Pages

Saturday, January 11, 2014

Benarkah Syair Maulid Mengandung Kesyirikan ?

Yahudi sangat faham, Bahwa Kunci Kemenangan Umat Islam adalah karena Adanya Bantuan Ghaib dari Allah SWT, maka Yahudi menghapuskan keyakinan Umat Islam kepada Perkara Ghaib Itu. Ulama Sufi dan Tarikat yang mempunyai karomah dikatakan SESAT dan SYIRIK.Yahudi tahu, bahwa kekuatan Islam adalah kepada kecintaan Umat kepada Rasulullah SAW, Ahlul Bait, dan Para Sahabat Baginda SAW. Maka segala peninggalan atau amalan yang bisa meyuburkan kecintaan itu diMUSNAHkan dengan alasan Bida’ah, khurafat, dan Syirik serta lain-lain alasan yang diada-adakan.. itulah sebab Yahudi menciptakan Wahhabi & Salafi.

------
Bulan Rabi’ul Awal adalah bulan dimana baginda Rosulillah SAW di lahirkan, dan sudah menjadi tradisi di sebagian masyarakat muslim Indonesia untuk meyemarakan bulan kelahiran Rasul ini dengan pembacaan kitab – kitab maulid seperti Ad Diba’i, Al Barzanji, Simtud Duror dan lain sebagainya hingga perayaan maulid Nabi yang biasanya di kemas dalam bentuk pengajian akbar.
Sayangnya masih ada saja sebagian kelompok anti maulid yang menyatakan bahwa syair maulid itu mengandung kesyirikan, sehingga dengan demikian hukumnya haram untuk di baca , benarkan demikian ?

Untuk menjawab tuduhan tersebut maka kita harus mengetahui bahwa naskah maulid adalah karya sastra yang di susun untuk memuliakan Rosululloh. Beliau memang menolak di muliakan secara berlebihan, tapi tetap saja kita berkewajiban memberikan penghormatan dan pemuliaan terhadap Nabi Muhammad SAW melebihi manusia mana pun juga.

Yang pertama harus di ingat adalah bahwa kitab Maulid itu karya sastra arab, jika ingin membaca apalagi memahaminya, maka harus menggunakan kacamata sastra arab pula. Dan maulid adalah karya sastra yang sangat indah dan memiliki cita rasa seni yang tinggi, sehingga tak heran apabila banyak ilmuwan modern yang menjadikan karya Maulid sebagai kajian sastra.

Karya sastra setidaknya harus memiliki empat unsur :
Pertama , ‘Athifah ( rasa ). Sebelum atau ketika menyusun sebuah karya sastra, seorang sastrawan pasti merasakan sesuatu yang kemudian ia tuangkan dalam bait – bait syair , bisa perasaan senang, benci, hormat, sayang, sedih, takut dan sebagainya.

Semakin mendalam perasaan itu di rasakan saat si penyair menggubah syair, semakin hidup pula syairnya. Semakin hidup lirik syairnya, semakin menggugah perasaan pembaca dan pendengarnya. Dalam konteks kitab maulid, jelas bahwa yang terasakan oleh sang penyair ialah kerinduan dan rasa cinta terhadap Rosululloh SAW.

Salah satu contoh pengungkapan rasa itu ialah salah satu syair qashidah dalam kitab Majmu’atul Mawalid wal Ad’iyyah ( kumpulan maulid dan doa ) : “Ma li habibun siwa Muhammad, khairir rasulin nabiyyil mukarram ( sungguh tak ku miliki kekasih selain dia, Muhammad sebaik – baik utusan dan nabi termulia )” , atau yang ini : “ Fi hubbi sayyidina Muhammad, nurul li badril huda mutammam ( Dengan mencintai Muhammad, junjungan kita, menjadi sempurnalah cahaya purnama hidayah )”.

Unsur kedua adalah Khayaliyyah ( imajinasi ). Untuk dapat menghidupkan sebuah karya sastra, sang penyair meghayalkan atau berimajinasi. Dalam menyusun maulid, tentu sang penyair membayangkan pribadi Rasulullah SAW atau pertemuan dengan beliau.
Imajinasi pertemuan dengan beliau tentu akan memancarkan kekaguman yang luar biasa, sehingga tak jaranng menghasilkan kalimat – kalimat tasybih ( penyerupaan ) , bahkan majaz ( metafora ), seperti yang tertulis dalam kitab al Barzanji ebagai berikut : Anta syamsun anta badrun, anta nurun fauqo nuri ( Engkau sang mentari, engkaulah purnama, engkau cahaya diatas cahaya ).

Sebagian kelompok anti maulid yang tidak memahami sastra menuduh bahwa ungkapan “ anta nurun fauqo nurin” adalah sebuah ungkapan kemusyrikan, sebab hal itu dianggap dengan menyamakan Rasulullah SAW dengan Allah SWT yang dalam al- Qur’an di ungkapkan sebagai “ Allahu nurus samawati wal arldhi ( Allah adalah cahaya langit dan bumi ), atau Nurun ala nur ( cahaya diatas cahaya )
Menurut para ulama, ayat “Allahu nurus samawati wal arldhi” adalah bahasa kinayah. Dalam kitab – kitab tafsir, ayat tersebut tidak dimaknai bahwa Allah adalah “cahaya langit dan bumi”, melainkan Allah yang memiliki cahaya di langit dan di bumi. Sedangkan kalimat “nurun ala nurin” di maknai sebagai “ cahaya Allah berada diatas cahaya – cahaya yang lain”.
Jika dimaknai kinayah, maka cahaya Allah itu banyak, termasuk diantaranya adalah kitab suci dan para nabi dan rasul. Dan karena Rasulullah SAW adalah makhluk Allah dan rasul termulia, belaiau di ibaratkan sebagai cahaya diatas cahaya, jika dibandingkan dengan nabi-nabi yang lain.

Penyebutan manusia sebagai matahari, rembulan dalam tradisi majaz sudah lazim, karena setiap majaz pasti mengandung unsur isti’arah ( peminjaman istilah ) dlam salah satu bidang untuk di pakai bidang lain yang sebenarnya bukan tempatnya. Dalam bahasa Indonesia kita menegenal beberapa ungkapan majaazi, seperti “pidatonya menggelegar seperti auman singa, atau Ustadz itu memang seorang singa podium yang di segani” .

Ada juga bentuk khayaliyyah lain yang disebut kinayah atau kiasan, misalnya kalimat syair mahallul qiyam dalam maulid al Barzanji : “ Fa aghitsni wa ajirni ya mujiru minas sa’ir ( Maka tolong dan selamtkanlah aku wahai penyelamat dari neraka sa’ir )”.
Jika difahami sebagai karya sastra, apalagi penyusunnya seorang ulama, tentu ungkapan tersebut dimaksudkan sebagai kinayah. Pengertian tersiratnya tentu pengharapan atas syafaat dari Rasulullah SAW yang memang bisa menghapus dosa. Jika dosa terhapus, otomatis kita akan terbebas dari neraka. Syafaat Rasulullah SAW sendiri secara mu’tabar di akui oleh para ulama dari semua golongan.

Unsur ketiga adalah fikrah ( Ide, gagasan ). Dalam konteks maulid, fikrahnya adalah memuji Rasulullah SAW. Sejak dulu para penyair arab memang mempunyai tradisi memuji terhadap orang yang mereka kagumi, seperti Khalifah, Ulama dan lain-lain.
Dan unsur ke empat adalah uslub ( gaya bahasa ), yang dalam tardisi sastra arab di sebut stylistics.

No comments:

Post a Comment