Pages

Saturday, November 1, 2014

Mempelajari Karakteristik Penghuni Surga


_
Oleh: Doni Febriando

Menurut logika normal, seharusnya saya tidak mungkin menulis tema ini. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba merasa perlu menulis ilmu ini. Saat asyik cuci piring dan gelas seusai sahur, tiba-tiba ada ilham masuk. Terpikir ilmu ini dan merasa suatu hari nanti akan berguna.
Jujur ilmu ini untuk konsumsi pribadi. Sebab ilmu ini belum sempurna, masih ijtihad diri saya yang masih sangat muda (23 tahun). Mustahil sudah betul. Saya masih sangat sangat butuh banyak belajar. Jadi, para pembaca sekalian hendaknya memposisikan tulisan saya ini sebagai beras, jangan dianggap sudah nasi.
Karena masih “beras”, berarti masih perlu dimasak lagi. Jangan menganggap isi tulisan saya sudah final dan pantas diikuti secara massal.
***
Mungkin tidak saat Anda jalan-jalan di taman surga nanti melihat orang bertengkar?
“Lho! Kamu kan warga Muhammadiyah, kok bisa masuk surga?!” kata penghuni surga A.
“Justru aku yang harusnya heran! Nahdliyyin seharusnya ahli neraka!” kata penghuni surga B.
“Salah semua! Kalian berdua seharusnya digoreng bareng di neraka! Kalian berdua tidak sepaham dan tidak satu partai denganku sewaktu masih di dunia!” kata penghuni surga C.
Mungkin tidak ada kejadian seaneh itu di surga? Kok rasa-rasanya mustahil ada pertengkaran di surga.
Dari kemustahilan tersebut, kita bisa memetik ilmu hikmahnya. Caranya tinggal dibalik peristiwa tersebut. Poin pertama, berarti ciri-ciri calon penghuni surga adalah orang yang selama hidupnya di dunia tidak memiliki ego yang tinggi.
Kalau dianalisa, sebab pertengkaran si A, si B, dan si C hanya masalah ego saja. Karena si A lahir di keluarga NU, maka si A menganggap amalan warga Muhammadiyah tidak sehebat dirinya. Karena si B lahir di keluarga Muhammadiyah, maka si B menganggap nahdliyyin itu ahli bid’ah. Si C lebih gawat, karena si C lebih jelas memperlihatkan egonya.
Padahal, seperti kita tahu, si A, si B, dan si C bukan nabi semua. Berarti hikmah yang bisa petik, tidak ada manusia pasca kewafatan Nabi Muhammad SAW yang terjamin pasti masuk surga, apalagi bisa mengkapling-kapling surga orang lain.
Indonesia sebertengkar sekarang ini karena mayoritas mengidap pola pemikiran si C. Kalau tidak sepaham dan satu partai dengan dirinya, maka orang lain itu kafir. Kalau sudah mendukung Prabowo, maka alim ulama sekaliber Profesor Quraish Shihab divonis masuk neraka, hanya karena beliau itu terang-terangan mendukung Jokowi. Begitu pula sebaliknya.
Skala lebih kecil, prilaku si C bisa kita temukan sehari-hari di banyak orang. Karena merasa dirinya ustadzah dan berjilbab, maka ia memvonis tetangganya yang tidak berjilbab masuk neraka semua. Karena merasa dirinya rajin shalat, maka ia memvonis temannya yang bolong-bolong shalatnya masuk neraka semua. Berprilaku seperti si C bukan? Hanya “bajunya” beda-beda. Ada yang pakai alasan jilbab, alasan shalat, alasan haji, alasan organisasi, alasan capres, dan sebagainya.
Polanya tetap sama; siapa yang tidak seperti diriku, maka ia pasti masuk neraka.
***
Kalau kita kembangkan lagi poin pertama, maka lahir poin kedua dan ketiga tentang karaktistik para penghuni surga.
Poin kedua, para penghuni surga semasa hidup di dunia rendah hati semua. Ciri-cirinya saat masih hidup di dunia yaitu tidak menggantungkan diri pada amal shalih. Kalau ia rajin shalat, one day five juz, ahli sedekah, maka ia tidak akan memamerkan amal shalihnya.
Pamer itu tidak mesti dalam bentuk cerita lisan. Pamer bisa juga “diceritakan” melalui sikap. Ada orang yang suka marah-marah pada banyak orang tanpa sebab. Bisa jadi orang itu sedang ingin pamer keshalehan dirinya sendiri. Jadi, marahnya itu pura-pura saja, karena batinnya sedang tersenyum bangga pada amal shalihnya sendiri. Sombong.
Gus Dur semasa hidup tidak suka marah-marah bukan karena tidak tahu dosa-dosa banyak orang. Beliau hanya tidak pernah menggantungkan dirinya pada amal shalih. Gus Dur semasa hidup luar biasa ibadahnya. Tidak cuma rajin shalat dan pernah naik haji, Gus Dur sangat kuat bacaan Qur’annya. Sehari beliau mampu mendaraskan lima juz. Kedermawanan beliau pun sangat kuat, sehingga saat meninggal Gus Dur hanya memegang uang Rp. 200.000,00 saja.
Gus Dur semasa hidup sukanya mengayomi para pendosa, karena beliau orangnya rendah hati. Jutaan amal shalih yang pernah beliau lakukan tidak pernah dijadikan alat untuk mengagung-agungkan diri di depan para pendosa.
Tidak mungkin surga isinya para ahli ibadah yang saling mengagung-agungkan amal shalihnya. Betul tidak?
Poin ketiga, para penghuni surga semasa hidup memiliki sifat welas asih. Ciri-cirinya saat masih hidup di dunia yaitu sibuk mencintai dan melayani orang lain. Orang yang memiliki sifat welas asih tidak mungkin egois.
Mustahil para penghuni surga semasa hidup adalah orang-orang yang egois. Sibuk mencintai dirinya sendiri, sibuk melayani dirinya sendiri. Kalau orang lain tidak seperti dirinya, ia akan marah-marah. Tidak sepaham dianggap tidak “mencintai” pemikiran dirinya. Tidak satu capres dianggap tidak “melayani” pilihan politik dirinya.
Para calon penghuni surga pasti saat di dunia sibuk mencintai dan melayani orang lain. Orang yang tidak sebagus dirinya diayomi. Orang yang tidak seberuntung dirinya ditolongi. Hidupnya penuh cinta dan kedamaian.
***
Nabi Muhammad SAW pernah bercerita kalau surga itu tidak seperti bayangan orang-orang. Saking luar biasa indahnya, sampai-sampai tidak bisa dilukiskan dengan khayalan.
Ini pemikiran saya pribadi, jangan dianggap sudah benar; jangan-jangan surga itu lebih ke “suasana”. Saya menduga lebih ke arah immateriil, karena rasa-rasanya aneh kalau kenikmatan surga itu isinya istana-istana megah, perhiasan-perhiasan mewah, dan bidadari-bidadari cantik. Kalau yang seperti itu, rasa-rasanya kok seperti masuk ke diskotik.
Cukup bawa uang satu milyar rupiah, masak sudah langsung dapat merasakan kenikmatan-kenikmatan surgawi? Terlalu rendah kalau kenikmatan khas surga bisa dibeli dengan uang. Seperti diskotik saja.
Mungkin surga itu seperti Indonesia. Tanahnya subur, memiliki ribuan jenis flora-fauna, suhunya hangat, air berlimpah, bergunung-gunung, dan sebagainya. Hanya saja di surga kita bisa langsung melihat Allah dan dikelilingi orang-orang yang berakhlak baik.
Bisa jadi... Karena kalau surga itu kenikmatannya berupa materiil, tentu akan luar biasa membosankan. Para pembaca sekalian yang dari kalangan orang kaya pasti paham maksud saya. Tiap malam tidur di hotel berbintang lima, serba dilayani banyak orang, selalu makan-minum di restoran, bergelimang perhiasan mewah, punya istri super cantik, dan sebagainya itu tidak istimewa.
Punya rumah kecil di desa yang permai, memiliki keluarga harmonis, semua tetangganya berakhlak baik, berkumpulnya dengan orang-orang shalih, dan tiap hari isinya bergembira rasa-rasanya lebih terasa “surga”. Bisa jadi...
***
Kalau kenikmatan surga tidak bersumber pada sesuatu yang materiil, berarti kita bisa menikmati surga tanpa harus meninggal terlebih dahulu. Kita cukup lakukan poin satu, dua, dan tiga di atas. Tetap lakukan terus-menerus, meski lingkungan tidak mendukung.
Ketika kita istiqomah berbuat baik, maka Allah akan memberikan surga dunia kepada kita. Surga yang lebih sejati, surga yang tidak ternilai. Bisa dengan Allah memberi hidayah ke orang-orang sekeliling kita. Atau bisa juga Allah memindahkan kita ke lingkungan yang surgawi. Pasti itu.
Setiap perbuatan ada jodohnya. Kalau berbuat baik, maka jodohnya akan kebaikan. Kalau berbuat buruk, maka jodohnya akan keburukan. Hanya saja datangnya jodoh perbuatan bisa sehari, seminggu, empat bulan, atau sepuluh tahun kemudian. Tergantung kebijaksanaan Allah.
Saran saya, jangan mencari surga, tapi pantaskanlah diri Anda untuk dicari surga. Seperti halnya mekanisme pernikahan. Ketika Anda adalah calon imam yang baik, maka bidadari akan mencari Anda.

No comments:

Post a Comment