KOLOM
Oleh Syafiq Hasyim
Sejarahwan dan sosiolog Muslim, Ibn Khaldun
pernah berkata, “Dengan ilmu nahwu dasar-dasar syariah menjadi tampak
jelas. Diketahuilah beda antara fāʿil dari mafʿūl dan mubtadaʿ dari
khabarnya. Jika nahwu itu tidak ada maka maka gelaplah maksud syariah.”
Minggu
lalu saya ungkapkan tentang urgensi penguasaan ilmu Nahwu untuk
meningkatkan kualitas diskursus keberagamaan Islam kita di ruang publik.
Kali ini saya akan mulai berbicara tentang ilmu itu sendiri, yaitu
dimulai dengan pembahasan atas pertanyaan, “Kapan sesungguhnya ilmu
nahwu ini bermula dan bagaimana hubungannya dengan tradisi awal Islam?”
Sejarah awal ilmu nahwu dapat dilacak melalui istilah Arab al-laḥn, kebiasaan orang Arab berbicara salah secara tata bahasa (grammatical). Lalu pertanyaannya, mungkinkah seorang penutur bahasa asli (native)
melakukan kesalahan tata bahasa atas bahasanya sendiri? Sangat mungkin
dan itu terjadi sejak zaman dulu. Abū Ṭayyib pernah mensinyalir jika
kesalahan gramatik biasa terjadi pada orang Arab pedalaman, kalangan
pekerja kelas bawah (budak sahaya) dan orang yang terarabkan.
Sahabat
Abu Bakar pernah berkata jika dia lebih senang mendengar orang membaca
meskipun salah daripada orang yang melakukan kesalahan gramatikal. Tidak
hanya Abu Bakar, sahabat Umar bin Khaṭṭāb juga sering menjumpai
orang-orang di sekitar dia yang berbahasa Arab dengan tata bahasa yang
salah dan terkadang membuatnya marah. Misalnya, Umar suatu saat pernah
berkata, “Sungguh demi Allah, kesalahan kalian dalam berbahasa lebih
berbahaya bagiku daripada kesalahn kalian dalam memanah, Wallāhi lakhaṭa’ukum fi lisānikum ashaddu ʿalayya min khaṭaʿikum fi ramyikum.” Ibn Qutaybah pernah mendengar orang pedalaman Arab azan dimana dia membaca nasab (fathah) pada lafal “rasūla,”dari kalimat komplit, “ashhadu anna muhammadar rasūlallāh.”
Hal
di atas adalah sekadar contoh dari sekian banyak riwayat-riwayat lain
yang menceritakan mengapa tata bahasa Arab (ilmu Nahwu) itu sudah
menjadi perhatian sejak zaman Rasulullah masih hidup. Dunia Arab sebelum
al-Qur’an turun sudah mencapai kemajuannya dalam bidang sastra.
Karenanya, al-laḥn di sini tidak identik dengan kemajuan
sastrawi itu, tapi dengan keharusan berbahasa Arab secara benar,
berdasarkan hukum-hukum dasar bahasa yang disepakati. Para sahabat Nabi
merasa prihatin dengan al-laḥn ini karena dampaknya bisa merusak ajaran
Islam.
***
Dengan demikian, ilmu nahwu berdasarkan
riwayat-riwayat yang diungkapkan di atas gejalanya sudah muncul pada
masa awal-awal sejarah Islam. Iraq adalah kawasan dimana ilmu nahwu
mulai menemukan identitasnya yang agak jelas. Dari Iraq kemudian
berkembang ke kawasan lain sesuai dengan perkembangan Islam sebagai
agama baru pada saat itu.
Lalu bagaimana kongkritnya tema-tema nahwu itu disusun?
Pendapat
tentang hal ini di kalangan sejarahwan Nahwu terbelah ke dalam dua
kelompok. Pertama, mereka yang berpandangan jika tema-tema nahwu itu
dibentuk dari peristiwa-peristiwa kesalahan gramatika masyarakat Arab
sendiri. Dari peristiwa-peristiwa al-laḥn ini kemudian
berkembang pada tema-tema bahasan lain. Pendapat demikian adalah yang
dipegang oleh kalangan mayoritas ulama nahwu.
Kedua, mereka yang berpandangan jika tema-tema awal nahwu itu dibangun atas dasar pemikiran (istinbāt),
bukan atas dasar kesalahan gramatik yang terjadi di lapangan. Bahan
dasarnya adalah prinsip-prinsip umum berbahasa untuk menolak terjadinya
kesalahan gramatik di kalangan masyarakat Arab saat itu. Meskipun
golongan kedua ini agak siantifik, namun tidak kuat riwayatnya.
Berdasarkan
dua hal ini maka sejarah pembentukan ilmu Nahwu berasal dari kawasan
Arab. Hal ini sekaligus juga untuk membantah beberapa pendapat para
pemikir Eropa yang menyatakan jika ilmu nahwu terbentuk setelah ada
persentuhan dengan tradisi Syiriac (Suryani) dan Yunani. Para pemikir
Eropa berpendapat demikian karena Iraq adalah dimana Islam bertemu
dengan peradaban lain.
Namun demikian, adakah mungkin sebuah ilmu muncul tanpa keterpengaruhan atau proses interaksi dengan tradisi lain?
Di
sinilah kemudian muncul pendapat tengah yang menyatakan jika benar
sejarah nahwu mulai dari Iraq, murni dari kalangan Islam, namun kemudian
berdealektika dengan tradisi lain. Disusun di Iraq, lalu dikembangkan
definisi-definisi, lalu bersentuhan dengan budaya bahasa negara lain.
Ketika pada masa orang-orang Islam belum mengenai tradisi lain di luar
Islam, maka yang muncul dalam ilmu Nahwu awal adalah sangat murni Arab.
Namun
keadaan mulai menjadi lain ketika para filosof Islam belajar filsafat
Yunani melalui karya-karya terjemahan dalam bahasa Suryani. Perlu
diketahui bahwa terjemahan filsafat Yunani dalam bahasa Suryani sangat
melimpah di Iraq pada masa itu dan bahasa inilah yang menjembatani para
filosof Islam belajar tentang Yunani.
Lalu siapa peletak dasarnya?
Masalah ini menjadi bahasan yang panjang lebar di kalangan para sejarahwan Nahwu seperti Ibn Ṣalām dalam Ṭabaqāt al-shuʿara’, Ibn Qutaybah dalam al-Maʿārif, al-Zujājī dalam al-Amālī, Abū Ṭayyib al-Lughawī dalam Marātib al-naḥwiyyin, al-Sayrafī dalam al-Akhbār al-naḥwiyyin al-baṣriyyin, al-Zabidī dalam al-Ṭabaqāt, Ibn Nadīm dalam al-Fahrasat, al-Anbārī dalam Nuzhat al-albā dan al-Qafṭī dalam Inbā al-ruwwa.
Mereka
semua berpendapat jika peletak dasar pertama ilmu ini adalah Imam Ali
karamma l-lāhu wajhahu dan Abū al-Aswad ad-Du’alī. Peneguhan Imam Ali
sebagai pelatak dasar ilmu Nahwu justru berasal dari riwayat Abū Aswad
al-Du’alī dimana menurutnya Imam Ali memberikan kata kunci pertama
tentang ilmu Nahwu misalnya yang terakit dengan riwayat Imam Ali yang
menyatakan jika kalam itu ada tiga isim, fiʿil dan huruf.
Ad-Dua’lī juga bercerita bahwa Sayyidina Ali lah yang membagi kata
benda (nama) menjadi tiga; kata benda lahir (ẓāhir), kata benda tidak
lahir (ẓāmir) dan kata benda yang bukan keduanya. Selain Ali, ada juga
yang berpandangan jika ilmu Nahwu ditemukan oleh ʿAbdur Raḥmān b.
Hurmuz al-Aʿraj dan Naṣr b. ʿĀṣim.
Namun menurut mayoritas
sejarahwan pendapat ini dipandang lemah. Sejarah yang benar adalah
setelah Imam Ali, Nahwi dikembangkan oleh Abu al-Aswad ad-Du’alī.
Al-Anbārī dan az-Zujāzī meneguhkan ad-Duʿali sebagai pelatak dasar ilmu
ini setelah Imam Ali karena dialah yang mentransmisikan hal ini dari
Imam Ali. Sudah menjadi kesepakatan di kalangan ulama Nahwu jika
ad-Du’alī lah yang pertama memberikan harakat pada mushaf al-Qur’an.
Kebenaran ini hampir tidak bisa kita pungkiri sebab hampir semua
generasi salaf dan juga khalaf tidak mempermasalahkannya.
Namun
demikian, ilmu baru diberikan dengan nama sebagai ilmu Nahwu justru
sepeninggal ad-Du’alī. Pada masa dia, nama ilmu Nahwu adalah
al-̵ʿArabiyya. Ibn Ḥajar dalam kitabnya al-Iṣābah menyatakan, “awwalu
man ḍabaṭa al-muṣhaf wa waḍaʿa al-ʿarabiyyata Abū al-Aswad,” pertama
kali orang yang memberi harakat pada mushaf dan yang meletakkan
al-ʿarabiyya adalah Abū al-Aswad. Setelah adl-Du’alī mangkat, maka nama
untuk al-ʿarabiyyata digantikan dengan Nahwu. Namun demikian, istilah
Nahwu diambil dari pernyataan Abū al-Aswad di depan Imam Ali.
***
Jika
kita bicara ilmu Nahwu, maka sama saja kita membicarakan suatu aliran
pemikiran yang sangat penting dalam ini ini yaitu madzhab Baṣrah.
Berbicara tentang madzhab Baṣrah sama dengan berbicara tentang upaya
pengharakatan al-Qur’an untuk yang pertama kalinya. Ilmu Nahwu yang
sekarang ini banyak dipelajari dan dibaca di seluruh dunia termasuk
pesantren-pesantren di Indonesia adalah lahir dan berkembang di Baṣrah.
Para ahli sepakat bahwa kemunculan cabang ilmu ini adalah untuk
melindungi al-Qur’an dari cara pembacaan yang salah. Ingat bahwa
al-Qur’an pada awal-awal bukan seperti al-Qur’an yang kita nikmati
sekarang, ada harakatnya lengkap. Al-Qur’an pada masa itu adalah gundul,
tak bertanda baca.
Bagi para tābiīn (secara bahasa pengikut
sahabat) dan tābiʿit tābiʿīn (secara bahasa berarti pengikutnya tabiʿīn)
yang sudah ḥāmil al-Qur’ān (hafal al-Qur’an) tiadanya tanda baca dalam
al-Qur’an tidak masalah, namun bagi mereka yang tidak hafal, maka tanda
baca sangat diperlukan di sini. Abū Asʿad adl-Dualī adalah pembangun
awal ilmu yang disebut nahwu ini. Ad-Duʿalī mengambil inspirasi dari
Sayyida Ali (r.a). Ad-Duʿalī berkata, “Jika engkau benar-benar telah
melihat mulutkan membaca fathah, maka kasihlah tanda baca fatḥah di
atasnya, jika mulutku sudah membaca ḍammah, maka kasihlah tanda baca
ḍammah di atasnya, jika mulutku membaca kasrah, maka kasihlah tanda baca
kasrah di bawahnya (Dikutip dari Ibn al-Naẓīm, al-Fahrasat, h. 59).
Dalam
perkembangannya, menurut Prof. Abduh al-Rajihi dalam kitabnya, Durūs
fīl-Madhāhib al-Nahwiyyah, dikatakan bahwa ternyata apa yang dilakukan
oleh ad-Du’alī tidak hanya berguna untuk menjaga al-Qur’an dari
“kesalahan gramatik” dari para pembaca dan penghafalnya, namun memiliki
implikasi yang lebih jauh, yakni untuk mencapai prinsip-prinsip Islam
yang paling mendalam (h. 10). Jika halnya yang demikian, mari kita
mengingat kembali ilmu ini dan menggunakannya untuk membaca Islam
–al-Qur’an, Sunnah dan turast. Sebagaimana yang disebutkan tentang peran
Abu al-Awad ad-Du’alī; dimana ilmu Nahwu sudah berkembang tidak hanya
menjaga kebenaran cara membaca al-Qur’an, kemudian ilmu ini tumbuh untuk
memahami al-Qur’an. Bersambung...
Bahasan ilmu nahwu ini merupakan bagian kedua. Bagian pertama bisa dilihat di sini.
Silakan diikuti pembahasan selanjutnya yang dikupas Rais Syuriyah
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman, Syafiq Hasyim.
Belum lama ini ia meraih gelar Dr. Phil dari BGSMCS, FU, Berlin, Jerman.
Sumber: NU Online
No comments:
Post a Comment