Pages

Saturday, May 17, 2014

Membantu Orang Lain itu Tidak Pandang Agamanya

Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Perwujudan dari pemuliaan tahadap Tuhan adalah pemuliaan terhadap ciptaan-Nya. Tidak semestinya pihak tertentu bersikap keras kepada pihak lain hanya karena perbedaan paham dan agama.

Pandangan ini mencuat dalam seminar toleransi beragama di auditorium Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Jombang, Jawa Timur, Senin (12/5). Salah seorang pembicara, KH Abdul Muhaimin, mengisahkan pengalamannya mengahdapi intoleransi yang terjadi di Yogyakarta.

Pengasuh Pondok Pesantren Putri Nurul Ummahat Yogyakarta tersebut bercerita, setelah menampung pengungsi gempa Jogja yang mayoritas Muslim dalam gereja-geraja mereka, umat Katolik dihadang oleh Front Jihad Islam (FJI). Menurutnya, ulah kelompok garis keras ini sangat tidak sesuai dengan ide-ide Islam sendiri.

Ia mengatakan, membantu orang lain tidak dibatasi oleh agama. “Membantu anjing saja orang bisa masuk surga, menganiaya kucing orang bisa masuk neraka. Itu hewan. Bagaimana dengan manusia?” ungkap penggagas Jogjakarta The City of Tolerans itu.

Seminar yang digelar mahasiswa Pascasarjana Unhasy Program Studi Hukum Islam bersama Pusat Kajian Pesantren dan Demokrasi Pesantren Tebuireng ini dihadiri sejumlah narasumber, antara lain Dr KH Ahmad Zahro, Rektor Universitas Islam Darul Ulum (Unipdu) yang juga Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya; Pendeta Romo Purhastanto, lulusan Universitas Tokyo Jepang; dan Ketua Gusdurian Jombang, Aan Anshori.

Zahro menyampaikan bahwa umat Islam itu terlau banyak membahas ayat-ayat qital (peperangan) dan memahaminya secara tekstual. Padahal ayat-ayat tasamuh atau toleransi sangat banyak dijelaskan dalam al-Qur’an maupun sejarah Rasulullah, termasuk dalam beberapa hadist.

“Wajar saja kita mengaku benar. Tapi kalau ngaku benar dewe yo iku seng dadi masalah (kalau mengaku benar sendiri itu yang menjadi masalah),” ungkapnya.

Direktur Pascasarjana Unhasy Makinuddin juga bercerita tentang pengalamannya dalam bertoleransi. Ia mengaku sejak kecil telah bersinggungan dengan umat Katolik. Makinudin juga mengatakan bahwa toleransi adalah hal yang tidak asing di Tebuireng.

“Sudah biasa Tebuireng berhubungan dengan non-muslim, para pendeta, biksu. Wes biasa,” tegasnya.

Romo Anto, panggilan akrab Romo Purhastanto memaparkan survei tingkat beragama masyarakat Jepang. Pria yang 14 tahun tinggal di Negeri Sakura itu memaparkan bahwa di Jepang, lebih dari 60% warganya mengaku tidak beragama, 36% mengaku Budha, dan sisanya adalah Shinto, Kristen, Islam dan lainnya.

Survei tingkat beribadah pula menunjukkan bahwa sebagian besar warga Jepang beribadah setahun sekali. Tapi, meski mayoritas tak beragama, masyarakat di sana bisa menunjukkan moralitas yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama justru menunjukkan moralitas yang rendah dalam hal toleransi. (Anwar Muhamad/Mahbib)

No comments:

Post a Comment