Bila
ditilik dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), memang selalu
menarik untuk dibicarakan dan diperbincangkan. Karena organisasi ini
lahir atas inisiatif kaum tradisionalis (kalangan pesantren), yang
memang betul dan paham terhadap kondisi sosial keagamaan sebelum NU
lahir.
Karena pada kondisi itu, amaliah dan ajaran Islam
ahlusunnah wal jamaah terancam ditiadakan bahkan dihabisi oleh suatu
kelompok yang berpaham Wahabi. Kelompok Wahabi ini adalah kelompok yang
anti tradisi Islam yang tidak ada di dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Mereka
menganggap tradisi dan amaliah yang tidak ada dalam keduanya adalah
bid’ah. Bahkan yang tidak bid’ah pun dianggap bid’ah dan syirik, seperti
membaca tahlil, yasinan, diba’an, dan ziarah kubur dilarang. Sehinga
ulama pesantren dengan tegas berpendapat, bahwa ajaran Islam ahlussunnah
wal jama’ah wajib dipertahankan dan dilestarikan.
Selain dengan
latar belakang di atas NU lahir dinakodai oleh para kiai, seperti
Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri
Sansuri. Dan NU lahir tidak sebagaimana organisasi-organisasi lainnya,
lahirnya NU adalah sebuah hasil perjuangan dan istikharah para kiai. NU
tidak hanya sekedar oraganisasi yang banyak jamaahnya, akan tetapi
lahirnya NU mampu memberikan sumbangsih besar terhadap perjalanan bangsa
Indonesia.
Salah satu tokohnya, seperti Kiai Wahid Hasyim pernah
menjadi Mentri Agama dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menjadi
Presiden Republik Indonesia. Maka tidak berlebihan jika banyak orang
dan kalangan selalu membicarakan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi
terbesar di Indonesia.
Peristiwa berdirinya Nadlatul Ulama (NU)
juga tidak terlepas dari beberapa organisasi yang dibentuk oleh para
tokoh NU, seperti Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Nadlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air), Taswirul Afkar (Forum Diskusi), Nahdlatut
Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang) dan lain-lain. Dengan terbentuknya
organisasi ini, maka pada akhirnya terbentuklah juga sebuah organisasi
besar yang mewadahi para ulama dan kalangan tradisionalis (pesantren).
Tepatnya pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, para ulama
terkemuka se Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk mendirikan
sebuah organisasi yang kemudian diberi nama Jamiyah Nahdlatul Ulama
(NU). Inilah salah satu perjalanan dan proses NU berdiri, dengan harapan
untuk mempertahankan dan memperjuangkan ajaran Islam ahlussunnah wal
jama’ah (Aswaja).
Buku yang ditulis oleh Kiai Buyairi Harits ini
sangatlah lengkap, yang didalamnya menjelaskan trentang seluk beluknya
mengapa NU didirikan, mengapa akidah ahlussunnah wal jamaah harus
diperjuangkan, dan lengkap dengan amaliah-amaliahnya. Dalam buku ini
penulis juga menjelaskan tentang sistem bermazhabnya orang NU. Di
komunitas NU istilah mazhab sudah lama dikenal. Karena di NU selalu
bergulat dengan fiqh yang berpegangan pada salah satu imam mazhab yang
empat, yakni mulai dari Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam
Hanbali. Dari imam mazhab yang empat tersebut, diwajibkan hukumnya bagi
umat Islam mengikuti salah satunya. Karena dalam konteks hukum dan fiqh
NU wajib mengikuti salah satu mazhab yang empat, dikhawatirkan terjadi
percampuradukan antara yang hak dan yang batil, atau tergelincir dalam
kesalahan atau mengambil hukum yang mudah-mudah dan cenderung seenaknya
(36-37).
Dan yang menarik dalam buku ini dijelaskan tentang
amaliah NU yang harus dijaga, dilestarikan, dikembangkan dan
dipertahankan oleh warganya khususnya umat Islam hingga akhir zaman.
Adapun amaliah NU dibidang ubudiyah, seperti melafazkan niat sebelum
shalat, membaca basmalah dalam surat al-fatihah, qonut pada shalat
subuh, membaca wirid setelah shalat, berjabat tangan setelah shalat,
bilal pada shalat jum’at, khotib jum’at memegang tongkat, dan bilangan
rakaat shalat tarawih di dalam buku ini penulis menjelaskan secara
sistematis lengkap dengan dalil-dalilnya.
Dalam bidang muamalah
(sosial), seperti mengharumkan tubuh mayit dengan membakar dupa,
mengantarkan jenazah sambil membaca lafad la Ilaha Illallah, adzan
setelah mayit diletakkan dalam kubur, talqin, dan ziarah kubur juga
dijelaskan dalam buku ini lengkap dengan dalil-dalilnya.
Dengan
membaca buku ini setidaknya pembaca bisa mengetahui tentang NU, mulai
dari sejarah berdirinya hingga mengetahui terhadap ajaran-ajarannya.
Karena sampai saat ini sudah banyak golongan, seperti orang Wahabi
memulai merusak bahkan memberikan fatwah syirik dan haram melakukan
tradisi amaliah NU. Mereka berpandangan bahwa amaliah yang dilakukan
oleh warga NU, seperti mebaca tahlil, istghosah, yasinan, dibaan, dan
ziarah kubur adalah perbuatan bid’ah. Padahal dalam buku ini dijelaskan
melakukan amaliah yang sering dilakukakan oleh warga NU hukumnya boleh
dan mendapat pahala, tidak haram dan tidak syirik.
Salah satu
tugas Nadlatul Ulama (NU) kedepan, adalah menjaga pesantren, pengayom
umat, mensejahterakan warganya, dan melestarikan ajaran dan amaliahnya.
Dan selama ini, sepertinya NU lebih cenderung kepada gerakan politiknya
bukan kepada gerakan sosial keagamaanya. Karena NU bukanlah organisasi
politik (ijtimaiyah wassiyasiyah), NU adalah organisasi sosial keagamaan
(ijtimaiyah wadiniyah). Semoga dalam kepemimpinan Kiai Sahal Mahfudh
dan Kiai Said Aqil Siraj ini, mampu memberikan nuansa baru bagaimana NU
bisa maju dan meneladani kepemimpinan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari.
wallhu a’lam
No comments:
Post a Comment