhafiz K)
Cara Beragama Kunci Kerukunan Umat Beragama
Konflik keberagamaan di Indonesia hingga kini masih mencari jawab.
Mustasyar PCNU Kudus, Prof. Dr. Muslim A. Kadir, MA, menggarisbawahi dua
hal yang perlu diperhatikan kaum agamawan, yakni “agama” dan
“keberagamaan”.
“Jangan pernah membahas agama orang lain, sebab ini hal yang sangat sakral dan rawan,” tegas Prof. Muslim di Forum Group Discussion (FGD) Konstruksi Pengelolaan dan Penanganan Konflik dalam Kerukunan Beragama di Hotel Griptha Kudus, Senin malam (12/5).
Sedangkan “keberagamaan”, lanjut dia, dimaknai sebagai cara beragama masing penganut suatu agama yang diejawantahkan ke bentuk perilaku dalam kehidupan nyata. Inilah kata kunci dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama dalam NKRI.
“Agama apapun, ketika kita memakai cara beragama yang tidak sejalan dengan negara, maka dapat dipastikan bakal terjadi konflik. Sebaliknya, untuk mewujudkan kerukunan antar umat bergama, maka cara beragama yang kita pakai harus sejalan dengan NKRI. Dalam hal ini antara kaum agamawan dan negara dapat berusaha saling mendekat,” paparnya.
Ia pun menunjukkan akan keberpihakan NKRI terhadap ragam kehidupan beragama dengan sila pertama pada Pancasila. Menurutnya, sila pertama menjadi penegasan pada ranah keberagamaan yang dapat diterima oleh semua agama.
“Sila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa ini kemudian selayaknya ditampilkan dengan perilaku beretika antar umat beragama dalam rangka mengamalkan cara beragama yang ramah antar sesama bangsa,” tegasnya yang juga aktif di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kudus.
FGD tersebut merupakan rangkaian acara yang terangkum dalam kegiatan Studi Pengembangan Manajemen Konflik dan Pengelolaan Daerah Konflik, dengan tema “Resolusi Penanganan dan Pengelolaan Konflik”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kesatuan Bangsa Politik (KESBANG POL) dan Perlindungan Masyarakat (LINMAS) Provinsi Jawa Tengah.
Berlangsung pada Senin-Selasa, 12-13 Mei 2014 di Hotel Griptha Kabupaten Kudus, kegiatan ini mengundang 80 peserta dari unsur Camat, FKUB, Organisasi Pemuda Keagamaan, dan Pemuda Lintas Agama. Termasuk NU dan pelbagai badan otonomnya juga turut hadir di dalamnya.[Istahiyyah/Abdullah Alawi)
“Jangan pernah membahas agama orang lain, sebab ini hal yang sangat sakral dan rawan,” tegas Prof. Muslim di Forum Group Discussion (FGD) Konstruksi Pengelolaan dan Penanganan Konflik dalam Kerukunan Beragama di Hotel Griptha Kudus, Senin malam (12/5).
Sedangkan “keberagamaan”, lanjut dia, dimaknai sebagai cara beragama masing penganut suatu agama yang diejawantahkan ke bentuk perilaku dalam kehidupan nyata. Inilah kata kunci dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama dalam NKRI.
“Agama apapun, ketika kita memakai cara beragama yang tidak sejalan dengan negara, maka dapat dipastikan bakal terjadi konflik. Sebaliknya, untuk mewujudkan kerukunan antar umat bergama, maka cara beragama yang kita pakai harus sejalan dengan NKRI. Dalam hal ini antara kaum agamawan dan negara dapat berusaha saling mendekat,” paparnya.
Ia pun menunjukkan akan keberpihakan NKRI terhadap ragam kehidupan beragama dengan sila pertama pada Pancasila. Menurutnya, sila pertama menjadi penegasan pada ranah keberagamaan yang dapat diterima oleh semua agama.
“Sila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa ini kemudian selayaknya ditampilkan dengan perilaku beretika antar umat beragama dalam rangka mengamalkan cara beragama yang ramah antar sesama bangsa,” tegasnya yang juga aktif di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kudus.
FGD tersebut merupakan rangkaian acara yang terangkum dalam kegiatan Studi Pengembangan Manajemen Konflik dan Pengelolaan Daerah Konflik, dengan tema “Resolusi Penanganan dan Pengelolaan Konflik”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kesatuan Bangsa Politik (KESBANG POL) dan Perlindungan Masyarakat (LINMAS) Provinsi Jawa Tengah.
Berlangsung pada Senin-Selasa, 12-13 Mei 2014 di Hotel Griptha Kabupaten Kudus, kegiatan ini mengundang 80 peserta dari unsur Camat, FKUB, Organisasi Pemuda Keagamaan, dan Pemuda Lintas Agama. Termasuk NU dan pelbagai badan otonomnya juga turut hadir di dalamnya.[Istahiyyah/Abdullah Alawi)
Gelar Haji di Indonesia Produk Belanda?
Penyematan gelar “haji” di Indonesia kepada warga yang telah
menunaikan ibadah haji menjadi hal yang sangat lazim. Fenomena ini
berlangsung secara turun-temurun sejak lama dan menyatu dalam kehidupan
masyarakat kebanyakan sebagai sesuatu yang lumrah.
Sejauh kisah tentang ibadah haji pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, tak sekali pun mengisyaratkan penahbisan gelar “haji” kepada yang bersangkutan. Darimana budaya pemberian gelar tersebut berasal?
“Gelar Haji yang hanya berlaku di kalangan bangsa kita ini sejatinya merupakan bentuk identifikasi orang Belanda saja,” terang Joko Prihatmoko, peneliti muda NU, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Senin (12/5), di Kudus, Jawa Tengah.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Indonesia (LPPI) ini, ibadah haji menyebabkan para pelaksananya mempunyai nyali untuk memberontak pada kolonial Belanda. Kerenanya, setiap warga pribumi yang pulang dari Makkah kemudian diwaspadai. Salah satu bentuk kewaspadaan itu dengan mengidentifikasi mereka.
“Belanda mengidentifikasi dengan gelar tersebut, bahwa orang yang datang lagi ke Indonesia setelah pergi haji, maka dipastikan akan melawan Belanda. Hal ini bisa dilacak dari para pejuang yang ternyata memang banyak bergelar Haji, seperti H. Hasyim Asy’ari, H. Agus Salim, H. Ahmad Dahlan, dan yang lain,” tegasnya. (Istahiyyah/Mahbib)
Sejauh kisah tentang ibadah haji pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, tak sekali pun mengisyaratkan penahbisan gelar “haji” kepada yang bersangkutan. Darimana budaya pemberian gelar tersebut berasal?
“Gelar Haji yang hanya berlaku di kalangan bangsa kita ini sejatinya merupakan bentuk identifikasi orang Belanda saja,” terang Joko Prihatmoko, peneliti muda NU, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Senin (12/5), di Kudus, Jawa Tengah.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Indonesia (LPPI) ini, ibadah haji menyebabkan para pelaksananya mempunyai nyali untuk memberontak pada kolonial Belanda. Kerenanya, setiap warga pribumi yang pulang dari Makkah kemudian diwaspadai. Salah satu bentuk kewaspadaan itu dengan mengidentifikasi mereka.
“Belanda mengidentifikasi dengan gelar tersebut, bahwa orang yang datang lagi ke Indonesia setelah pergi haji, maka dipastikan akan melawan Belanda. Hal ini bisa dilacak dari para pejuang yang ternyata memang banyak bergelar Haji, seperti H. Hasyim Asy’ari, H. Agus Salim, H. Ahmad Dahlan, dan yang lain,” tegasnya. (Istahiyyah/Mahbib)
Membantu Orang Lain itu Tidak Pandang Agamanya
Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Perwujudan
dari pemuliaan tahadap Tuhan adalah pemuliaan terhadap ciptaan-Nya.
Tidak semestinya pihak tertentu bersikap keras kepada pihak lain hanya
karena perbedaan paham dan agama.
Pandangan ini mencuat dalam seminar toleransi beragama di auditorium Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Jombang, Jawa Timur, Senin (12/5). Salah seorang pembicara, KH Abdul Muhaimin, mengisahkan pengalamannya mengahdapi intoleransi yang terjadi di Yogyakarta.
Pengasuh Pondok Pesantren Putri Nurul Ummahat Yogyakarta tersebut bercerita, setelah menampung pengungsi gempa Jogja yang mayoritas Muslim dalam gereja-geraja mereka, umat Katolik dihadang oleh Front Jihad Islam (FJI). Menurutnya, ulah kelompok garis keras ini sangat tidak sesuai dengan ide-ide Islam sendiri.
Ia mengatakan, membantu orang lain tidak dibatasi oleh agama. “Membantu anjing saja orang bisa masuk surga, menganiaya kucing orang bisa masuk neraka. Itu hewan. Bagaimana dengan manusia?” ungkap penggagas Jogjakarta The City of Tolerans itu.
Seminar yang digelar mahasiswa Pascasarjana Unhasy Program Studi Hukum Islam bersama Pusat Kajian Pesantren dan Demokrasi Pesantren Tebuireng ini dihadiri sejumlah narasumber, antara lain Dr KH Ahmad Zahro, Rektor Universitas Islam Darul Ulum (Unipdu) yang juga Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya; Pendeta Romo Purhastanto, lulusan Universitas Tokyo Jepang; dan Ketua Gusdurian Jombang, Aan Anshori.
Zahro menyampaikan bahwa umat Islam itu terlau banyak membahas ayat-ayat qital (peperangan) dan memahaminya secara tekstual. Padahal ayat-ayat tasamuh atau toleransi sangat banyak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun sejarah Rasulullah, termasuk dalam beberapa hadist.
“Wajar saja kita mengaku benar. Tapi kalau ngaku benar dewe yo iku seng dadi masalah (kalau mengaku benar sendiri itu yang menjadi masalah),” ungkapnya.
Direktur Pascasarjana Unhasy Makinuddin juga bercerita tentang pengalamannya dalam bertoleransi. Ia mengaku sejak kecil telah bersinggungan dengan umat Katolik. Makinudin juga mengatakan bahwa toleransi adalah hal yang tidak asing di Tebuireng.
“Sudah biasa Tebuireng berhubungan dengan non-muslim, para pendeta, biksu. Wes biasa,” tegasnya.
Romo Anto, panggilan akrab Romo Purhastanto memaparkan survei tingkat beragama masyarakat Jepang. Pria yang 14 tahun tinggal di Negeri Sakura itu memaparkan bahwa di Jepang, lebih dari 60% warganya mengaku tidak beragama, 36% mengaku Budha, dan sisanya adalah Shinto, Kristen, Islam dan lainnya.
Survei tingkat beribadah pula menunjukkan bahwa sebagian besar warga Jepang beribadah setahun sekali. Tapi, meski mayoritas tak beragama, masyarakat di sana bisa menunjukkan moralitas yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama justru menunjukkan moralitas yang rendah dalam hal toleransi. (Anwar Muhamad/Mahbib)
Pandangan ini mencuat dalam seminar toleransi beragama di auditorium Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Jombang, Jawa Timur, Senin (12/5). Salah seorang pembicara, KH Abdul Muhaimin, mengisahkan pengalamannya mengahdapi intoleransi yang terjadi di Yogyakarta.
Pengasuh Pondok Pesantren Putri Nurul Ummahat Yogyakarta tersebut bercerita, setelah menampung pengungsi gempa Jogja yang mayoritas Muslim dalam gereja-geraja mereka, umat Katolik dihadang oleh Front Jihad Islam (FJI). Menurutnya, ulah kelompok garis keras ini sangat tidak sesuai dengan ide-ide Islam sendiri.
Ia mengatakan, membantu orang lain tidak dibatasi oleh agama. “Membantu anjing saja orang bisa masuk surga, menganiaya kucing orang bisa masuk neraka. Itu hewan. Bagaimana dengan manusia?” ungkap penggagas Jogjakarta The City of Tolerans itu.
Seminar yang digelar mahasiswa Pascasarjana Unhasy Program Studi Hukum Islam bersama Pusat Kajian Pesantren dan Demokrasi Pesantren Tebuireng ini dihadiri sejumlah narasumber, antara lain Dr KH Ahmad Zahro, Rektor Universitas Islam Darul Ulum (Unipdu) yang juga Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya; Pendeta Romo Purhastanto, lulusan Universitas Tokyo Jepang; dan Ketua Gusdurian Jombang, Aan Anshori.
Zahro menyampaikan bahwa umat Islam itu terlau banyak membahas ayat-ayat qital (peperangan) dan memahaminya secara tekstual. Padahal ayat-ayat tasamuh atau toleransi sangat banyak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun sejarah Rasulullah, termasuk dalam beberapa hadist.
“Wajar saja kita mengaku benar. Tapi kalau ngaku benar dewe yo iku seng dadi masalah (kalau mengaku benar sendiri itu yang menjadi masalah),” ungkapnya.
Direktur Pascasarjana Unhasy Makinuddin juga bercerita tentang pengalamannya dalam bertoleransi. Ia mengaku sejak kecil telah bersinggungan dengan umat Katolik. Makinudin juga mengatakan bahwa toleransi adalah hal yang tidak asing di Tebuireng.
“Sudah biasa Tebuireng berhubungan dengan non-muslim, para pendeta, biksu. Wes biasa,” tegasnya.
Romo Anto, panggilan akrab Romo Purhastanto memaparkan survei tingkat beragama masyarakat Jepang. Pria yang 14 tahun tinggal di Negeri Sakura itu memaparkan bahwa di Jepang, lebih dari 60% warganya mengaku tidak beragama, 36% mengaku Budha, dan sisanya adalah Shinto, Kristen, Islam dan lainnya.
Survei tingkat beribadah pula menunjukkan bahwa sebagian besar warga Jepang beribadah setahun sekali. Tapi, meski mayoritas tak beragama, masyarakat di sana bisa menunjukkan moralitas yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama justru menunjukkan moralitas yang rendah dalam hal toleransi. (Anwar Muhamad/Mahbib)
NU: Islam Diamalkan, Negara Dipertahankan, Ukhuwah Disebarkan
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan, di Indonesia ulama berperan besar dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika terjadi huru-hara, pemberontakan politik, atau kerusuhan lainnya, posisi ulama selalu menjadi garda terdepan.
"Ulama Indonesia berperan persatukan dan rekonsiliasi masyarakat yang sangat beragam ini," katanya saat menghadiri acara pelantikan Pengurus Cabang Nahdatul Ulama (PCNU) Depok di Masjid Kubah Emas, Depok, Jawa Barat, Kamis (15/5).
Menurut alumni Universitas Ummul Qura yang akrab disapa Kang Said ini, NU merupakan wadah masyarakat yang menjalankan fungsi keagamaan dan kebangsaan. Ia menambahkan, hanya ada dua kepentingan NU, yakni mengamalkan dan mendakwahkan Islam, dan mempertahankan negara Indonesia selamat, utuh, dan tak ada perang saudara.
"Islam tak usah dipolitikkan. Suku apapun, agama apapun, kalau salah harus dihukum, itu negara hukum. Bagi NU, agama Islam diamalkan, negara dipertahankan, ukhuwah islamiyah disebarkan. Harus punya komitmen bersama menjaga persatuan dan kesatuan tanah air, keutuhan NKRI. (Hal ini) sama pentingnya dengan mengamalkan agama Islam," tuturnya. Seperti Negara Madinah
“Soal komitmen bernegara, Indonesia hampir mirip negara Madinah yang didirikan Rasulullah 15 abad silam. Memang sejarah inilah yang dijadikan landasan NU membangun negeri ini. Jelas berbeda sekali dengan negara Islam lainnya. Soal komitmen bernegara, mereka harus belajar kepada kita,” ujar Kiai Said bangga.
Said Aqil mencontohkan, Afghanistan 100 persen agamanya Islam, 99 persen Sunni, thariqahnya Naqsyabandiy, 1 persen Syiah. Tapi perang terus tiada henti. Padahal Islam semua. Sebabnya, mereka tidak mempunyai komitmen membangun kekuatan dan persatuan Tanah Air. “Somalia di Afrika Timur 100 persen agamanya Islam, 100 persen Sunni. Syiah nggak ada. Tapi, sama saja perang terus. Bahkan, negara ini kini bangkrut dan menjadi negara gagal,” ujarnya.
Angkatan laut Somalia, tambah Kiai Said, kini justru menjadi bajak laut yang merompak kapal-kapal yang lewat negaranya. Mereka juga tidak memiliki komitmen bersama untuk memperjuangkan persatuan dan kesatuan tanah air.
“Oleh karena itu, bagi NU sekali lagi keutuhan NKRI, keutuhan negara sama pentingnya dengan mengamalkan agama. Artinya, ketika kita mengamalkan agama Islam dalam rangka mempersatukan Tanah Air dan demikian sebaliknya,” tegas Said.
Kang Said mengatakan, NU sejak dulu masuk di dalam sendi-sendi seluruh unsur masyarakat. "Karena NU ini bukan parpol, bukan di bawah pemerintah, bukan birokrasi. NU milik masyarakat. NU ada di tentara, polisi, birokrat, profesi, ulama, itu masyarakat namanya,” jelasnya.
Acara pelantikan pengurus PCNU Depok periode 2013-2018 dihadiri ratusan ulama dan ribuan warga NU Depok. Tampak hadir pula Rais Syuriah PWNU Jawa Barat KH. Asep Burhanuddin, dan pejabat pemerintahan setempat. (Aan Humaidi/Musthofa Asrori/Mahbib)
Tuesday, May 6, 2014
Tasawuf Bagi Kaum Muda
wawancara reporter majalah sufinews.com
dengan Prof. DR. Ahmad Mubarok, MA
Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN, UIA & Wakil Ketua Zawiyah Haqqani
Sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah Negara, kekuasaan kerapkali digunakan untuk mengondisikan agar rakyat tetap berada dalam kebodohan yang berujung pada langgengnya kekuasaan, bertahannya status quo dan dominasi tak akan tergugat. Pada saat yang sama, ketika kekuasaan telah mendominasi kehidupan suatu bangsa, muncul gerakan perlawanan baik dilakukan dengan diam-diam atau secara terbuka.
Kaum muda, terutama di Indonesia, memiliki catatan yang membanggakan dalam merobohkan kemapanan kekuasaan yang menghisap darah segar anak-anak kandung ibu pertiwi. Sebut saja peristiwa Sumpah Pemuda 1928, misalnya, ia merupakan hasil gemilang kaum muda dalam membangkitkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air, yang berlanjut pada proses lahirnya proklamasi 17 Agustus 1945.
Begitu pula dengan gerakan tasawuf (biasanya sering diidentikan dengan gerakan tarekat), ia senantiasa hadir membawa bendera perubahan dan pencerahan ketika kekuasaan, baik lokal maupun mondial, telah dijadikan alat pembodohan masal yang anti kemanusiaan dan anti ketuhanan. Sebut saja, misalnya, sikap non kooperatif yang ditunjukkan kelompok tarekat rifa'iyyah sebagai wujud penentangan penjajahan Belanda, yang berujung dibuangnya KH Ahmad Rifa'i (selaku pimpinan tarekat) ke Ambon, Mei 1859, oleh pemerintah kolonialis. Hal yang sama juga berlaku pada Perisitwa "Pemberontakan petani Banten 1888 ", yang merupakan gerakan "massa petani" Banten yang dilandasi kesadaran tarekat dalam menghadapi kekuasaan kolonialisme Belanda yang menindas.
Dan kini, ketika kegagalan melanda manusia moderen yang tidak dapat diatasi oleh keunggulan IPTEK dan kebesaran ideologi semacam sosialisme - komunisme atau kapitalisme - liberalisme, tasawuf (atau malah gerakan tarekat) yang bersumber dari agama mulai dilirik kembali. Mereka menaruh harapan akan ditemukannya pemecahan dari problema yang muncul akibat kemajuan dunia global.
Berikut wawancara Cahaya Sufi bersama Prof. DR. Achmad Mubarok, MA seputar Tasawuf dan Kaum Muda disertai analisa kritis atas munculnya fenomena Amrozi, AA Gym - Arifin Ilham dan Ulil Abshar Abdalah dengan JIL nya.
Apa komentar anda tentang maraknya fenomena tasawuf di Indonesia, khususnya Jakarta, akhir belakangan ini ?
Tasawuf selalu relevan di setiap zaman. Terlebih dalam dunia moderen yang yang sarat tipu daya, cinta dunia, menggunting pita dalam lipatan, musang berbulu domba, tasawuf menjadi sangat relevan. Tapi….
Tapi, apa ?
Anda harus melihat fenomena tersebut secara proporsional dan jangan diputus dari sejarah masuk dan sepak terjang gerakan tasawuf atau gerakan tarekat di Indonesia.
Jelasnya ?
Islam yang masuk ke Indonesia ada dalam dua format; format pertama, fiqh dan format kedua tasawuf. Tasawuf masuk ke Indonesia dalam suasana kita melawan penjajah. Sehingga sejarah tarekat di Indonesia mencatat bahwa gerakan ini juga melakukan perlawanan kepada penjajah seperti pemberontakan Garut dan Banten.
Meski demikian, harus dicatat, bahwa fungsi tarekat ketika itu cuma dijadikan benteng pertahanan saja. Gerakan tarekat hanya memberikan ketahanan untuk bertahan hidup dari penderitaan akibat penjajahan, tidak sampai berhasil membangun sebuah bangsa. Nah ini fenomena tarekat di Indonesia. Berbeda dengan gerakan tarekat di Afrika, disamping efektif untuk melawan penjajah, gerakan tarekat disana mampu melahirkan Negara Libia. Libia moderen itu dilahirkan oleh kelompok tarekat loch !?
Sesudah itu ?
10-20 tahun pasca 17 Agustus 1945, tarekat banyak dianut oleh orang-orang awam dan pedesaan. Tarekat waktu itu masih dijadikan untuk lari dari kenyataan dunia. Karenanya, meski NU (Nahdhatul Ulama) memiliki lembaga tarekat, sumbangsihnya kepada pembentukan Negara yang lebih moderen sangat minim dirasakan. Waktu itu, masih banyak orang yang berpikiran bahwa urusan Negara itu urusan orang-orang kafir. Ulama-ulama kita saat itu banyak yang terjebak pada perdebatan fiqhiyyah seperti bagaimana hukumnya memakai celana panjang, dasi dan sebagainya.
Belakangan ini, ditengah kehidupan kaum muda muslim Indonesia muncul tiga kutub anak muda yang nampaknya tidak bertemu dalam masing-masing aksi ketiganya. Pertama, kutub Amrozi dkk dengan JI nya. Kedua, Kutub pemikiran yang diwakili Ulil Abshar dengan JIL nya. Ketiga kutub ruhani, yang diwakili AA Gym dan Arifin Ilham,. Fenomena apa ini ?
Kategorisasi yang anda berikan itu cuma perbedaan cara berpikir saja. Amrozi c.s dengan JI nya itu fundamentalisme aksi. Ulil dan JIL nya itu fundamentalisme pemikiran sedangkan AA. Gym dan Arifin Ilham fundamentalisme ruhani. Meski demikian kesemua mereka itu masih "mentah" dalam kutubnya masing-masing.
Jelasnya ?
Saya cuma ingin katakan bahwa dalam diri Amrozi ada dua kutub, yaitu kelemahlembutan dan kekerasan. Ia seperti lebah yang sepertinya tidak berbahaya, tetapi jika diganggu ia dengan sangat cepat bisa menyengat musuh.
Ia sudah terlanjur terlibat dalam konflik global, tetapi secara akademik ia yang hanya droup out madrasah aliyah tak pernah bersentuhan dengan filsafat, oleh karena itu ia tidak bisa berfikir secara mendasar.
Ia selalu memusatkan diri pada panggilan jiwanya, tetapi kurang memahami peta perjuangan. Ia siap mati demi keyakinan agamanya, tetapi ia miskin pengetahuan tentang taktik dan strategi perjuangan global. Ia siap menyerang kepentingan Amerika dimanapun berada, tetapi ia tidak bisa membedakan antara Amerika dan Australia. Ia siap membuat kalut Amerika, tetapi tidak bisa melihat bahwa dampak negatif dari aksinya justru lebih banyak menimpa negerinya sendiri (Indonesia) dan lebih banyak menimbulkan kesulitan bagi kaum muslimin yang dibelanya. Nah, Kondisi obyektif Amrozi ini hampir serupa dimiliki oleh teman-teman Amrozi.
Bagaimana dengan Ulil dan JIL nya ?
Menurut saya mereka tidak sabar melihat perjalanan NU (Nahdlatul Ulama). Mereka sudah kebelet lari, tapi NU (menurut anak-anak mudanya) tak beranjak setapak pun. Mereka "kesel" dan jumping. Mereka loncat kalau tidak ke Marxisme ya ke Liberalisme. Dalam dunia intelektual mereka membentuk JIL dan dalam format politik praktis mereka membangun FORKOT.
Saya pernah mendamaikan Ulil dengan Kiyai Athian (Ketua Forum Ulama Umat Islam Bandung; red) yang pernah menghalalkan darah Ulil. Apa kata Kiyai Athian ?, Ulil Abshar harus dihukum mati karena menghina Tuhan. Apa jawab Ulil? Saya tidak menghina Tuhan, saya mu'min, saya mencintai Islam, memeluk Islam lahir dan batin, tapi saya menghina pandangan kiyai yang memandang kiyai sendiri sebagai pandangan Tuhan. Itu yang saya hina. Pernyataan Ulil sangat substansial sekali.
Saya banyak kenal temen-temen JIL. Bersama Musdah (Siti Musdah Mulia; red) saya terlibat dalam penggodogkan Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam. Ketika banyak orang mengkritik kedekatan saya dengan teman JIL, saya cuma menjawab; ana fiihim bal lastu minhum (ya, saya ada bersama mereka tapi saya bukan bagian dari mereka; red)
Tapi yang ingin saya sampaikan disini bahwa apa yang diucapkan Ulil dan JIL nya bukan hal yang baru, dulu Cak Nur (Nur Kholis Madjid; red) pernah melontarkan pikiran-pikiran kontroversialnya lebih tajam dan substansiil. Bahkan sebenarnya yang disampaikan Ulil itu masih mentah, lebih matang yang pernah dilontarkan Cak Nur di era 70-an. Lihat aja, ujung-ujungnya Cak Nur sekarang lebih arif dan bisa diterima banyak orang dan sangat sufistik. Satu saat mereka (Ulil c.s; red) bakal menemukan format jiwanya sendiri.
Dengan kutub AA Gym dan Arifin Ilham bagaimana ?
Segala sesuatu ada sejarahnya. Tasawuf sebenarnya muncul sebagai solusi krisis. Pertamakali tasawuf muncul di dunia islam, ketika dunia Islam dilanda oleh materialisme, pada generasi tabi'in diperiode Umayyah. Ketika materialisme melanda sahabat dan tabi'in, maka munculah Hasan al Basri yang menawarkan paradigma lain, lahir berikutnya al Gazali dan lain sebagainya.
Jadi setiap kali ada krisis, akan muncul sufisme. Di Indonesia juga begitu, ketika krisis melanda Indonesia 1997, maka fenomena tasawuf menjadi luar biasa, buku tasawuf dan majalah semacam Cahaya Sufi ini laku keras yang dibarengi dengan kemunculan Arifin Ilham, AA Gym dan Ary Ginanjar. Semua itu berangkat dari kebutuhan psikologis secara massal.
Saya cuma ingin menegaskan bahwa anak-anak muda yang meminati tasawuf sekarang ini masih baru dalam kerangka defensif saja. Mereka galau menjalani realitas kehidupan, kemudian mereka menemukan tasawuf dan merasa cocok dengan tasawuf karena tasawuf dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini.
Jangankan anak-anak muda kita, psikolog-psikolog Barat sekarang ini banyak yang masuk ke wilayah kecerdasan spiritual, yang sebenarnya merupakan wilayah tasawuf. Tapi karena pengaruh budaya sekuler, kecerdasan spiritual yang mereka miliki hanya melayang-layang saja dan tidak akan pernah menukik menyelesaikan masalah.
Apa ada yang salah cara beragama anak muda sekarang ?
Yang salah itu keadaan. Mereka lahir kedunia bukan atas kemauan sendiri, situasi yang dijumpai sekarang juga bukan situasi yang mereka inginkan. Mereka menghadapi realita seperti ini maka begitulah respon mereka.
Bagaimana solusinya untuk yang akan datang ?
Bangsa ini butuh pemimpin besar. Orang besar adalah orang yang mampu berfikir, merasa, dan cita rasanya itu melampaui sekat-sekat ruang dimana ia berada, waktu dimana ia hidup. Itu orang besar. Karenanya si orang besar harus berfikir 50 tahun kedepan atau 100 tahun kedepan. Kalau dia berbuat dia menyadari bahwa yang diperbuat itu juga akan ditonton dan direspon oleh 200.000.000 orang.
Kalau pemimpin besar ini punya ghiroh (semangat) tasawuf itu yang akan secara alami merontokkan penyakit nasional seperti korupsi, maksiat dan lain sebagainya. Korupsi di Indonesia sudah menjadi konsep, budaya. Semua orang korupsi dan tidak merasa bersalah; ah yang lain juga begitu !. Nah ini harus diatasi dengan contoh pemimpin yang diikuti dengan peraturan, tetapi untuk masyarakat kita keteledanan yang tinggi itu lebih efektif ketimbang demokratisasi. Demokratisasi ?, lihat saja pilkada, tidak melahirkan banyak manfaat apa-apa, karena orang masih bisa dibayar, tetapi kalau keteladanan pemimpin itu efektif. Dan keteladanan itu yang dicari anak-anak muda sekarang.
Nah, kiranya untuk konteks kekinian, hanya pemimpin yang bertasawuf saja yang dapat memberikan keteladanan pada generasi mendatang. Sehingga pendekatan sufistik di era sekarang ini tidak lagi pada mencari jalan keselmatan, lebih dari itu sebuah pendekatan sufistik yang dapat membangun masa depan.
dengan Prof. DR. Ahmad Mubarok, MA
Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN, UIA & Wakil Ketua Zawiyah Haqqani
Sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah Negara, kekuasaan kerapkali digunakan untuk mengondisikan agar rakyat tetap berada dalam kebodohan yang berujung pada langgengnya kekuasaan, bertahannya status quo dan dominasi tak akan tergugat. Pada saat yang sama, ketika kekuasaan telah mendominasi kehidupan suatu bangsa, muncul gerakan perlawanan baik dilakukan dengan diam-diam atau secara terbuka.
Kaum muda, terutama di Indonesia, memiliki catatan yang membanggakan dalam merobohkan kemapanan kekuasaan yang menghisap darah segar anak-anak kandung ibu pertiwi. Sebut saja peristiwa Sumpah Pemuda 1928, misalnya, ia merupakan hasil gemilang kaum muda dalam membangkitkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air, yang berlanjut pada proses lahirnya proklamasi 17 Agustus 1945.
Begitu pula dengan gerakan tasawuf (biasanya sering diidentikan dengan gerakan tarekat), ia senantiasa hadir membawa bendera perubahan dan pencerahan ketika kekuasaan, baik lokal maupun mondial, telah dijadikan alat pembodohan masal yang anti kemanusiaan dan anti ketuhanan. Sebut saja, misalnya, sikap non kooperatif yang ditunjukkan kelompok tarekat rifa'iyyah sebagai wujud penentangan penjajahan Belanda, yang berujung dibuangnya KH Ahmad Rifa'i (selaku pimpinan tarekat) ke Ambon, Mei 1859, oleh pemerintah kolonialis. Hal yang sama juga berlaku pada Perisitwa "Pemberontakan petani Banten 1888 ", yang merupakan gerakan "massa petani" Banten yang dilandasi kesadaran tarekat dalam menghadapi kekuasaan kolonialisme Belanda yang menindas.
Dan kini, ketika kegagalan melanda manusia moderen yang tidak dapat diatasi oleh keunggulan IPTEK dan kebesaran ideologi semacam sosialisme - komunisme atau kapitalisme - liberalisme, tasawuf (atau malah gerakan tarekat) yang bersumber dari agama mulai dilirik kembali. Mereka menaruh harapan akan ditemukannya pemecahan dari problema yang muncul akibat kemajuan dunia global.
Berikut wawancara Cahaya Sufi bersama Prof. DR. Achmad Mubarok, MA seputar Tasawuf dan Kaum Muda disertai analisa kritis atas munculnya fenomena Amrozi, AA Gym - Arifin Ilham dan Ulil Abshar Abdalah dengan JIL nya.
Apa komentar anda tentang maraknya fenomena tasawuf di Indonesia, khususnya Jakarta, akhir belakangan ini ?
Tasawuf selalu relevan di setiap zaman. Terlebih dalam dunia moderen yang yang sarat tipu daya, cinta dunia, menggunting pita dalam lipatan, musang berbulu domba, tasawuf menjadi sangat relevan. Tapi….
Tapi, apa ?
Anda harus melihat fenomena tersebut secara proporsional dan jangan diputus dari sejarah masuk dan sepak terjang gerakan tasawuf atau gerakan tarekat di Indonesia.
Jelasnya ?
Islam yang masuk ke Indonesia ada dalam dua format; format pertama, fiqh dan format kedua tasawuf. Tasawuf masuk ke Indonesia dalam suasana kita melawan penjajah. Sehingga sejarah tarekat di Indonesia mencatat bahwa gerakan ini juga melakukan perlawanan kepada penjajah seperti pemberontakan Garut dan Banten.
Meski demikian, harus dicatat, bahwa fungsi tarekat ketika itu cuma dijadikan benteng pertahanan saja. Gerakan tarekat hanya memberikan ketahanan untuk bertahan hidup dari penderitaan akibat penjajahan, tidak sampai berhasil membangun sebuah bangsa. Nah ini fenomena tarekat di Indonesia. Berbeda dengan gerakan tarekat di Afrika, disamping efektif untuk melawan penjajah, gerakan tarekat disana mampu melahirkan Negara Libia. Libia moderen itu dilahirkan oleh kelompok tarekat loch !?
Sesudah itu ?
10-20 tahun pasca 17 Agustus 1945, tarekat banyak dianut oleh orang-orang awam dan pedesaan. Tarekat waktu itu masih dijadikan untuk lari dari kenyataan dunia. Karenanya, meski NU (Nahdhatul Ulama) memiliki lembaga tarekat, sumbangsihnya kepada pembentukan Negara yang lebih moderen sangat minim dirasakan. Waktu itu, masih banyak orang yang berpikiran bahwa urusan Negara itu urusan orang-orang kafir. Ulama-ulama kita saat itu banyak yang terjebak pada perdebatan fiqhiyyah seperti bagaimana hukumnya memakai celana panjang, dasi dan sebagainya.
Belakangan ini, ditengah kehidupan kaum muda muslim Indonesia muncul tiga kutub anak muda yang nampaknya tidak bertemu dalam masing-masing aksi ketiganya. Pertama, kutub Amrozi dkk dengan JI nya. Kedua, Kutub pemikiran yang diwakili Ulil Abshar dengan JIL nya. Ketiga kutub ruhani, yang diwakili AA Gym dan Arifin Ilham,. Fenomena apa ini ?
Kategorisasi yang anda berikan itu cuma perbedaan cara berpikir saja. Amrozi c.s dengan JI nya itu fundamentalisme aksi. Ulil dan JIL nya itu fundamentalisme pemikiran sedangkan AA. Gym dan Arifin Ilham fundamentalisme ruhani. Meski demikian kesemua mereka itu masih "mentah" dalam kutubnya masing-masing.
Jelasnya ?
Saya cuma ingin katakan bahwa dalam diri Amrozi ada dua kutub, yaitu kelemahlembutan dan kekerasan. Ia seperti lebah yang sepertinya tidak berbahaya, tetapi jika diganggu ia dengan sangat cepat bisa menyengat musuh.
Ia sudah terlanjur terlibat dalam konflik global, tetapi secara akademik ia yang hanya droup out madrasah aliyah tak pernah bersentuhan dengan filsafat, oleh karena itu ia tidak bisa berfikir secara mendasar.
Ia selalu memusatkan diri pada panggilan jiwanya, tetapi kurang memahami peta perjuangan. Ia siap mati demi keyakinan agamanya, tetapi ia miskin pengetahuan tentang taktik dan strategi perjuangan global. Ia siap menyerang kepentingan Amerika dimanapun berada, tetapi ia tidak bisa membedakan antara Amerika dan Australia. Ia siap membuat kalut Amerika, tetapi tidak bisa melihat bahwa dampak negatif dari aksinya justru lebih banyak menimpa negerinya sendiri (Indonesia) dan lebih banyak menimbulkan kesulitan bagi kaum muslimin yang dibelanya. Nah, Kondisi obyektif Amrozi ini hampir serupa dimiliki oleh teman-teman Amrozi.
Bagaimana dengan Ulil dan JIL nya ?
Menurut saya mereka tidak sabar melihat perjalanan NU (Nahdlatul Ulama). Mereka sudah kebelet lari, tapi NU (menurut anak-anak mudanya) tak beranjak setapak pun. Mereka "kesel" dan jumping. Mereka loncat kalau tidak ke Marxisme ya ke Liberalisme. Dalam dunia intelektual mereka membentuk JIL dan dalam format politik praktis mereka membangun FORKOT.
Saya pernah mendamaikan Ulil dengan Kiyai Athian (Ketua Forum Ulama Umat Islam Bandung; red) yang pernah menghalalkan darah Ulil. Apa kata Kiyai Athian ?, Ulil Abshar harus dihukum mati karena menghina Tuhan. Apa jawab Ulil? Saya tidak menghina Tuhan, saya mu'min, saya mencintai Islam, memeluk Islam lahir dan batin, tapi saya menghina pandangan kiyai yang memandang kiyai sendiri sebagai pandangan Tuhan. Itu yang saya hina. Pernyataan Ulil sangat substansial sekali.
Saya banyak kenal temen-temen JIL. Bersama Musdah (Siti Musdah Mulia; red) saya terlibat dalam penggodogkan Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam. Ketika banyak orang mengkritik kedekatan saya dengan teman JIL, saya cuma menjawab; ana fiihim bal lastu minhum (ya, saya ada bersama mereka tapi saya bukan bagian dari mereka; red)
Tapi yang ingin saya sampaikan disini bahwa apa yang diucapkan Ulil dan JIL nya bukan hal yang baru, dulu Cak Nur (Nur Kholis Madjid; red) pernah melontarkan pikiran-pikiran kontroversialnya lebih tajam dan substansiil. Bahkan sebenarnya yang disampaikan Ulil itu masih mentah, lebih matang yang pernah dilontarkan Cak Nur di era 70-an. Lihat aja, ujung-ujungnya Cak Nur sekarang lebih arif dan bisa diterima banyak orang dan sangat sufistik. Satu saat mereka (Ulil c.s; red) bakal menemukan format jiwanya sendiri.
Dengan kutub AA Gym dan Arifin Ilham bagaimana ?
Segala sesuatu ada sejarahnya. Tasawuf sebenarnya muncul sebagai solusi krisis. Pertamakali tasawuf muncul di dunia islam, ketika dunia Islam dilanda oleh materialisme, pada generasi tabi'in diperiode Umayyah. Ketika materialisme melanda sahabat dan tabi'in, maka munculah Hasan al Basri yang menawarkan paradigma lain, lahir berikutnya al Gazali dan lain sebagainya.
Jadi setiap kali ada krisis, akan muncul sufisme. Di Indonesia juga begitu, ketika krisis melanda Indonesia 1997, maka fenomena tasawuf menjadi luar biasa, buku tasawuf dan majalah semacam Cahaya Sufi ini laku keras yang dibarengi dengan kemunculan Arifin Ilham, AA Gym dan Ary Ginanjar. Semua itu berangkat dari kebutuhan psikologis secara massal.
Saya cuma ingin menegaskan bahwa anak-anak muda yang meminati tasawuf sekarang ini masih baru dalam kerangka defensif saja. Mereka galau menjalani realitas kehidupan, kemudian mereka menemukan tasawuf dan merasa cocok dengan tasawuf karena tasawuf dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini.
Jangankan anak-anak muda kita, psikolog-psikolog Barat sekarang ini banyak yang masuk ke wilayah kecerdasan spiritual, yang sebenarnya merupakan wilayah tasawuf. Tapi karena pengaruh budaya sekuler, kecerdasan spiritual yang mereka miliki hanya melayang-layang saja dan tidak akan pernah menukik menyelesaikan masalah.
Apa ada yang salah cara beragama anak muda sekarang ?
Yang salah itu keadaan. Mereka lahir kedunia bukan atas kemauan sendiri, situasi yang dijumpai sekarang juga bukan situasi yang mereka inginkan. Mereka menghadapi realita seperti ini maka begitulah respon mereka.
Bagaimana solusinya untuk yang akan datang ?
Bangsa ini butuh pemimpin besar. Orang besar adalah orang yang mampu berfikir, merasa, dan cita rasanya itu melampaui sekat-sekat ruang dimana ia berada, waktu dimana ia hidup. Itu orang besar. Karenanya si orang besar harus berfikir 50 tahun kedepan atau 100 tahun kedepan. Kalau dia berbuat dia menyadari bahwa yang diperbuat itu juga akan ditonton dan direspon oleh 200.000.000 orang.
Kalau pemimpin besar ini punya ghiroh (semangat) tasawuf itu yang akan secara alami merontokkan penyakit nasional seperti korupsi, maksiat dan lain sebagainya. Korupsi di Indonesia sudah menjadi konsep, budaya. Semua orang korupsi dan tidak merasa bersalah; ah yang lain juga begitu !. Nah ini harus diatasi dengan contoh pemimpin yang diikuti dengan peraturan, tetapi untuk masyarakat kita keteledanan yang tinggi itu lebih efektif ketimbang demokratisasi. Demokratisasi ?, lihat saja pilkada, tidak melahirkan banyak manfaat apa-apa, karena orang masih bisa dibayar, tetapi kalau keteladanan pemimpin itu efektif. Dan keteladanan itu yang dicari anak-anak muda sekarang.
Nah, kiranya untuk konteks kekinian, hanya pemimpin yang bertasawuf saja yang dapat memberikan keteladanan pada generasi mendatang. Sehingga pendekatan sufistik di era sekarang ini tidak lagi pada mencari jalan keselmatan, lebih dari itu sebuah pendekatan sufistik yang dapat membangun masa depan.
posted by : Mubarok institute
Sejarah Ilmu Nahwu
KOLOM
Oleh Syafiq Hasyim
Sejarahwan dan sosiolog Muslim, Ibn Khaldun pernah berkata, “Dengan ilmu nahwu dasar-dasar syariah menjadi tampak jelas. Diketahuilah beda antara fāʿil dari mafʿūl dan mubtadaʿ dari khabarnya. Jika nahwu itu tidak ada maka maka gelaplah maksud syariah.”
Minggu lalu saya ungkapkan tentang urgensi penguasaan ilmu Nahwu untuk meningkatkan kualitas diskursus keberagamaan Islam kita di ruang publik. Kali ini saya akan mulai berbicara tentang ilmu itu sendiri, yaitu dimulai dengan pembahasan atas pertanyaan, “Kapan sesungguhnya ilmu nahwu ini bermula dan bagaimana hubungannya dengan tradisi awal Islam?”
Sejarah awal ilmu nahwu dapat dilacak melalui istilah Arab al-laḥn, kebiasaan orang Arab berbicara salah secara tata bahasa (grammatical). Lalu pertanyaannya, mungkinkah seorang penutur bahasa asli (native) melakukan kesalahan tata bahasa atas bahasanya sendiri? Sangat mungkin dan itu terjadi sejak zaman dulu. Abū Ṭayyib pernah mensinyalir jika kesalahan gramatik biasa terjadi pada orang Arab pedalaman, kalangan pekerja kelas bawah (budak sahaya) dan orang yang terarabkan.
Sahabat Abu Bakar pernah berkata jika dia lebih senang mendengar orang membaca meskipun salah daripada orang yang melakukan kesalahan gramatikal. Tidak hanya Abu Bakar, sahabat Umar bin Khaṭṭāb juga sering menjumpai orang-orang di sekitar dia yang berbahasa Arab dengan tata bahasa yang salah dan terkadang membuatnya marah. Misalnya, Umar suatu saat pernah berkata, “Sungguh demi Allah, kesalahan kalian dalam berbahasa lebih berbahaya bagiku daripada kesalahn kalian dalam memanah, Wallāhi lakhaṭa’ukum fi lisānikum ashaddu ʿalayya min khaṭaʿikum fi ramyikum.” Ibn Qutaybah pernah mendengar orang pedalaman Arab azan dimana dia membaca nasab (fathah) pada lafal “rasūla,”dari kalimat komplit, “ashhadu anna muhammadar rasūlallāh.”
Hal di atas adalah sekadar contoh dari sekian banyak riwayat-riwayat lain yang menceritakan mengapa tata bahasa Arab (ilmu Nahwu) itu sudah menjadi perhatian sejak zaman Rasulullah masih hidup. Dunia Arab sebelum al-Qur’an turun sudah mencapai kemajuannya dalam bidang sastra. Karenanya, al-laḥn di sini tidak identik dengan kemajuan sastrawi itu, tapi dengan keharusan berbahasa Arab secara benar, berdasarkan hukum-hukum dasar bahasa yang disepakati. Para sahabat Nabi merasa prihatin dengan al-laḥn ini karena dampaknya bisa merusak ajaran Islam.
***
Dengan demikian, ilmu nahwu berdasarkan riwayat-riwayat yang diungkapkan di atas gejalanya sudah muncul pada masa awal-awal sejarah Islam. Iraq adalah kawasan dimana ilmu nahwu mulai menemukan identitasnya yang agak jelas. Dari Iraq kemudian berkembang ke kawasan lain sesuai dengan perkembangan Islam sebagai agama baru pada saat itu.
Lalu bagaimana kongkritnya tema-tema nahwu itu disusun?
Pendapat tentang hal ini di kalangan sejarahwan Nahwu terbelah ke dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang berpandangan jika tema-tema nahwu itu dibentuk dari peristiwa-peristiwa kesalahan gramatika masyarakat Arab sendiri. Dari peristiwa-peristiwa al-laḥn ini kemudian berkembang pada tema-tema bahasan lain. Pendapat demikian adalah yang dipegang oleh kalangan mayoritas ulama nahwu.
Kedua, mereka yang berpandangan jika tema-tema awal nahwu itu dibangun atas dasar pemikiran (istinbāt), bukan atas dasar kesalahan gramatik yang terjadi di lapangan. Bahan dasarnya adalah prinsip-prinsip umum berbahasa untuk menolak terjadinya kesalahan gramatik di kalangan masyarakat Arab saat itu. Meskipun golongan kedua ini agak siantifik, namun tidak kuat riwayatnya.
Berdasarkan dua hal ini maka sejarah pembentukan ilmu Nahwu berasal dari kawasan Arab. Hal ini sekaligus juga untuk membantah beberapa pendapat para pemikir Eropa yang menyatakan jika ilmu nahwu terbentuk setelah ada persentuhan dengan tradisi Syiriac (Suryani) dan Yunani. Para pemikir Eropa berpendapat demikian karena Iraq adalah dimana Islam bertemu dengan peradaban lain.
Namun demikian, adakah mungkin sebuah ilmu muncul tanpa keterpengaruhan atau proses interaksi dengan tradisi lain?
Di sinilah kemudian muncul pendapat tengah yang menyatakan jika benar sejarah nahwu mulai dari Iraq, murni dari kalangan Islam, namun kemudian berdealektika dengan tradisi lain. Disusun di Iraq, lalu dikembangkan definisi-definisi, lalu bersentuhan dengan budaya bahasa negara lain. Ketika pada masa orang-orang Islam belum mengenai tradisi lain di luar Islam, maka yang muncul dalam ilmu Nahwu awal adalah sangat murni Arab.
Namun keadaan mulai menjadi lain ketika para filosof Islam belajar filsafat Yunani melalui karya-karya terjemahan dalam bahasa Suryani. Perlu diketahui bahwa terjemahan filsafat Yunani dalam bahasa Suryani sangat melimpah di Iraq pada masa itu dan bahasa inilah yang menjembatani para filosof Islam belajar tentang Yunani.
Lalu siapa peletak dasarnya?
Masalah ini menjadi bahasan yang panjang lebar di kalangan para sejarahwan Nahwu seperti Ibn Ṣalām dalam Ṭabaqāt al-shuʿara’, Ibn Qutaybah dalam al-Maʿārif, al-Zujājī dalam al-Amālī, Abū Ṭayyib al-Lughawī dalam Marātib al-naḥwiyyin, al-Sayrafī dalam al-Akhbār al-naḥwiyyin al-baṣriyyin, al-Zabidī dalam al-Ṭabaqāt, Ibn Nadīm dalam al-Fahrasat, al-Anbārī dalam Nuzhat al-albā dan al-Qafṭī dalam Inbā al-ruwwa.
Mereka semua berpendapat jika peletak dasar pertama ilmu ini adalah Imam Ali karamma l-lāhu wajhahu dan Abū al-Aswad ad-Du’alī. Peneguhan Imam Ali sebagai pelatak dasar ilmu Nahwu justru berasal dari riwayat Abū Aswad al-Du’alī dimana menurutnya Imam Ali memberikan kata kunci pertama tentang ilmu Nahwu misalnya yang terakit dengan riwayat Imam Ali yang menyatakan jika kalam itu ada tiga isim, fiʿil dan huruf. Ad-Dua’lī juga bercerita bahwa Sayyidina Ali lah yang membagi kata benda (nama) menjadi tiga; kata benda lahir (ẓāhir), kata benda tidak lahir (ẓāmir) dan kata benda yang bukan keduanya. Selain Ali, ada juga yang berpandangan jika ilmu Nahwu ditemukan oleh ʿAbdur Raḥmān b. Hurmuz al-Aʿraj dan Naṣr b. ʿĀṣim.
Namun menurut mayoritas sejarahwan pendapat ini dipandang lemah. Sejarah yang benar adalah setelah Imam Ali, Nahwi dikembangkan oleh Abu al-Aswad ad-Du’alī. Al-Anbārī dan az-Zujāzī meneguhkan ad-Duʿali sebagai pelatak dasar ilmu ini setelah Imam Ali karena dialah yang mentransmisikan hal ini dari Imam Ali. Sudah menjadi kesepakatan di kalangan ulama Nahwu jika ad-Du’alī lah yang pertama memberikan harakat pada mushaf al-Qur’an. Kebenaran ini hampir tidak bisa kita pungkiri sebab hampir semua generasi salaf dan juga khalaf tidak mempermasalahkannya.
Namun demikian, ilmu baru diberikan dengan nama sebagai ilmu Nahwu justru sepeninggal ad-Du’alī. Pada masa dia, nama ilmu Nahwu adalah al-̵ʿArabiyya. Ibn Ḥajar dalam kitabnya al-Iṣābah menyatakan, “awwalu man ḍabaṭa al-muṣhaf wa waḍaʿa al-ʿarabiyyata Abū al-Aswad,” pertama kali orang yang memberi harakat pada mushaf dan yang meletakkan al-ʿarabiyya adalah Abū al-Aswad. Setelah adl-Du’alī mangkat, maka nama untuk al-ʿarabiyyata digantikan dengan Nahwu. Namun demikian, istilah Nahwu diambil dari pernyataan Abū al-Aswad di depan Imam Ali.
***
Jika kita bicara ilmu Nahwu, maka sama saja kita membicarakan suatu aliran pemikiran yang sangat penting dalam ini ini yaitu madzhab Baṣrah. Berbicara tentang madzhab Baṣrah sama dengan berbicara tentang upaya pengharakatan al-Qur’an untuk yang pertama kalinya. Ilmu Nahwu yang sekarang ini banyak dipelajari dan dibaca di seluruh dunia termasuk pesantren-pesantren di Indonesia adalah lahir dan berkembang di Baṣrah. Para ahli sepakat bahwa kemunculan cabang ilmu ini adalah untuk melindungi al-Qur’an dari cara pembacaan yang salah. Ingat bahwa al-Qur’an pada awal-awal bukan seperti al-Qur’an yang kita nikmati sekarang, ada harakatnya lengkap. Al-Qur’an pada masa itu adalah gundul, tak bertanda baca.
Bagi para tābiīn (secara bahasa pengikut sahabat) dan tābiʿit tābiʿīn (secara bahasa berarti pengikutnya tabiʿīn) yang sudah ḥāmil al-Qur’ān (hafal al-Qur’an) tiadanya tanda baca dalam al-Qur’an tidak masalah, namun bagi mereka yang tidak hafal, maka tanda baca sangat diperlukan di sini. Abū Asʿad adl-Dualī adalah pembangun awal ilmu yang disebut nahwu ini. Ad-Duʿalī mengambil inspirasi dari Sayyida Ali (r.a). Ad-Duʿalī berkata, “Jika engkau benar-benar telah melihat mulutkan membaca fathah, maka kasihlah tanda baca fatḥah di atasnya, jika mulutku sudah membaca ḍammah, maka kasihlah tanda baca ḍammah di atasnya, jika mulutku membaca kasrah, maka kasihlah tanda baca kasrah di bawahnya (Dikutip dari Ibn al-Naẓīm, al-Fahrasat, h. 59).
Dalam perkembangannya, menurut Prof. Abduh al-Rajihi dalam kitabnya, Durūs fīl-Madhāhib al-Nahwiyyah, dikatakan bahwa ternyata apa yang dilakukan oleh ad-Du’alī tidak hanya berguna untuk menjaga al-Qur’an dari “kesalahan gramatik” dari para pembaca dan penghafalnya, namun memiliki implikasi yang lebih jauh, yakni untuk mencapai prinsip-prinsip Islam yang paling mendalam (h. 10). Jika halnya yang demikian, mari kita mengingat kembali ilmu ini dan menggunakannya untuk membaca Islam –al-Qur’an, Sunnah dan turast. Sebagaimana yang disebutkan tentang peran Abu al-Awad ad-Du’alī; dimana ilmu Nahwu sudah berkembang tidak hanya menjaga kebenaran cara membaca al-Qur’an, kemudian ilmu ini tumbuh untuk memahami al-Qur’an. Bersambung...
Bahasan ilmu nahwu ini merupakan bagian kedua. Bagian pertama bisa dilihat di sini. Silakan diikuti pembahasan selanjutnya yang dikupas Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, Syafiq Hasyim. Belum lama ini ia meraih gelar Dr. Phil dari BGSMCS, FU, Berlin, Jerman.
Sumber: NU Online
Oleh Syafiq Hasyim
Sejarahwan dan sosiolog Muslim, Ibn Khaldun pernah berkata, “Dengan ilmu nahwu dasar-dasar syariah menjadi tampak jelas. Diketahuilah beda antara fāʿil dari mafʿūl dan mubtadaʿ dari khabarnya. Jika nahwu itu tidak ada maka maka gelaplah maksud syariah.”
Minggu lalu saya ungkapkan tentang urgensi penguasaan ilmu Nahwu untuk meningkatkan kualitas diskursus keberagamaan Islam kita di ruang publik. Kali ini saya akan mulai berbicara tentang ilmu itu sendiri, yaitu dimulai dengan pembahasan atas pertanyaan, “Kapan sesungguhnya ilmu nahwu ini bermula dan bagaimana hubungannya dengan tradisi awal Islam?”
Sejarah awal ilmu nahwu dapat dilacak melalui istilah Arab al-laḥn, kebiasaan orang Arab berbicara salah secara tata bahasa (grammatical). Lalu pertanyaannya, mungkinkah seorang penutur bahasa asli (native) melakukan kesalahan tata bahasa atas bahasanya sendiri? Sangat mungkin dan itu terjadi sejak zaman dulu. Abū Ṭayyib pernah mensinyalir jika kesalahan gramatik biasa terjadi pada orang Arab pedalaman, kalangan pekerja kelas bawah (budak sahaya) dan orang yang terarabkan.
Sahabat Abu Bakar pernah berkata jika dia lebih senang mendengar orang membaca meskipun salah daripada orang yang melakukan kesalahan gramatikal. Tidak hanya Abu Bakar, sahabat Umar bin Khaṭṭāb juga sering menjumpai orang-orang di sekitar dia yang berbahasa Arab dengan tata bahasa yang salah dan terkadang membuatnya marah. Misalnya, Umar suatu saat pernah berkata, “Sungguh demi Allah, kesalahan kalian dalam berbahasa lebih berbahaya bagiku daripada kesalahn kalian dalam memanah, Wallāhi lakhaṭa’ukum fi lisānikum ashaddu ʿalayya min khaṭaʿikum fi ramyikum.” Ibn Qutaybah pernah mendengar orang pedalaman Arab azan dimana dia membaca nasab (fathah) pada lafal “rasūla,”dari kalimat komplit, “ashhadu anna muhammadar rasūlallāh.”
Hal di atas adalah sekadar contoh dari sekian banyak riwayat-riwayat lain yang menceritakan mengapa tata bahasa Arab (ilmu Nahwu) itu sudah menjadi perhatian sejak zaman Rasulullah masih hidup. Dunia Arab sebelum al-Qur’an turun sudah mencapai kemajuannya dalam bidang sastra. Karenanya, al-laḥn di sini tidak identik dengan kemajuan sastrawi itu, tapi dengan keharusan berbahasa Arab secara benar, berdasarkan hukum-hukum dasar bahasa yang disepakati. Para sahabat Nabi merasa prihatin dengan al-laḥn ini karena dampaknya bisa merusak ajaran Islam.
***
Dengan demikian, ilmu nahwu berdasarkan riwayat-riwayat yang diungkapkan di atas gejalanya sudah muncul pada masa awal-awal sejarah Islam. Iraq adalah kawasan dimana ilmu nahwu mulai menemukan identitasnya yang agak jelas. Dari Iraq kemudian berkembang ke kawasan lain sesuai dengan perkembangan Islam sebagai agama baru pada saat itu.
Lalu bagaimana kongkritnya tema-tema nahwu itu disusun?
Pendapat tentang hal ini di kalangan sejarahwan Nahwu terbelah ke dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang berpandangan jika tema-tema nahwu itu dibentuk dari peristiwa-peristiwa kesalahan gramatika masyarakat Arab sendiri. Dari peristiwa-peristiwa al-laḥn ini kemudian berkembang pada tema-tema bahasan lain. Pendapat demikian adalah yang dipegang oleh kalangan mayoritas ulama nahwu.
Kedua, mereka yang berpandangan jika tema-tema awal nahwu itu dibangun atas dasar pemikiran (istinbāt), bukan atas dasar kesalahan gramatik yang terjadi di lapangan. Bahan dasarnya adalah prinsip-prinsip umum berbahasa untuk menolak terjadinya kesalahan gramatik di kalangan masyarakat Arab saat itu. Meskipun golongan kedua ini agak siantifik, namun tidak kuat riwayatnya.
Berdasarkan dua hal ini maka sejarah pembentukan ilmu Nahwu berasal dari kawasan Arab. Hal ini sekaligus juga untuk membantah beberapa pendapat para pemikir Eropa yang menyatakan jika ilmu nahwu terbentuk setelah ada persentuhan dengan tradisi Syiriac (Suryani) dan Yunani. Para pemikir Eropa berpendapat demikian karena Iraq adalah dimana Islam bertemu dengan peradaban lain.
Namun demikian, adakah mungkin sebuah ilmu muncul tanpa keterpengaruhan atau proses interaksi dengan tradisi lain?
Di sinilah kemudian muncul pendapat tengah yang menyatakan jika benar sejarah nahwu mulai dari Iraq, murni dari kalangan Islam, namun kemudian berdealektika dengan tradisi lain. Disusun di Iraq, lalu dikembangkan definisi-definisi, lalu bersentuhan dengan budaya bahasa negara lain. Ketika pada masa orang-orang Islam belum mengenai tradisi lain di luar Islam, maka yang muncul dalam ilmu Nahwu awal adalah sangat murni Arab.
Namun keadaan mulai menjadi lain ketika para filosof Islam belajar filsafat Yunani melalui karya-karya terjemahan dalam bahasa Suryani. Perlu diketahui bahwa terjemahan filsafat Yunani dalam bahasa Suryani sangat melimpah di Iraq pada masa itu dan bahasa inilah yang menjembatani para filosof Islam belajar tentang Yunani.
Lalu siapa peletak dasarnya?
Masalah ini menjadi bahasan yang panjang lebar di kalangan para sejarahwan Nahwu seperti Ibn Ṣalām dalam Ṭabaqāt al-shuʿara’, Ibn Qutaybah dalam al-Maʿārif, al-Zujājī dalam al-Amālī, Abū Ṭayyib al-Lughawī dalam Marātib al-naḥwiyyin, al-Sayrafī dalam al-Akhbār al-naḥwiyyin al-baṣriyyin, al-Zabidī dalam al-Ṭabaqāt, Ibn Nadīm dalam al-Fahrasat, al-Anbārī dalam Nuzhat al-albā dan al-Qafṭī dalam Inbā al-ruwwa.
Mereka semua berpendapat jika peletak dasar pertama ilmu ini adalah Imam Ali karamma l-lāhu wajhahu dan Abū al-Aswad ad-Du’alī. Peneguhan Imam Ali sebagai pelatak dasar ilmu Nahwu justru berasal dari riwayat Abū Aswad al-Du’alī dimana menurutnya Imam Ali memberikan kata kunci pertama tentang ilmu Nahwu misalnya yang terakit dengan riwayat Imam Ali yang menyatakan jika kalam itu ada tiga isim, fiʿil dan huruf. Ad-Dua’lī juga bercerita bahwa Sayyidina Ali lah yang membagi kata benda (nama) menjadi tiga; kata benda lahir (ẓāhir), kata benda tidak lahir (ẓāmir) dan kata benda yang bukan keduanya. Selain Ali, ada juga yang berpandangan jika ilmu Nahwu ditemukan oleh ʿAbdur Raḥmān b. Hurmuz al-Aʿraj dan Naṣr b. ʿĀṣim.
Namun menurut mayoritas sejarahwan pendapat ini dipandang lemah. Sejarah yang benar adalah setelah Imam Ali, Nahwi dikembangkan oleh Abu al-Aswad ad-Du’alī. Al-Anbārī dan az-Zujāzī meneguhkan ad-Duʿali sebagai pelatak dasar ilmu ini setelah Imam Ali karena dialah yang mentransmisikan hal ini dari Imam Ali. Sudah menjadi kesepakatan di kalangan ulama Nahwu jika ad-Du’alī lah yang pertama memberikan harakat pada mushaf al-Qur’an. Kebenaran ini hampir tidak bisa kita pungkiri sebab hampir semua generasi salaf dan juga khalaf tidak mempermasalahkannya.
Namun demikian, ilmu baru diberikan dengan nama sebagai ilmu Nahwu justru sepeninggal ad-Du’alī. Pada masa dia, nama ilmu Nahwu adalah al-̵ʿArabiyya. Ibn Ḥajar dalam kitabnya al-Iṣābah menyatakan, “awwalu man ḍabaṭa al-muṣhaf wa waḍaʿa al-ʿarabiyyata Abū al-Aswad,” pertama kali orang yang memberi harakat pada mushaf dan yang meletakkan al-ʿarabiyya adalah Abū al-Aswad. Setelah adl-Du’alī mangkat, maka nama untuk al-ʿarabiyyata digantikan dengan Nahwu. Namun demikian, istilah Nahwu diambil dari pernyataan Abū al-Aswad di depan Imam Ali.
***
Jika kita bicara ilmu Nahwu, maka sama saja kita membicarakan suatu aliran pemikiran yang sangat penting dalam ini ini yaitu madzhab Baṣrah. Berbicara tentang madzhab Baṣrah sama dengan berbicara tentang upaya pengharakatan al-Qur’an untuk yang pertama kalinya. Ilmu Nahwu yang sekarang ini banyak dipelajari dan dibaca di seluruh dunia termasuk pesantren-pesantren di Indonesia adalah lahir dan berkembang di Baṣrah. Para ahli sepakat bahwa kemunculan cabang ilmu ini adalah untuk melindungi al-Qur’an dari cara pembacaan yang salah. Ingat bahwa al-Qur’an pada awal-awal bukan seperti al-Qur’an yang kita nikmati sekarang, ada harakatnya lengkap. Al-Qur’an pada masa itu adalah gundul, tak bertanda baca.
Bagi para tābiīn (secara bahasa pengikut sahabat) dan tābiʿit tābiʿīn (secara bahasa berarti pengikutnya tabiʿīn) yang sudah ḥāmil al-Qur’ān (hafal al-Qur’an) tiadanya tanda baca dalam al-Qur’an tidak masalah, namun bagi mereka yang tidak hafal, maka tanda baca sangat diperlukan di sini. Abū Asʿad adl-Dualī adalah pembangun awal ilmu yang disebut nahwu ini. Ad-Duʿalī mengambil inspirasi dari Sayyida Ali (r.a). Ad-Duʿalī berkata, “Jika engkau benar-benar telah melihat mulutkan membaca fathah, maka kasihlah tanda baca fatḥah di atasnya, jika mulutku sudah membaca ḍammah, maka kasihlah tanda baca ḍammah di atasnya, jika mulutku membaca kasrah, maka kasihlah tanda baca kasrah di bawahnya (Dikutip dari Ibn al-Naẓīm, al-Fahrasat, h. 59).
Dalam perkembangannya, menurut Prof. Abduh al-Rajihi dalam kitabnya, Durūs fīl-Madhāhib al-Nahwiyyah, dikatakan bahwa ternyata apa yang dilakukan oleh ad-Du’alī tidak hanya berguna untuk menjaga al-Qur’an dari “kesalahan gramatik” dari para pembaca dan penghafalnya, namun memiliki implikasi yang lebih jauh, yakni untuk mencapai prinsip-prinsip Islam yang paling mendalam (h. 10). Jika halnya yang demikian, mari kita mengingat kembali ilmu ini dan menggunakannya untuk membaca Islam –al-Qur’an, Sunnah dan turast. Sebagaimana yang disebutkan tentang peran Abu al-Awad ad-Du’alī; dimana ilmu Nahwu sudah berkembang tidak hanya menjaga kebenaran cara membaca al-Qur’an, kemudian ilmu ini tumbuh untuk memahami al-Qur’an. Bersambung...
Bahasan ilmu nahwu ini merupakan bagian kedua. Bagian pertama bisa dilihat di sini. Silakan diikuti pembahasan selanjutnya yang dikupas Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, Syafiq Hasyim. Belum lama ini ia meraih gelar Dr. Phil dari BGSMCS, FU, Berlin, Jerman.
Sumber: NU Online
Sunday, May 4, 2014
Muhammadiyah Bukan Pengikut Ibn Taimiyah
Semua orang mengakui kehebatan Ibn Taimiyah, bahkan sangat men-idolakanya, sampai-sampai lupa bahwa Ibn Taimiyah itu ternyata manusia biasa. Ibn Taimiyah di anggab sebagai pembaharu Islam, sampai-sampai kalangan cendikiawan Muhammadiyah meng-identifikasan bawa KH Ahmad Dahlan itu mengikuti pemikiran dan terpenggaruh pemikiranya.
Berbagai buku-buku klasik dan modern, selalu mejadikan Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Al-Afgani sebagai tokoh-tokoh sentral perubahan dan tajdid dalam islam. KH Ahmad Dahlan di anggab sosok pembaharu di Indonesia yang berusaha memurnikan ajaran islam sesuai dengan Al-Quran dan sunnah Rosulullah SAW. KH Ahmad Dahlan di anggab sebagai penggerak utama di dalam mememerangi kesyirikan, bidah (mengad-ngada), khurafat dan tahayyul. Yang terkenal dalam istilah orang Muhammadiyah dengan TBC (Tahayyul, Bidah, dan Khurafat).
Karena begitu kentalnya doktrin TBC kepada warga Muhammadiyah, sampai-sampai orang-orang yang masih bergumul dengan Islam Abangan tidak mendapat tempat di Muhammadiyah. Bahkan, orang-orang yang masih suka berziarah kubur, tahlilan, manakiban, tawassulan, membaca barzanji, dan maulidan juga di anggab mengikuti aliran TCB, dengan kata lain ahli Neraka.
Padahal realitas di lapangan orang-orang Muhammadiyah terdiri dari empat kelompok (1) Islam Murni Pengikut setia KH Ahmad Dahlan (2) Munu (Muhammadiyah NU), (2) Munas (Muhammadiyah Nasionalis (4) Marmud (Muhammadiyah-Marhaenis).[1]
Kelompok yang pertama inilah yang bermasalah, artinya merasa paling benar, sesuai dengan ajaran Al-quran dan Hadis, sementara yang lain tidak sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Karena pemahaman merasa lebih baik dan paling benar itu yang salah kaprah. Tidak heran jika kelompok lain yang mengikuti tahlilan, selamatan, istigosahan, maulidan dan membaca mauled Nabi SAW dikatakan sebagai ahli bidah.
Bahkan, sampai membaca lafadz Usolli sebelum takbiratul Ihram, dan membaca qunut subuh juga di anggab bidah (mengad-ngada), karena tidak diajarakan oleh Rosulullah SAW. Padahal KH Ahmad Dahlan sendiri itu juga melakukan maulidan, tahlilan, membaca Usolli, serta membaca qunut subuh. Ini jelas-jelas salah faham memahami ajaran yang islam.
KH Ahmad Dahlan memang dalam masalah gerakan islam sedikit terpenggaruh oleh bacaan-bacaan kitab-kitab dan majalah Al-Manar. Sebab, kondisi Nusantara waktu masih memang masih dalam gengaman Belanda. Bukan hanya KH Ahmad Dahlan, Syekh Nawawi Al-Bantani, KH Hasyim Asaary juga berfikir dan membagun sebuah gerakan melawan Belanda agar umat Islam di Nusantara bisa merdeka, bebas menjalankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Bahkan, gerakan itu sudah di awali oleh ulama-ulama nusantara yang bermukim di Makkah. Mereka mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Madrasah Darul Ulum Al-Diniyah. Salah satu pendirinya ialah Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani di Makkah.
Dengan demikian, KH Ahmad Dahlan itu sangat toleransi terhadap budaya dan tradisi Jawa. Secara akidah dan madzhab beliau tidak berubah, yaitu berteologi Abu Hasan Al-Asyaary dan mengikuti madzhab Al-Syafii, dan termasuk seorang sufi. Beliau juga ingin mencerdaskan umat islam Indonesia melalui pendekatan pendidikan formal, serta dunia kesehatan serta mempedayakan ekonomi.
Sedangkan jika di katakana jika KH Ahmad Dahlan terpenggaruh pemikiran Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh bisa dikatakan tidak sepenuhnya benar. Sebab, ajaran Ibn Taimiyah, yang kemudian menjadi sebuah gerakan Wahabi yang dipromotori langsung oleh Syekh Abdul Wahab itu ialah memurnikan islam dalam segi akidah. Sampai-sampai semua kitab akidah yang tidak sesuai dengan akidahnya Syekh Abdul Wahab di katakan keluar dari Al-Quran dan sunnah.
Jika melihat dari gerakan yang dilakukan oleh Syekh Abdul Wahab (wahabisme) yang akarnya dari Ibn Taimiyah, maka KH Ahmad Dahlan bukan termasuk di dalamnya. Sebab, KH Ahmad Dahlan juga sosok yang belajar dan mendalami tasawuf. Tasawuf bagi Ibn Taimiyah dan kaum Wahabisme merupakan sumber kesesatan. Pada ahirnya, Ibn Taimiyah itu ahirnya bertoubat dari apa yang selama itu diyakini dan di ajarkan kepada masyarakat waktu itu.
Beberapa fatwa Ibn Taimiyah yang kontroversi, sekaligus menyulut kemarahan ulama-ulama waktu antara lain:’
Allah itu memiliku muka.
Allah itu duduk bersila di atas arsy.
Allah itu ada di atas, boleh di tunjuk dengan telunjuk.
Allah itu berjalan di atas awan.
Terkait dengan nama dan sifat-sifat Allah SWT di dalam Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW tidak boleh di ta’wil. Dan barang siapa mentakwil atau mentafsir ayat Allah SWT, orang itu tersesat, dikutuk, dan harus bertaubat kepada Allah SWT.
Ibn Batutah dalam sebuah lawanya, yang terkenal dalam kitab Rihlan Ibn Batutah, beliau pernah menceritakan:’’suatu ketika saat aku berada di Dimask (Damaskus), tepatnya pada hari jumat. Ibn Taimiyah sedang pidato di atas mimbar Masjid Damsyik (Damasukus), di antara ucapanya dikatakan Tuhan Allah turun kelangit dunia tiap-tiap malam, seperti turunya saya ini, lalu ia turun dari Mimbar’’.
Kebetulan waktu itu hadis seorang ulama fikih yang bernama Ibnu Zahra’ mendebat Ibn Taimiyah, karena menyerupakan Allah SWT dengan dirinya ketika turun dari Mimbar Masjid.Tetapi murid-murid Ibn Taimiyah memukul Ibn Zahra dan membawanya ke Qohi Izzudin Ibn Muslim (hakim agung) untuk melaporkan tindakan Ibn Zahra’. Qodhi Izzudin adalah hakim dalam madzab Ibn Hambali, sama dengan madzhabnya Ibn Taimiyah.
Selanjutnya, Qodhi Izzudin menghukum Ibnu Zahra dan memasukkan ke dalam penjara dalam beberapa hari. Melihat Ibn Zahra di penjara, para ulama fikih bermadzhab Syafii dan Maliki memprotes keputusanya. Lanatas ulama-ulama fikih di atas membawa perkara ini pada seorang Raja Besar yang bernama Saifuddin Tankiz.
Ibnu Batuthah mengatakan”’raju itu orang baik’’. Raja itu memerintahkan kepada Raja Nastir di Kairo agar supaya membawa Ibn Taimiyah kepengadilan tinggi, karena fatwanya dalam agama banyak yang salah.
Lebih lnjut lanjut lagi Ibnu Batuthah menceritakan bahwa fatwa Ibn Taimiyah ialah bahwa talaq tiga yang dijatuhkan sekaligus jatuh satu, dan ziarah ke Madinah ke Makam Nabi Muhammad adalah maksiat (mungkar) dll.
Atas dasar itulah kemudian Ibn Taimiyah dipenjara di Dimask (Damaskus) sampai beliau memenuhi ajalnya, pada tahun 27 syawwal 728 H.[2]
Prof.Dr. Hasan Hetto ulam Ahlussunnah Wal Jamaah ketika sedang melakukan Daurah Al-Tasqif Al-Syari lil Ulum Al-Islamiyah lil Baniin bi Indonisia (3-16 Juli 2006), Beliau pernah menceritakan bawa dirinya memiliki tulisan tangan tangan seputar taubatnya Ibn Taimiyah. Ucapan beliau saya perhatikan dan kemudian saya cari bagaimana tulisan seputar taubatnya Ibn Taimiyah.
الحمد الله، الذي أعتقده أن في القرءان معنى قائم بذات الله
وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية وهو غير مخلوق، وليس بحرف ولا صوت،
وليس هو حالا في مخلوق أصلا ولا ورق ولا حبر ولا غير ذلك، والذي أعتقده في
قوله: ? الرحمن على آلعرش آستوى ? [سورة طه] أنه على ما قال الجماعة
الحاضرون وليس على حقيقته وظاهره، ولا أعلم كنه المراد به، بل لا يعلم ذلك
إلا الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء أقول فيه ما أقول فيه لا
أعرف كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله، وليس على حقيقته وظاهره كما
قال الجماعة الحاضرون، وكل ما يخالف هذا الاعتقاد فهو باطل، وكل ما في خطي
أو لفظي مما يخالف ذلك فهو باطل، وكل ما في ذلك مما فيه إضلال الخلق أو
نسبة ما لا يليق بالله إليه فأنا بريء منه فقد تبرأت منه وتائب إلى الله من
كل ما يخالفه وكل ما كتبته وقلته في هذه الورقة فأنا مختار فى ذلك غير
مكره.
(كتبه أحمد بن تيمية) وذلك يوم الخميس سادس شهر ربيع الآخر سنة سبع وسبعمائة.
(Ahmad Ibnu Taimiyyah)
Kamis, 6 Rabiul Awwal 707 Hijriyah.
Begitulah penjelasan dari Dr. Hasan Heto seputar taubatnya Syekh Ibn Taimiyah. Dengan demikian, KH Ahmad Dahlan tahu yang mana harus di ikuti dalam ber-teologi, bermadhab, serta bagaimana ber-tasawuf sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah. Adappun sikap yang dilakukan KH Ahmad Dahlan di dalam memberantas TBC, KH Ahmad Dahlan tahu betul makna Tahayyul, Bidah, Khurafat, karena beliau ahli bahasa Arab dan betahun-tahun belajar kepada Syekh Sholih Darat, Sayed Abu Bakar Shata, Syehk Ahmad Khatib Minangkabawi. Jangan salah kaparah memahami pemurnian islam secara sempit, karena KH Ahmad Dahlam ulama yang berkualitas ilmu dan spritualnya.
Ditulis oleh : Ustadz Abdul Adzim Irsyad
——————————————-
[1] . Abdul Munir Mulkhan.2010. Marhaenis Muhammadiyah (Galangpress-Jokjakarta) hlm 17
[2] . KH Sirajudin Abbas.2005. 40 MASALAH AGAMA (Pustaka Tarbiyah-Jakarta) hlm 2/ 217
Thursday, May 1, 2014
[DIJUAL] Batu Safir (Sapphire Stone)
DIJUAL CINCIN BATU MULIA SAFIR (SAPPHIRE STONE)
Nama Lengkap : Natural Color Change Bi-Color Sapphire
Keterangan ID dari TGL(Tasbih Scientific Gemological Laboratory):
Shape, Setting & Mounting: Oval Mix Cut
Color: Green Yellow to Orange
Weight: 1.420 crt
Refractive Index: 1.77
Comments: (NH) No Treatment detected
Ring: Srilangka 15, Silver(Perak)
Harga: Rp 3.000.000,- ( Nego )
Berminat?
Hubungi
Telp/SMS: 089652216350 / 08569019029
Twitter: @dimasdwicahyo
Facebook: Dimas Dwi Cahyo
Hanya menerima daerah;
Jakarta Selatan: Kebayoran - Gandaria - Senayan
Tangerang: Bintaro - Serpong - Ciledug
C.O.D
Subscribe to:
Posts (Atom)