Pages

Saturday, February 5, 2011

Mubarak Menghitung Hari

Terlalu lama berkuasa, membuat pengaruh Mubarak berkarat. Dulu dipuji, sekarang dihujat.

Mereka menyebut hari itu sebagai “Hari Hengkang”. Pada Jumat 4 Februari 2011, ratusan ribu warga Mesir tumpah di Lapangan Tahrir. Itu adalah hari kesepuluh massa menduduki alun-alun jembar di jantung kota Kairo itu.

Persis tengah hari, setelah shalat Jumat, ratusan ribu suara berteriak kembali menuntut Presiden Mesir Hosni Mubarak turun. Orang-orang mengalir di Lapangan Tahrir, menjadikan tempat itu bak titik yang menyerap gelombang raksasa massa. Begitu shalat usai, teriakan khas “Irhal (hengkang)” kembali bergema. “Tak ada negosiasi, sebelum dia hengkang”, massa berteriak.    

Seorang alim, berjubah putih, berpidato lewat pengeras suara. Dia Mohamad Salim Al-Awwa, pemimpin shalat Jumat di Lapangan Tahrir itu. “Berpuluh tahun kita bermimpi tentang lautan massa datang ke sini untuk berbicara,” ujar ulama moderat itu seperti dilaporkan oleh Time.com, Jumat 4 Februari. “Saya minta kalian semua kuat, tetap di sini sampai jalan keluar itu ada,” ujarnya. Massa menyambutnya histeris.

Mesir kini bak orang meriang. Suhu politik meningkat tajam. Tapi sang presiden yang telah berkuasa 30 tahun itu tetap keras kepala. Sehari sebelumnya dia menolak mundur. Setidaknya sampai September, begitu kata Mubarak. Maksudnya, itu sesuai jatuh tempo Pemilu digelar. Untuk menghibur massa, Mubarak menyatakan dia sudah muak untuk berkuasa lagi.

Mubarak menyampaikan itu di televisi. Lelaki 82 tahun tampak sedikit lesu. Tapi matanya masih tajam memandang kamera. Di luar, setelah pidato “keras kepala” itu kelar, para pendukungnya bergerak. Ada yang menenteng senjata tajam, batu dan tongkat besi. Bentrokan pun pecah, antara pro dan anti sang presiden, Kamis 3 Februari. Untunglah, pada esoknya militer menggelar razia. Setiap orang yang hendak ke Lapangan Tahrir digeledah. Senjata, batu, dan bom molotov dilarang.

Dalam lebih sepekan, Hosni Mubarak mendadak menjadi orang yang paling dibenci di Mesir. Meski berumur gaek, wajahnya awet. Dia juga sangat tenang. Meski telah menjaga Mesir sebagai negara moderat, dan “dicintai” Amerika Serikat dalam soal konflik di Timur Tengah, tapi tak semua warga Mesir suka pada Mubarak.

Dia dinilai bukan pemimpin bijaksana, tapi penguasa bertangan besi. Naik ke tampuk kekuasaan melalui insiden berdarah 30 tahun silam, tampaknya mengajarkan Mubarak bahwa politik harus diatur dengan keras.

Diberondong peluru

Jalan Mubarak ke kekuasaan tidaklah lewat Pemilu. Dia disukai presiden sebelumnya, Anwar Sadat. Sukses menjadi petinggi di Angkatan Udara, Mubarak ditunjuk Sadat menjadi wakil presiden pada 1975.
Pada 6 Oktober 1981, Presiden Anwar Sadat bersama sebelas orang lainnya tewas diberondong senjata, dan lemparan granat dari sekelompok tentara ekstrim.
Saat itu, ironisnya, Sadat sedang mengikuti upacara parade peringatan kemenangan pasukan Mesir atas Israel di Terusan Suez dalam Perang 1973. Wakil Presiden Mubarak selamat dari pembunuhan walau dia berdiri tak jauh dari Presiden Sadat dalam pawai militer.
Selanjutnya, Mubarak didaulat sebagai presiden Mesir. Dia lalu memberlakukan undang-undang keadaan darurat.

Tiga puluh tahun kemudian, pada 2011, undang-undang darurat itu masih berlaku. Mubarak pun tetap berkuasa, sebagai rezim yang otokratis. Laporan Departemen Luar Negeri AS, yang diperoleh dari sejumlah organisasi Hak Azasi Manusia, menyebutkan Mesir marak dengan kabar hilangnya jurnalis dan aktivis, kekejaman dan kekerasan di tahanan, penyiksaan tanpa pengadilan, pengakuan paksa, dan pelanggaran HAM lainnya.
Organisasi HAM Mesir, pada 2007, melaporkan adanya 4000 orang ditahan tanpa pengadilan. Mereka dituduh melakukan kejahatan politik. Sebanyak 1000 diantaranya adalah anggota Ikhwanul Muslimin, salah satu organisasi massa terbesar dan dilarang oleh Mubarak, karena membawa ideologi politik Islam radikal.
Karena berbagai kasus penyiksaan ini, Mubarak oleh laman Parade.com, dianugerahi posisi ke 20 dalam 20 diktator dunia saat ini.
Tak tertarik politik
Lahir pada 4 Mei 1928 di suatu desa dekat Kairo, Mubarak adalah putra seorang pegawai kementrian kehakiman Mesir.  Dia dikenal sebagai orang yang berdisiplin, dan pintar menjaga kebugaran. Dia bangun setiap pukul enam pagi.
Menurut stasiun berita BBC, Mubarak bukanlah seorang perokok, atau tukang minum, dan sangat menjaga pola makan.  Di masa muda, orang-orang dekat Mubarak bercerita bahwa dia rutin berlatih kebugaran, atau bermain squash. Setelah lulus dari Akademi Militer pada 1949, dengan fisik prima, Mubarak menjadi salah satu pilot idaman di  Angkatan Udara Mesir.
Semasa berdinas, Mubarak termasuk dari sedikit perwira yang disekolahkan ke Soviet untuk berlatih pesawat-pesawat tempur canggih di dekade 1950an, seperti Ilyushin Il-28 and pesawat pengebom Tupolev Tu-16 .
Mubarak menikah dengan seorang perempuan blasteran Inggris lulusan American University at Cairo, Suzanne. Mereka dikaruniai dua putra, yaitu Gamal dan Alaa.
Mubarak sebenarnya bukanlah politisi. Dia tak tertarik untuk masuk gelanggang politik sebelum ditarik oleh mendiang Sadat. Dalam siaran dokumenter stasiun berita Al Jazeera, sebagai pilot muda, Hosni Mubarak hanya punya satu keinginan, menjadi Panglima Angkatan Udara. Jabatan itu diperoleh Mubarak pada 1972, setahun sebelum negaranya kembali berperang dengan Israel, Perang Ramadan atau Yom Kippur.
Perang Arab-Israel 1973 itu lah melambungkan reputasi Mubarak. Mesir berhasil memaksa Israel mengadakan perjanjian damai. Sadat pun terkesan dengan kepiawaian Mubarak, yang mampu memodernisasi Angkatan Udara Mesir.
Dia juga ahli strategi militer yang piawai, sehingga Mesir tak lagi menderita kekalahan memalukan dari Israel, seperti pada Perang Enam Hari 1967.
Sifat Mubarak yang tak ambisius  membuat Presiden Mesir Anwar Sadat mengangkat Mubarak sebagai wakilnya pada 1975. Tiga tahun setelah melantik Mubarak menjadi wakil presiden Mesir, Sadat pun memberi jabatan wakil Ketua Umum Partai Demokratik Nasional (NDP) kepada Mubarak. NDP adalah partai politik dominan di Mesir. Sadat sepertinya menginginkan Mubarak menjadi pemimpin Mesir masa depan.
Mendekati Saddam

Sejak menggantikan Sadat sebagai presiden, Mubarak tak melakukan perubahan radikal. Dalam politik luar negeri, misalnya, dia tetap melanjutkan visi pendahulunya, yaitu menjadi kekuatan moderat di Timur Tengah.
Status itulah membuat Mesir saat itu dikucilkan sesama negara Arab. Soalnya, Mesir adalah negara Arab pertama yang berdamai dengan musuh Arab, Israel. Perjanjian damai dengan Israel itu merupakan warisan Sadat pada 1979, yang akhirnya diteruskan Mubarak.
Namun, menurut stasiun berita BBC, perjanjian itu membuat Mesir didepak dari Keanggotaan Liga Arab, dan markas mereka pindah dari Kairo ke Tunisia. Mubarak pun cepat tanggap. Dia kembali meningkatkan silaturahmi ke Saddam Hussein, pemimpin Irak yang dulu sangat berpengaruh di Dunia Arab.
Irak pada dekade 1980an melawan Iran selama delapan tahun. Ketika Perang Iran-Irak berakhir, hubungan Mesir dan sesama negara Arab pun membaik. Pada 1990, sekretariat Liga Arab pindah kembali ke Kairo. Tapi Mubarak tetap mempertahankan hubungan  dengan Israel.
Mesir di bawah Mubarak akhirnya menjadi kekuatan penting di Timur Tengah. Negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris, mengandalkan rezim Mubarak meredam radikalisme tetangganya menyangkut konflik Israel dan Palestina.
Israel terancam
Itu sebabnya, saat Mubarak di ujung tanduk pada hari-hari ini, Israel meminta AS dan beberapa sekutu lainnya di Eropa tak ikut mengkritik Mubarak. Kritik kepada Mubarak, kata Israel, hanya akan membuat situasi di Mesir semakin tak stabil.
Menurut harian The Washington Post, Israel takut jika reformasi terjadi di Mesir dapat mengubah semua struktur kerjasama kedua negara. Jika Ikhwanul Muslimin bangkit dan mengambil alih pemerintahan, akan punya dampak semangat kepada Hamas di Jalur Gaza untuk mengambil alih daerah tersebut.
Situasi di Timur Tengah akan berubah drastis, terutama ditakutkan, hal ini akan digunakan al-Qaidah menyebar teror, dan menggalang kekuatan. Ditambah lagi, hubungan Mesir dan Israel akan meregang.
Israel akan terkucil di wilayah Timur Tengah, karena hubungan dengan Turki sudah lebih dulu panas akibat penyerangan Israel ke kapal pemberi bantuan yang menewaskan beberapa warga Turki tahun lalu. “Jika Mesir bermusuhan dengan Israel malah akan semakin memburuk perselisihan dengan Turki. Hal ini akan membuat Israel merubah strategi mereka yang telah digunakan selama 30 tahun secara besar-besaran,” ujar peneliti di Studi Keamanan Nasional Institut Tel Aviv, Giora Eiland.
Ekonomi versus korupsi
Di bawah kepemimpinan Mubarak, ekonomi Mesir secara makro mengalami pertumbuhan yang cukup baik. "Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Mesir 5,3 persen dan tingkat pengangguran kami lebih rendah dari negara-negara lain, termasuk dari Tunisia," kata Duta Besar Mesir untuk Indonesia, Ahmed El Kewaisny.
Menurut ElKewaisny, Mubarak dan jajarannya tengah berjuang sebaik mungkin mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi guna menekan tingkat pengangguran. "Dia sendiri punya program untuk penciptaan lapangan kerja dan mendorong investasi asing," kata El Kewaisny.
Ekonomi Mesir secara makro memang relatif masih aman, namun tak demikian halnya dengan distribusi kemakmuran. Ketimpangan sosial begitu terasa di kalangan rakyat kelas bawah.
Menurut stasiun berita BBC, di bawah kebijakan ekonomi Mubarak yang liberal, bisnis di Mesir mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Bisnis real estate dan properti terus berkembang.
Masalahnya, kue kemakmuran itu hanya dinikmati Mubarak dan keluarga serta kroni-kroninya. Bisnis-bisnis utama dikuasai putra Mubarak, Gamal, beserta kelompok pengusaha yang bercokol di Partai Demokratik Nasional yang berkuasa.
Hampir setengah dari total populasi Mesir, yang berjumlah 80 juta jiwa, hidup di bawah, atau sedikit di atas garis kemiskinan menurut standar PBB US$2 per hari. Dalam dua tahun terakhir, tingkat kemiskinan di Mesir naik dari 20 persen menjadi 23,4 persen.
Meluasnya kemiskinan, tingginya pengangguran, dan inflasi harga pangan menjadi tantangan besar bagi rezim Mubarak. Dia pun dituduh kelompok oposisi gagal memenuhi janji pada kampanye pemilu 2005. Saat itu dia berjanji akan menciptakan lapangan kerja, sekaligus menekan tingkat pengangguran.
Maka, seorang pegawai kecil bernama Ismail Syed pun bolos dari tempat kerja. Dia ikut berdemonstrasi di alun-alun Tahrir, Kairo, pada aksi 25 Januari lalu. "Ini adalah kali pertama bagi saya ikut unjuk rasa. Kami sudah menjadi bangsa penakut, tapi akhirnya kami berani mengatakan tidak," kata Ismail Syed, seorang pekerja hotel di Kairo yang berupah US$50 per bulan, atau tak sampai Rp500.000.
Kelompok oposisi Mesir juga menyalahkan rezim Mubarak yang tak serius memberantas korupsi. Padahal korupsi di Mesir sudah tergolong kronis. Lembaga Global Coalition Against Corruption mencatat Mesir di peringkat 105 dalam daftar negara bersih pada 2006, sejajar dengan dua negara miskin Afrika, Burkina Faso dan Djibouti. Dua tahun kemudian, peringkat Mesir melorot di urutan 115.
Bertahan atau hengkang?
Pengamat Timur Tengah dari Lowy Institute for International Policy, Anthony Bubalo, menilai rezim Hosni Mubarak di Mesir sebenarnya bukanlah yang paling represif di Timur Tengah, namun telah mengekang banyak rakyat.
Krisis ini bukan semata-mata karena rezim yang represif, namun juga gabungan dari masalah lain, seperti masalah ekonomi dan ketimpangan sosial di kalangan banyak warga.
Kekuasaan Mubarak kini mendekati akhir. Tapi tak ada yang bisa memastikan secepat apa Mubarak turun. "Pada dasarnya, kekuasaan Mubarak bakal tamat, apakah itu akan terjadi September atau lebih cepat. Maka yang perlu diperhatikan adalah sisa-sisa rezimnya, para pengikutnya. Apa yang tengah mereka lakukan adalah berupaya mendapat kewenangan yang sebesar-besarnya di tengah tuntutan massa," kata Bubalo.
Krisis di Mesir memang diilhami dari Tunisia. Tapi, hasilnya bisa berbeda. "Bila dia bisa bertahan hingga September, atau saat masa jabatannya habis, ada kemungkinan Mubarak tetap bisa tinggal di negerinya. Namun, bila dia dipaksa mundur lebih cepat, mungkin dia akan memilih ke luar negeri," ujar Bubalo.(np)

sumber: VIVAnews

No comments:

Post a Comment