Pages

Saturday, February 22, 2014

ISLAM NU : Pengawal Tradisi Sunni Indonesia

Bila ditilik dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), memang selalu menarik untuk dibicarakan dan diperbincangkan. Karena organisasi ini lahir atas inisiatif kaum tradisionalis (kalangan pesantren), yang memang betul dan paham terhadap kondisi sosial keagamaan sebelum NU lahir.

Karena pada kondisi itu, amaliah dan ajaran Islam ahlusunnah wal jamaah terancam ditiadakan bahkan dihabisi oleh suatu kelompok yang berpaham Wahabi. Kelompok Wahabi ini adalah kelompok yang anti tradisi Islam yang tidak ada di dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

Mereka menganggap tradisi dan amaliah yang tidak ada dalam keduanya adalah bid’ah. Bahkan yang tidak bid’ah pun dianggap bid’ah dan syirik, seperti membaca tahlil, yasinan, diba’an, dan ziarah kubur dilarang. Sehinga ulama pesantren dengan tegas berpendapat, bahwa ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah wajib dipertahankan dan dilestarikan.

Selain dengan latar belakang di atas NU lahir dinakodai oleh para kiai, seperti Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Sansuri. Dan NU lahir tidak sebagaimana organisasi-organisasi lainnya, lahirnya NU adalah sebuah hasil perjuangan dan istikharah para kiai. NU tidak hanya sekedar oraganisasi yang banyak jamaahnya, akan tetapi lahirnya NU mampu memberikan sumbangsih besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia.

Salah satu tokohnya, seperti Kiai Wahid Hasyim pernah menjadi Mentri Agama dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Maka tidak berlebihan jika banyak orang dan kalangan selalu membicarakan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi terbesar di Indonesia.

Peristiwa berdirinya Nadlatul Ulama (NU) juga tidak terlepas dari beberapa organisasi yang dibentuk oleh para tokoh NU, seperti Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air), Nadlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Taswirul Afkar (Forum Diskusi), Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang) dan lain-lain. Dengan terbentuknya organisasi ini, maka pada akhirnya terbentuklah juga sebuah organisasi besar yang mewadahi para ulama dan kalangan tradisionalis (pesantren). Tepatnya pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, para ulama terkemuka se Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk mendirikan sebuah organisasi yang kemudian diberi nama Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Inilah salah satu perjalanan dan proses NU berdiri, dengan harapan untuk mempertahankan dan memperjuangkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja).

Buku yang ditulis oleh Kiai Buyairi Harits ini sangatlah lengkap, yang didalamnya menjelaskan trentang seluk beluknya mengapa NU didirikan, mengapa akidah ahlussunnah wal jamaah harus diperjuangkan, dan lengkap dengan amaliah-amaliahnya. Dalam buku ini penulis juga menjelaskan tentang sistem bermazhabnya orang NU. Di komunitas NU istilah mazhab sudah lama dikenal. Karena di NU selalu bergulat dengan fiqh yang berpegangan pada salah satu imam mazhab yang empat, yakni mulai dari Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Dari imam mazhab yang empat tersebut, diwajibkan hukumnya bagi umat Islam mengikuti salah satunya. Karena dalam konteks hukum dan fiqh NU wajib mengikuti salah satu mazhab yang empat, dikhawatirkan terjadi percampuradukan antara yang hak dan yang batil, atau tergelincir dalam kesalahan atau mengambil hukum yang mudah-mudah dan cenderung seenaknya (36-37).

Dan yang menarik dalam buku ini dijelaskan tentang amaliah NU yang harus dijaga, dilestarikan, dikembangkan dan dipertahankan oleh warganya khususnya umat Islam hingga akhir zaman. Adapun amaliah NU dibidang ubudiyah, seperti melafazkan niat sebelum shalat, membaca basmalah dalam surat al-fatihah, qonut pada shalat subuh, membaca wirid setelah shalat, berjabat tangan setelah shalat, bilal pada shalat jum’at, khotib jum’at memegang tongkat, dan bilangan rakaat shalat tarawih di dalam buku ini penulis menjelaskan secara sistematis lengkap dengan dalil-dalilnya.

Dalam bidang muamalah (sosial), seperti mengharumkan tubuh mayit dengan membakar dupa, mengantarkan jenazah sambil membaca lafad la Ilaha Illallah, adzan setelah mayit diletakkan dalam kubur, talqin, dan ziarah kubur juga dijelaskan dalam buku ini lengkap dengan dalil-dalilnya.

Dengan membaca buku ini setidaknya pembaca bisa mengetahui tentang NU, mulai dari sejarah berdirinya hingga mengetahui terhadap ajaran-ajarannya. Karena sampai saat ini sudah banyak golongan, seperti orang Wahabi memulai merusak bahkan memberikan fatwah syirik dan haram melakukan tradisi amaliah NU. Mereka berpandangan bahwa amaliah yang dilakukan oleh warga NU, seperti mebaca tahlil, istghosah, yasinan, dibaan, dan ziarah kubur adalah perbuatan bid’ah. Padahal dalam buku ini dijelaskan melakukan amaliah yang sering dilakukakan oleh warga NU hukumnya boleh dan mendapat pahala, tidak haram dan tidak syirik.

Salah satu tugas Nadlatul Ulama (NU) kedepan, adalah menjaga pesantren, pengayom umat, mensejahterakan warganya, dan melestarikan ajaran dan amaliahnya. Dan selama ini, sepertinya NU lebih cenderung kepada gerakan politiknya bukan kepada gerakan sosial keagamaanya. Karena NU bukanlah organisasi politik (ijtimaiyah wassiyasiyah), NU adalah organisasi sosial keagamaan (ijtimaiyah wadiniyah). Semoga dalam kepemimpinan Kiai Sahal Mahfudh dan Kiai Said Aqil Siraj ini, mampu memberikan nuansa baru bagaimana NU bisa maju dan meneladani kepemimpinan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. wallhu a’lam

No comments:

Post a Comment