Pages

Friday, February 21, 2014

Moral; Di atas Ilmu

Salah satu nasehat abadi Guru Besar kami, mendiang Abuya asSayyid Muhammad Bin Alwy Al-Maliky adalah, "Al-adab fauqol ilm". Bahwa tatakrama adalah di atas ilmu.

Kesantunan, kesopanan, cara bergaul yang baik, rendah hati, adalah segala-galanya bagi seseorang dalam hidup ini.

Boleh jadi selama ini kita telah begitu banyak sekali mencari, menuntut dan mendapat ilmu, bahkan tak sedikit yang benar-benar mencapai puncak pencarian itu.
Prestasi akademik yang membanggakan, titel-titel hebat yang berderet di depan dan belakang nama lahir, penemuan-penemuan ilmiah yg mengagumkan.

Namun apakah dengan perolehan dan torehan ilmiah yang luar biasa itu, undangan seminar ke sana kemari, telah membuat hati ini merunduk?

Karena, jika memperhatikan fenomena kehidupan saat ini, bisa dibilang secara ilmiah, kualitas otak bangsa ini semakin bagus dan tinggi. Namun kenapa secara tatakrama semakin menurun? Banyak sekali nilai-nilai yg dulu merupakan karakter khas bangsa ini lambat laun menghilang.

Tentu saja secara otomatis yang terjadi kemudian adalah split personality. Semestinya semakin tingginya kualitas berpikir tidak membuat seseorang makin culas dan kacau akhlaknya.

Pertanyaan sederhana, apakah dalam lembaga-lembaga pendidikan formal tidak diajarkan bagaimana bertatakrama misalkan? Paling tidak, murid/mahasiswa diajari ketat untuk hormat takdzim kepada guru/dosen?

Karena setinggi apapun ilmu seseorang namun tanpa disertai dengan tatakrama tinggi, hanya akan membuat nilai pribadinya tidak berbobot apapun di depan masyarakat. Bahkan semestinya yang dituntut adalah tatakrama harus lebih tinggi.

Kita adalah bangsa pengkonsumsi padi, namun ironisnya filosofi padi yang selama ini ditanamkan dengan ketat oleh nenek moyang bangsa itu sepertinya lambat laun memudar dengan begitu cepat.

Tak ada faedah apapun seseorang bergelar Doktor di depannya atau Master di belakangnya tetapi kelakuannya begitu kurang ajar misalkan. Sebab ketiadaan atau buruknya kualitas tatakrama dalam diri seseorang tak hanya merugikan diri sendiri, namun orang lain juga lingkungan.

Contoh paling nyata di depan mata kita adalah fenomena (atau apa sudah jadi budaya?) korupsi, penulis yakin 90% pelakunya adalah mereka yang selama ini mengaku memeluk Islam dan bahkan juga rajin sholat. Dan karena kebetulan praktek korupsi yang banyak terjadi itu di dunia birokrasi, tentunya pelakunya adalah muslim-muslim berpendidikan formal tinggi dengan banyak embel-embel gelar akademis yang hebat.

Kenapa hal yang cukup sangat kontras ini bisa terjadi? Kemana ilmu begitu tinggi yang dipelajari lama (bahkan sampai ke Luar Negeri) itu? Kenapa tak memberikan perbaikan?

Secara tabiat, pada dasarnya ilmu itu panas, dan dalam proses pencariannya membutuhkan semacam refrigerator, pendingin. Nah, pendingin dari "panas"-nya karakter ilmu itu adalah dengan diimbangi belajar tatakrama dan penghancuran hati melalui banyak media dan aplikasi.

Uniknya, media-media pendingin ilmu itu banyak terdapat dalam Tasawwuf. Keadaan tentu semakin runyam saat ada berusaha yang melarang tasawwuf.

Maka, pengalaman pribadi penulis adalah tidak pernah menemukan pelajar muslim yang menggeluti tasawwuf dengan baik yang sikapnya kurang ajar. Sebaliknya, rata-rata orang yang kelakuannya kurang ajar (baik sadar atau tidak) adalah mereka yang selama ini tidak atau kurang benar dalam mendalami tasawwuf, meski itu pelajar ilmu-ilmu agama yang agung.

Maka yang perlu dan harus dipikirkan kembali oleh para pakar pendidikan saat ini adalah kembali memikirkan dengan mendalam untuk mensinkronkan ulang tatakrama dengan ilmu di lembaga-lembaga pendidikan khususnya dunia pendidikan formal.

Bukan hanya sekedar berupa teori-teori keagamaan, teori-teori norma, namun praktek bersama secara langsung. Menumbuhkan kembali nilai-nilai yang hilang.

Banyaknya skandal-skandal berbau seks dan pornografi di dunia pendidikan level SMP-SMA adalah bukti nyata efek negatif ketiadaan tatakrama itu. Sementara dalam satu waktu yang sama mereka bukanlah siswa-siswa bodoh, banyak yang prestasi akademiknya mengagumkan dan cerdas di atas rata-rata.

Itu yg terungkap di media, yang undercover? Nah, bagaimana nasib masa depan bangsa ini jika generasi mudanya telah remuk sedemikian rupa? PR dakwah masih cukup banyak, konsentrasi saja pada Tauhid atau Fiqh adalah kekurangbijakan, harus dikawal dengan tasawwuf, dengan tazkiyah.

Atau jika memang tidak mau ada label-label religi atau rohani masuk lembaga-lembaga pendidikan formal, setidaknya ajarkan norma-norma budaya setempat dan moral kebangsaan.

Semoga tulisan seperti ini sampai kepada instansi-instansi yang berkait dengan dunia pendidikan di Tanah Air, sampai ke Bapak Menteri Pendidikan. Semoga mencerahkan, catat dalam benak baik-baik, peram dalam jiwa, bahwa tatakrama adalah di atas ilmu, Al-adab fauqol ilm. Salam.

No comments:

Post a Comment