Salah satu nasehat abadi Guru Besar kami, mendiang Abuya asSayyid
Muhammad Bin Alwy Al-Maliky adalah, "Al-adab fauqol ilm". Bahwa
tatakrama adalah di atas ilmu.
Kesantunan, kesopanan, cara bergaul yang baik, rendah hati, adalah segala-galanya bagi seseorang dalam hidup ini.
Boleh jadi selama ini kita telah begitu banyak sekali mencari, menuntut dan mendapat ilmu, bahkan tak sedikit yang benar-benar mencapai puncak pencarian itu.
Prestasi akademik yang membanggakan, titel-titel hebat yang berderet di
depan dan belakang nama lahir, penemuan-penemuan ilmiah yg mengagumkan.
Namun apakah dengan perolehan dan torehan ilmiah yang luar
biasa itu, undangan seminar ke sana kemari, telah membuat hati ini
merunduk?
Karena, jika memperhatikan fenomena kehidupan saat
ini, bisa dibilang secara ilmiah, kualitas otak bangsa ini semakin bagus
dan tinggi. Namun kenapa secara tatakrama semakin menurun? Banyak
sekali nilai-nilai yg dulu merupakan karakter khas bangsa ini lambat
laun menghilang.
Tentu saja secara otomatis yang terjadi
kemudian adalah split personality. Semestinya semakin tingginya kualitas
berpikir tidak membuat seseorang makin culas dan kacau akhlaknya.
Pertanyaan sederhana, apakah dalam lembaga-lembaga pendidikan formal
tidak diajarkan bagaimana bertatakrama misalkan? Paling tidak,
murid/mahasiswa diajari ketat untuk hormat takdzim kepada guru/dosen?
Karena setinggi apapun ilmu seseorang namun tanpa disertai dengan
tatakrama tinggi, hanya akan membuat nilai pribadinya tidak berbobot
apapun di depan masyarakat. Bahkan semestinya yang dituntut adalah
tatakrama harus lebih tinggi.
Kita adalah bangsa pengkonsumsi
padi, namun ironisnya filosofi padi yang selama ini ditanamkan dengan
ketat oleh nenek moyang bangsa itu sepertinya lambat laun memudar dengan
begitu cepat.
Tak ada faedah apapun seseorang bergelar Doktor
di depannya atau Master di belakangnya tetapi kelakuannya begitu kurang
ajar misalkan. Sebab ketiadaan atau buruknya kualitas tatakrama dalam
diri seseorang tak hanya merugikan diri sendiri, namun orang lain juga
lingkungan.
Contoh paling nyata di depan mata kita adalah
fenomena (atau apa sudah jadi budaya?) korupsi, penulis yakin 90%
pelakunya adalah mereka yang selama ini mengaku memeluk Islam dan bahkan
juga rajin sholat. Dan karena kebetulan praktek korupsi yang banyak
terjadi itu di dunia birokrasi, tentunya pelakunya adalah muslim-muslim
berpendidikan formal tinggi dengan banyak embel-embel gelar akademis
yang hebat.
Kenapa hal yang cukup sangat kontras ini bisa
terjadi? Kemana ilmu begitu tinggi yang dipelajari lama (bahkan sampai
ke Luar Negeri) itu? Kenapa tak memberikan perbaikan?
Secara
tabiat, pada dasarnya ilmu itu panas, dan dalam proses pencariannya
membutuhkan semacam refrigerator, pendingin. Nah, pendingin dari
"panas"-nya karakter ilmu itu adalah dengan diimbangi belajar tatakrama
dan penghancuran hati melalui banyak media dan aplikasi.
Uniknya, media-media pendingin ilmu itu banyak terdapat dalam Tasawwuf.
Keadaan tentu semakin runyam saat ada berusaha yang melarang tasawwuf.
Maka, pengalaman pribadi penulis adalah tidak pernah menemukan pelajar
muslim yang menggeluti tasawwuf dengan baik yang sikapnya kurang ajar.
Sebaliknya, rata-rata orang yang kelakuannya kurang ajar (baik sadar
atau tidak) adalah mereka yang selama ini tidak atau kurang benar dalam
mendalami tasawwuf, meski itu pelajar ilmu-ilmu agama yang agung.
Maka yang perlu dan harus dipikirkan kembali oleh para pakar pendidikan
saat ini adalah kembali memikirkan dengan mendalam untuk mensinkronkan
ulang tatakrama dengan ilmu di lembaga-lembaga pendidikan khususnya
dunia pendidikan formal.
Bukan hanya sekedar berupa
teori-teori keagamaan, teori-teori norma, namun praktek bersama secara
langsung. Menumbuhkan kembali nilai-nilai yang hilang.
Banyaknya skandal-skandal berbau seks dan pornografi di dunia pendidikan
level SMP-SMA adalah bukti nyata efek negatif ketiadaan tatakrama itu.
Sementara dalam satu waktu yang sama mereka bukanlah siswa-siswa bodoh,
banyak yang prestasi akademiknya mengagumkan dan cerdas di atas
rata-rata.
Itu yg terungkap di media, yang undercover? Nah,
bagaimana nasib masa depan bangsa ini jika generasi mudanya telah remuk
sedemikian rupa? PR dakwah masih cukup banyak, konsentrasi saja pada
Tauhid atau Fiqh adalah kekurangbijakan, harus dikawal dengan tasawwuf,
dengan tazkiyah.
Atau jika memang tidak mau ada label-label
religi atau rohani masuk lembaga-lembaga pendidikan formal, setidaknya
ajarkan norma-norma budaya setempat dan moral kebangsaan.
Semoga tulisan seperti ini sampai kepada instansi-instansi yang berkait
dengan dunia pendidikan di Tanah Air, sampai ke Bapak Menteri
Pendidikan. Semoga mencerahkan, catat dalam benak baik-baik, peram dalam
jiwa, bahwa tatakrama adalah di atas ilmu, Al-adab fauqol ilm. Salam.
No comments:
Post a Comment