Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Perwujudan
dari pemuliaan tahadap Tuhan adalah pemuliaan terhadap ciptaan-Nya.
Tidak semestinya pihak tertentu bersikap keras kepada pihak lain hanya
karena perbedaan paham dan agama.
Pandangan ini mencuat dalam
seminar toleransi beragama di auditorium Universitas Hasyim Asy’ari
(Unhasy) Jombang, Jawa Timur, Senin (12/5). Salah seorang pembicara, KH
Abdul Muhaimin, mengisahkan pengalamannya mengahdapi intoleransi yang
terjadi di Yogyakarta.
Pengasuh Pondok Pesantren Putri Nurul
Ummahat Yogyakarta tersebut bercerita, setelah menampung pengungsi gempa
Jogja yang mayoritas Muslim dalam gereja-geraja mereka, umat Katolik
dihadang oleh Front Jihad Islam (FJI). Menurutnya, ulah kelompok garis
keras ini sangat tidak sesuai dengan ide-ide Islam sendiri.
Ia
mengatakan, membantu orang lain tidak dibatasi oleh agama. “Membantu
anjing saja orang bisa masuk surga, menganiaya kucing orang bisa masuk
neraka. Itu hewan. Bagaimana dengan manusia?” ungkap penggagas
Jogjakarta The City of Tolerans itu.
Seminar yang digelar
mahasiswa Pascasarjana Unhasy Program Studi Hukum Islam bersama Pusat
Kajian Pesantren dan Demokrasi Pesantren Tebuireng ini dihadiri sejumlah
narasumber, antara lain Dr KH Ahmad Zahro, Rektor Universitas Islam
Darul Ulum (Unipdu) yang juga Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya;
Pendeta Romo Purhastanto, lulusan Universitas Tokyo Jepang; dan Ketua
Gusdurian Jombang, Aan Anshori.
Zahro menyampaikan bahwa umat Islam itu terlau banyak membahas ayat-ayat qital
(peperangan) dan memahaminya secara tekstual. Padahal ayat-ayat tasamuh
atau toleransi sangat banyak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun sejarah
Rasulullah, termasuk dalam beberapa hadist.
“Wajar saja kita mengaku benar. Tapi kalau ngaku benar dewe yo iku seng dadi masalah (kalau mengaku benar sendiri itu yang menjadi masalah),” ungkapnya.
Direktur
Pascasarjana Unhasy Makinuddin juga bercerita tentang pengalamannya
dalam bertoleransi. Ia mengaku sejak kecil telah bersinggungan dengan
umat Katolik. Makinudin juga mengatakan bahwa toleransi adalah hal yang
tidak asing di Tebuireng.
“Sudah biasa Tebuireng berhubungan dengan non-muslim, para pendeta, biksu. Wes biasa,” tegasnya.
Romo
Anto, panggilan akrab Romo Purhastanto memaparkan survei tingkat
beragama masyarakat Jepang. Pria yang 14 tahun tinggal di Negeri Sakura
itu memaparkan bahwa di Jepang, lebih dari 60% warganya mengaku tidak
beragama, 36% mengaku Budha, dan sisanya adalah Shinto, Kristen, Islam
dan lainnya.
Survei tingkat beribadah pula menunjukkan bahwa
sebagian besar warga Jepang beribadah setahun sekali. Tapi, meski
mayoritas tak beragama, masyarakat di sana bisa menunjukkan moralitas
yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama
justru menunjukkan moralitas yang rendah dalam hal toleransi. (Anwar Muhamad/Mahbib)
No comments:
Post a Comment