Pages

Friday, January 9, 2015

SUFI



W: Di tengah era globalisasi, pengaruh negatif dalam bentuk pornografi, seks bebas, kekerasan dan narkoba semakin tak terhindarkan. Bagaimana Islam bisa hidup di tengah kondisi masyarakat yang semacam ini?

SIMBAH: Ya ndak masalah. Wong Islam itu ajaran nilai yang sifatnya hanya memberi pilihan-pilihan. Kalau mau ikut silakan, gak melok pun yo sak karep. Wong sekarang ini semuanya serba ruwet. Di media massa kita lihat orang cengengas-cengengis, seolah tidak ada yang salah dalam hidup ini. Kalau musim puasa semua orang pakai jilbab, tapi setelah itu telanjang semua. Koran juga begitu, kalau puasa ramai-ramai bikin wawancara yang seolah-olah Islami. Tapi setelah itu ya lewat.

W: Anda terlihat kecewa sekali dengan kondisi sekarang?

SIMBAH: Oh, tidak. Karena memang saya tidak pernah berpikir bahwa masyarakat itu akan baik. Jadi saya tidak kaget kalau masyarakat sekarang jadi seperti ini.

W: Lalu di mana tanggungjawab Anda sebagai seseorang yang ditokohkan yang harus memberi arahan kepada masyarakat?

SIMBAH: Siapa bilang saya ini tokoh. Wong ulama saja nggak peduli dengan kondisi masyarakat, kenapa saya yang harus bertanggungjawab. Saya hanya bertanggungjawab kepada keluarga dan komunitas yang saya bina, Kyai Kanjeng. Kalau ada salah satu di antaran mereka yang berbuat salah, maka saya akan menindak tegas dengan memberikan sanksi.

W: Apakah pandangan Anda itu bagian dari praktik tasawuf?

SIMBAH: Nggak juga. Terserah Anda menilainya.

W: Kalau begitu, apa sebenarnya pengeritan paling dasar dari tasawuf?

SIMBAH: Kewaspadaan terhadap tipuan dunia. Makanya simbol-simbolnya ketika eksperimentasi pada tahap awal belajar tasawuf adalah meniadakan yang mapan. Seperti anak-anak punk, yang menggunakan atribut sedemikian rupa di tengah kebiasaan masyarakat menggunakan jas. Itu thariqat agar tidak terikat dengan dunia. Tapi jangan dijadikan mode, bahwa seorang sufi harus mengenakan pakaian dari karung.

W: Karena masing-masing orang punya jalan sendiri-sendiri?

SIMBAH: Ya betul. Ibarat merokok. Ada orang yang merokok satu batang bisa batuk sampai seminggu. Tapi ada yang sehari merokok 4 bungkus umurnya bisa sampai 94 seperti Mbah Sirodj (Kemlaten) itu. Yang lain jangan niru Mbah Sirodj. Lihat kemampuan masing-masing dong.

W: Apakah yang Anda sampaikan itu yang dimaksud dengan maqom?

SIMBAH: Maqom itu berlangsung, terjadi dan menjadi syariat bagi semua makhluk Allah. Maqom itu kan titik koordinat ruang dan waktu. Ada yang maqomnya ngemis, tukang becak. Tergantung kepekaan dia terhadap perintah Allah. Ada ahli spiritual yang maqomnya bagian nyekel gendruwo, ngobati wong, atau berburu pusaka. Tinggi rendahnya jangan dipersoalkan.

W: Tapi masyarakat kan masih memahami bahwa maqom itu bersifat hirarkis?

SIMBAH: Ya biarkan saja. Wong masyarakat kok dituntut. Emangnya masyarakat dituntut harus pinter, wong pimpinannya aja gak pinter kok. Masyarakat itu kerjanya salah paham, kate diapakno.

W: Lalu bagaimana sebenarnya konsep maqom dalam tasawuf?

SIMBAH: Maqom itu sifatnya segmentatif dan stratifikatif. Segmentatif itu yang sifatnya horisontal sedang stratifikatif itu yang vertikal. Tapi kalau menurut saya yang dipahami yang horisontal saja, nggarakno sombong. Tinggi mana kambing sama gajah, kan tidak bisa diukur. Kalau dari segi kemanfaatan jelas lebih tinggi kambing karena banyak dimanfaatkan. Ada sate kambing atau gule kambing, tapi kan tidak ada sate gajah. Kalau dari segi meteran memang jelas lebih tinggi gajah.

W: Untuk menegakkan ajaran tasawuf, apakah seorang sufi bisa hidup di tengah kondisi masyarakat yang sudah separah ini?

SIMBAH: Ndak masalah. Malah, akhlak masyrakarat yang rendah itu sangat bagus bagi penempuh jalan sufi. Karena salah satu tiang prinsip untuk menempuh jalan sufi (riyadloh), semacam olah jiwa atau latihan. Kalau Anda ingin jalan yang canggih, ya jangan berjalan di tempat yang rata. Berlatihlah di jalan yang penuh kesulitan, maka jalan Anda akan semakin canggih. Jadi, semakin jelek keadaan semakin menarik. Karena itu merupakan ujian yang terbaik bagi seorang salekh.

W: Untuk menjadi sufi, dia tidak harus menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam artian sebagai tempat tinggal. Kalau begitu seorang sufi bisa hidup di tengah dunia yang penuh kemaksiatan seperti sekarang?

SIMBAH: Bisa, kenapa tidak. Wong masuk dolly aja bisa kok. Di sana minum teh sambil duduk-duduk. Lalu merokok, kan tidak masalah.

W: Berarti ada sebagian nilai yang dikorbankan?

SIMBAH: Nilai yang mana ?

W: Seperti melihat wanita-wanita setengah telanjang?

SIMBAH: Kalau melihatnya tidak dengan nafsu. Kalau melihatnya dengan penuh kasih sayang, wah sak akene arek iku rek. Kenapa ? Yang membuat zina mata itu kan orang ngacengan. Kalau Anda melihat wanita bukan sebagai wanita, tetapi sebagai hamba Allah,kan tidak masalah. Unsur wanitanya tidak dominan lagi sehingga tidak terangsang sebagai laki-laki, kenapa ? Ndak usah sufilah, orang Islam itu seharusnya menjadi laki-laki hanya dengan istrinya saja. Begitu di luar, dia manusia, hamba Allah.

W: Artinya seorang sufi tidak harus mengasingkan diri?

SIMBAH: Mengasingkan diri ya boleh, tidak pun ya boleh. Terserah. Kalau jare wong Jowo ada topo nyepi ada topo ngrame. Topo nyepi itu dengan cara hidup di gunug, kalau topo ngrame itu ya srawung di tengah orang banyak.

W: Tapi sebagian orang memahami sufi itu kan harus mengasingkan diri?

SIMBAH: Ya terserah orang memahami. Kalau mau meneruskan kekeliruannya ya monggo. Kalau mau ingin lebih bener ya monggo. Sufi itu orang yang mampu berjalan menembus air tanpa basah, menembus api tanpa kebakaran. Sufi itu orang yang berani di tengah kemaksiatan tapi dia tidak melakukan maksiat. Itu sufi yang ampuh. Kalau poso karena memang gak ono panganan, yo opo angele wong memang gak ono sing dipangan. Kalau masyarakat sudah banyak yang sholat dan berakhlak, lalu banyak orang sufi ya tidak heran. Tapi kalau di tengah dunia yang penuh kemaksiatan masih ada sufi, itu berarti sufi yang bener-bener.

W: Kalau seorang sufi berada di tengah kemaksiatan, apakah dia tidak mengorbankan sebagian nilainya untuk bisa diterima masyarakat?

SIMBAH: Sufi tidak punya pamrih untuk diterima orang. Lapo urusane, nggak ada urusannya. Urusan dia cuman satu, diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah, baru dia njembling-njembling. Semakin tidak diterima masyarakat, sebenarnya biasanya semakin bagus. Jadi dia tidak boleh gelisah kalau dia dibuang, dicampakkan. Malah itu akan meningkatkan kesufian seseorang. Tasawuf itu bukan karir kebudayaan, bukan karir politik.

W: Kaitannya dengan kewajiban untuk dakwah?

SIMBAH: Ya itu dakwahnya. Dakwahnya adalah konsistensi untuk lillah ta’ala. Dakwah itu tidak harus ngandani ngene lho rek, koen ojo nyolong. Dakwah yang terbaik adalah uswatun hasanah. Dia sudah memberi teladan yang baik bahwa segala sesuatunya hanya berorientasi untuk Allah. Ngomong gak ngomong nilai dakwahnya sangat tinggi.

W: Banyak tokoh sufi yang menjalani hidup dengan cara menjauhkan diri dari kehidupan dunia, menjadi seorang miskin yang hidup mengembara. Benarkah?

SIMBAH: Sing ngarani iku sopo. Sufi itu tidak terikat oleh kekayaan dan kemiskinan. Sugih gak sugih gak masalah. Sunan Kalijogo sugih, Sunan Kudus sugih, semua wali sugih kabeh. Sunan Ampel sugih. Yak opo kate gak sugih wong Gusti Allah sayang. Melarato gak kekurangan. Kalaupun melarat yang ditandai dengan rumahnya jelek, tapi dia butuh apa saja bisa datang sendiri kok. Seorang sufi tidak boleh terikat oleh dunia. Kalau terikat dunia, itu namanya hubbudunya. Makanya seorang sufi tidak boleh mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin, apalagi seorang presiden.

W: Meskipun itu dipahami dalam kerangka sebagai tanggungjawab untuk membina umat?

SIMBAH: Seorang sufi tidak boleh mencalonkan diri. Tapi kalau dia diperintah oleh Allah, dia tidak boleh menolak. Di dalam hati seorang sufi tidak boleh ada niat untuk mencalonkan diri. Kalau Allah memerintah Anda untuk menjadi panglima perang, ya tidak bisa menolak.

W: Bagaimana dengan politik?

SIMBAH: Ndak masalah. Rosulullah bukan hanya berpolitik, tapi malah menjadi panglima perang, Musa juga jadi pemimpin perang, Ibrahim malah jadi teroris. Urusannya bukan jadi presiden atau tidak. Bukan jadi pengusaha atau tukang becak. Urusan sufi itu ketika dia melakukan sesuatu, dia lillaah atau tidak. Itu saja. Boleh dalam posisi tukang becak, ulama atau presiden sekalipun. Ulama pun kalau tidak lillah, yo gawe opo.

Simbah Emha Ainun Nadjib
SUMBER: Perahu Maiyah

No comments:

Post a Comment