Benarkah Syair Maulid Mengandung Kesyirikan ?
Yahudi
sangat faham, Bahwa Kunci Kemenangan Umat Islam adalah karena Adanya
Bantuan Ghaib dari Allah SWT, maka Yahudi menghapuskan keyakinan Umat
Islam kepada Perkara Ghaib Itu. Ulama Sufi dan Tarikat yang mempunyai
karomah dikatakan SESAT dan SYIRIK.Yahudi
tahu, bahwa kekuatan Islam adalah kepada kecintaan Umat kepada
Rasulullah SAW, Ahlul Bait, dan Para Sahabat Baginda SAW. Maka segala
peninggalan atau amalan yang bisa meyuburkan kecintaan itu diMUSNAHkan
dengan alasan Bida’ah, khurafat, dan Syirik serta lain-lain alasan yang
diada-adakan.. itulah sebab Yahudi menciptakan Wahhabi & Salafi.
------
Bulan
Rabi’ul Awal adalah bulan dimana baginda Rosulillah SAW di lahirkan,
dan sudah menjadi tradisi di sebagian masyarakat muslim Indonesia untuk
meyemarakan bulan kelahiran Rasul ini dengan pembacaan kitab – kitab
maulid seperti Ad Diba’i, Al Barzanji, Simtud Duror dan lain sebagainya
hingga perayaan maulid Nabi yang biasanya di kemas dalam bentuk
pengajian akbar.
Sayangnya masih ada saja sebagian kelompok anti
maulid yang menyatakan bahwa syair maulid itu mengandung kesyirikan,
sehingga dengan demikian hukumnya haram untuk di baca , benarkan
demikian ?
Untuk menjawab tuduhan tersebut maka kita harus
mengetahui bahwa naskah maulid adalah karya sastra yang di susun untuk
memuliakan Rosululloh. Beliau memang menolak di muliakan secara
berlebihan, tapi tetap saja kita berkewajiban memberikan penghormatan
dan pemuliaan terhadap Nabi Muhammad SAW melebihi manusia mana pun juga.
Yang pertama harus di ingat adalah bahwa kitab Maulid itu karya sastra
arab, jika ingin membaca apalagi memahaminya, maka harus menggunakan
kacamata sastra arab pula. Dan maulid adalah karya sastra yang sangat
indah dan memiliki cita rasa seni yang tinggi, sehingga tak heran
apabila banyak ilmuwan modern yang menjadikan karya Maulid sebagai
kajian sastra.
Karya sastra setidaknya harus memiliki empat unsur :
Pertama , ‘Athifah ( rasa ). Sebelum atau ketika menyusun sebuah karya
sastra, seorang sastrawan pasti merasakan sesuatu yang kemudian ia
tuangkan dalam bait – bait syair , bisa perasaan senang, benci, hormat,
sayang, sedih, takut dan sebagainya.
Semakin mendalam perasaan
itu di rasakan saat si penyair menggubah syair, semakin hidup pula
syairnya. Semakin hidup lirik syairnya, semakin menggugah perasaan
pembaca dan pendengarnya. Dalam konteks kitab maulid, jelas bahwa yang
terasakan oleh sang penyair ialah kerinduan dan rasa cinta terhadap
Rosululloh SAW.
Salah satu contoh pengungkapan rasa itu ialah
salah satu syair qashidah dalam kitab Majmu’atul Mawalid wal Ad’iyyah (
kumpulan maulid dan doa ) : “Ma li habibun siwa Muhammad, khairir
rasulin nabiyyil mukarram ( sungguh tak ku miliki kekasih selain dia,
Muhammad sebaik – baik utusan dan nabi termulia )” , atau yang ini : “
Fi hubbi sayyidina Muhammad, nurul li badril huda mutammam ( Dengan
mencintai Muhammad, junjungan kita, menjadi sempurnalah cahaya purnama
hidayah )”.
Unsur kedua adalah Khayaliyyah ( imajinasi ). Untuk
dapat menghidupkan sebuah karya sastra, sang penyair meghayalkan atau
berimajinasi. Dalam menyusun maulid, tentu sang penyair membayangkan
pribadi Rasulullah SAW atau pertemuan dengan beliau.
Imajinasi
pertemuan dengan beliau tentu akan memancarkan kekaguman yang luar
biasa, sehingga tak jaranng menghasilkan kalimat – kalimat tasybih (
penyerupaan ) , bahkan majaz ( metafora ), seperti yang tertulis dalam
kitab al Barzanji ebagai berikut : Anta syamsun anta badrun, anta nurun
fauqo nuri ( Engkau sang mentari, engkaulah purnama, engkau cahaya
diatas cahaya ).
Sebagian kelompok anti maulid yang tidak
memahami sastra menuduh bahwa ungkapan “ anta nurun fauqo nurin” adalah
sebuah ungkapan kemusyrikan, sebab hal itu dianggap dengan menyamakan
Rasulullah SAW dengan Allah SWT yang dalam al- Qur’an di ungkapkan
sebagai “ Allahu nurus samawati wal arldhi ( Allah adalah cahaya langit
dan bumi ), atau Nurun ala nur ( cahaya diatas cahaya )
Menurut
para ulama, ayat “Allahu nurus samawati wal arldhi” adalah bahasa
kinayah. Dalam kitab – kitab tafsir, ayat tersebut tidak dimaknai bahwa
Allah adalah “cahaya langit dan bumi”, melainkan Allah yang memiliki
cahaya di langit dan di bumi. Sedangkan kalimat “nurun ala nurin” di
maknai sebagai “ cahaya Allah berada diatas cahaya – cahaya yang lain”.
Jika dimaknai kinayah, maka cahaya Allah itu banyak, termasuk
diantaranya adalah kitab suci dan para nabi dan rasul. Dan karena
Rasulullah SAW adalah makhluk Allah dan rasul termulia, belaiau di
ibaratkan sebagai cahaya diatas cahaya, jika dibandingkan dengan
nabi-nabi yang lain.
Penyebutan manusia sebagai matahari,
rembulan dalam tradisi majaz sudah lazim, karena setiap majaz pasti
mengandung unsur isti’arah ( peminjaman istilah ) dlam salah satu bidang
untuk di pakai bidang lain yang sebenarnya bukan tempatnya. Dalam
bahasa Indonesia kita menegenal beberapa ungkapan majaazi, seperti
“pidatonya menggelegar seperti auman singa, atau Ustadz itu memang
seorang singa podium yang di segani” .
Ada juga bentuk
khayaliyyah lain yang disebut kinayah atau kiasan, misalnya kalimat
syair mahallul qiyam dalam maulid al Barzanji : “ Fa aghitsni wa ajirni
ya mujiru minas sa’ir ( Maka tolong dan selamtkanlah aku wahai
penyelamat dari neraka sa’ir )”.
Jika difahami sebagai karya
sastra, apalagi penyusunnya seorang ulama, tentu ungkapan tersebut
dimaksudkan sebagai kinayah. Pengertian tersiratnya tentu pengharapan
atas syafaat dari Rasulullah SAW yang memang bisa menghapus dosa. Jika
dosa terhapus, otomatis kita akan terbebas dari neraka. Syafaat
Rasulullah SAW sendiri secara mu’tabar di akui oleh para ulama dari
semua golongan.
Unsur ketiga adalah fikrah ( Ide, gagasan ).
Dalam konteks maulid, fikrahnya adalah memuji Rasulullah SAW. Sejak dulu
para penyair arab memang mempunyai tradisi memuji terhadap orang yang
mereka kagumi, seperti Khalifah, Ulama dan lain-lain.
Dan unsur ke empat adalah uslub ( gaya bahasa ), yang dalam tardisi sastra arab di sebut stylistics.
No comments:
Post a Comment