Pages

Saturday, January 11, 2014

Pengalaman Sepuluh Hari di Thailand

Thailand mempunyai tiga musim. Panas, hujan, dan dingin. Ketika kami berkunjung, kami berada dalam rentang bulan musim dingin. Malam hari, juga pagi terasa dinginnya udara cukup menusuk. Lebih dingin mana dengan musim dingin Indonesia. Ya, kira-kira sama

Kedatangan saya ke Thailand, merupakan penugasan dari Rektor Universitas Darul Ulum (Undar), Dr. Ma’murotus Sa’diyah, M.kes., agar saya, sebagai Ketua Lembaga Penelitian Undar, menindaklanjuti MoU antara Undar dan UTCC (University of Thai Chamber of Commerce) pada 02 September 2013 lalu. Lagipula, saya memang mendampingi Dr. H. Muchtar, M.Si., Asisten Direktur Pascasarjana Undar, yang bersemangat menindaklanjuti program ini.

Berbicara tentang Thailand, sesungguhnya negara ini lebih dekat dan tidak asing dengan kita. Maklum, hampir setiap hari kita bersua dengan sesuatu yang berbau Negeri Gajah Putih itu. Sebut saja, pepaya Thailand, jambu Bangkok, ayam Thailand, dan durian Thailand. Kita pun kadang impor beras dari Thailand. Faktor terakhir ini sangat memprihatinkan manakala melihat bahwa negara kita yang sangat subur dan kaya tanah pertanian.Tapi bukan dalam kesempatan kali ini kita membicarakan hal yang memprihatinkan ini.

Pada umumnya, penduduk Thailand menganut agama Budha. Agama ini seolah menjadi agama “resmi” negara yang kerap diguncang kudeta ini. Menurut sensus penduduk yang dilakukan pemerintah Thailand, sekitar sepuluh tahun silam, penduduk Thailand 94,6% beragama Budha, kemudian Islam (4,6%), dan sisanya adalah Kristen dan Katolik.

Namun saat ini angka pemeluk agama Islam dipercaya melebihi angka 10%, atau sekitar 7,4 juta dari 67 juta jiwa penduduk Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pemeluk agama Islam di negeri ini terus meningkat. Basis penduduk muslim berada di tiga provinsi; Yala, Narattiwat, dan Pattani. Ketiga provinsi ini berada di Thailand Selatan. Secara fisik, tradisi dan budaya penduduk tiga provinsi ini lebih dekat dengan masyarakat Melayu.

Meskipun mayoritas muslim ada di Thailand Selatan, namun bukan berarti di bagian lain tidak ada muslim. Katakanlah Bangkok, ibukota Thailand. Di Bangkok, kita dengancukup mudah dapat menjumpai masjid. Walaupun mayoritas muslim di Bangkok adalah pendatang dari bagian selatan Thailand (secara fisik dapat dikenali dengan mudah, karena berdarah melayu), namun cukup banyak juga muslim yang berdarah Thailand asli (biasanya berkulit putih). Hal ini menunjukkan dakwah Islam berjalan dengan baik di Bangkok. Ibaratnya, Bulan Sabit di punggung Gajah Putih.

Di UTCC sendiri, mahasiswi muslim dengan jilbab pun ada beberapa, bahkan di lokasi kampus terdapat mushola bagi mahasiswa muslim. Dalam baliho promosi kampus, juga dalam website resmi UTCC, perwakilan mahasiswa muslim juga disertakan.

Setelah kami mendarat di Bandara Internasional Thailand, Don Mueang Bangkok, pada Ahad malam, 15 Desember 2013, kami mencermati bahwa tidak ada perbedaan waktu antara Indonesia dengan Thailand. Yang membedakan adalah waktu untuk shalat saja, atau waktu terbit dan tenggelamnya matahari. Ketika di Indonesia waktu untuk shalat Maghrib pukul 18.00 WIB, maka di Thailand mundur sekitar setengah jam.

Dalam waktu 11 hari (15-25 Desember 2013), kami mengikuti berbagai kegiatan dalam rangka short course manajemen pengelolaan perguruan tinggi sebagai tindak lanjut MoU. Dalam sesi dialog disepakati akan diadakan proram pertukaran dosen dan mahasiswa, program beasiswa, twin program penelitian yang dapat dilakukan secara silang antara dosen atau mahasiswa Undar dengan UTCC.

Bagaimana dengan makanan halal? Awalnya kami masygul. Namun setelah kami berkeliling di sekitar keramaian kampus, alhamdulillah kami mendapati dengan cukup mudah makanan halal. Di sekitar kampus paling tidak ada tiga penjual makanan halal. Pertama, penjualnya yang sangat  ramah, berasal dari Turki, dan sudah bertahun-tahun tinggal di Bangkok. Nama kiosnya adalah “God Razzaq Kebub”, ada tulisan halal di kiosnya tersebut. Dari UTCC dengan berjalan kaki sekitar 50 meter dari kampus.

Kedua, di antara kios jajanan di depan pinggir gerbang kampus ada tujuh penjual, dan salah satunya ada seorang pria yang di depan kiosnya ada tulisan lafadz “Allah” dan “Muhammad”. Ia menjual gorengan. Dan ketiga, di kantin di dalam areal kampus, ada  penjual makanan , seorang ibu yang ditemani perempuan muda yang memasang tulisan “halal” dan stiker ayat suci al-Quran di depan kiosnya.

Apabila kita mendatangi masjid-masjid di Thailand, kita akan menyadari bahwa banyak kemiripan kehidupan muslim di Thailand dan Indonesia. Mayoritas muslim di Thailand adalah Sunni bermazhab Syafi’i. Dan secara umum, mereka mirip sekali dengan kaum Nahdliyin yang ada di negeri kita. Dengan mudah kita temui acara dzikir berjama’ah, nasyid, dan berbagai macam shalawat. Setiap masjid pun biasanya memiliki ulama yang dihormati di situ.

Bermaksud berkunjung ke KBRI dan mencari masjid, dalam perjalanan  kami menelpon Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), dan ternyata kedutaan libur, mengikuti kalender nasional, Indonesia. Sementara itu pada 25 Desember itu di Thailand kantor dan lembaga masuk seperti hari biasa.

Setelah telpon saya katakan ke teman, "Bahagia bisa berbahasa Indonesia."

Setelah sampai di kedutaan kami ditemui staf KBRI, jejaka asal Gresik, Hilmi namanya. Kebetulan kami sedang membawa buku pernikahan yang kami terjemahkan dari risalah tulisan pendiri NU, Mbah KH. Hasyim Asy’ari , “Dhaw’ul Mishbah fi Bayani Ahkamin Nikah”, buku mungil itu kemudian kami hadiahkan.

Staf bercerita bahwa KBRI adalah kedutaan negara asing pertama yang didirikan di Thailand. Tanah yang dibuat kantor konon juga hibah dari pihak kerajaan Thailand. Ia menunjukkan pula warung halal dan masjid terdekat.

Di dekat KBRI, perjalanan kaki kurang dari seperempat jam kami sarapan di warung halal "Farida Muslim Food", dan kemudian kami ditunjukkan masjid Darul Aman. Di kedua tempat ini kami juga berbahasa melayu atau Indonesia. Petugas warung orang Thailand Selatan, tetapi ia sering berinteraksi dengan orang-orang melayu.

"Tamu dan orang kedutaan Indonesia sering makan di tempat kami," demikian Muhammad bercerita. Setidaknya di dekat masjid dan KBRI ada tiga rumah makan muslim, ada Makyah Food, Muslim Food, dan Farida Muslim Food.

Di antara masjid yang menjadi sentral kegiatan kaum muslimin di Bangkok  dan dekat dengan KBRI adalah yang berada di Petchaburi 7 ini bernama Masjid Darul Aman. Masjid yang berlantai dua ini berada tidak jauh dari jalan Petchaburi (jalan utama), kurang lebih sepuluh meter. Di sekitarnya adalah pemukiman muslim Thailand yang sebagian dari mereka berasal dari Thailand selatan dan berbahasa Melayu. Oh ya di sekitar atau timur lokasi masjid ini terdapat deretan makam muslim.Pendidikan keagamaan bagi para muda muslim juga menjadi kesatuan dari masjid ini. Di lantai dua, kita bisa melihat bangku dan kursi berjejer dengan papan tulis sederhana. Ya, semacam madrasah diniyyah di nusantara.

Khotbah Jumat disampaikan dalam bahasa Thailand. Setelah Jumatan, imam shalat memandu jama'ah wirid bersama dengan bersuara keras (jahr). Setelah selesai berdoa, imam memimpin salaman antar jama'ah dengan iringan shalawat.

Ini tradisi mulia yang sama dengan tradisi mayoritas muslim di Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, karena ulama besar di wilayah Pattani di abad ke-17, Syaikh Dawud Faththani, merupakan murid dari Syaikh Abdurrauf as-Sinkli, ulama besar asal Aceh. Kesamaan tradisi inilah yng membuat ikatan emosional muslim Pattani terjaga hingga kini. Terbukti, beberapa santri di pondok pesantren di Jawa berasal dari Pattani. Di Masjid Muhajireen, salah satu masjid di Din Daeng Bangkok, sekitar 4 km dari UTCC, yang jika ditempuh perjalanan kaki membutuhkan setengah jam, dan jika naik bus, sekitar 5 menit, kami juga menemukan terjemahan kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Thai.

Ada pula majalah berbahasa Melayu yang ditulis menggunakan aksara pegon. Di samping ada terjemah Quran dalam bahasa Thai, di masjid ini dan tentu juga di masjid Darul Aman, kami dapati Al-Quran dengan terjemah bahasa Indonesia, terbitan Kemenag RI.

Di sela-sela short course ini kami berjalan-jalan bersama rombongan. Ada guide, tentunya. Jumlahnya ada empat, bergantian. Tiga di antara mereka berasal dari China. Dua di antaranya tidak beragama, tetapi percaya pada Tuhan. Saat berjalan-jalan santai inilah kami beberapa kali bersua dengan kelompok-kelompok kecil. Mereka adalah demonstran anti pemerintahan PM Yingluck Sinawatra. Di antara mereka ada yang membagi-bagikan koran. Lucunya, korannya berbahasa Thai, jadi mana bisa kami membaca. Menuju Pratunam Market kami jalan kaki. Kami kira jauh, ternyata mungkin hanya sekitar 5 km dari UTCC. Kira-kira 45 menit kami sampai.

Heran kami kenapa jalan di depan mall ISetan kok lengang. Kami baru tahu ternyata jalan memang ditutup. Dipasang panggung tenda menghadang di sana, semacam panggung musik. Bus dan mobil tidak bisa masuk.

Kami dapati kerumunan orang yg berwajah agak tegang. Ada apa ini? Teman kami menerka, "Itu para demonstran Pak."

Tiba di market kami diberitahu oleh pedagang asal Malaysia (orang kedua yang berbicara bahasa Melayu setelah mahasiswa Timur Leste yang kami jumpai pada malam Ahad dalam suatu acara kampus) bahwa hari ini ada demonstrasi. Menenangkan kami ia mengata, "Demo ini pakai mulut, tidak pakai senjata. Aman."

Agak capek, kami memutuskan pulang naik taksi dengan ongkos 100 Baht, setelah kami tawar dari 200 Baht.

Sehari setelahnya  kami memutuskan untuk berkeliling ulang melihat suasana, walaupun sebenarnya pemandu menyampaikan bahwa hari ini (Senin) ada demonstrasi yang lebih besar daripada kemarin. Katanya, "Beresiko kalau kita pergi, mungkin tidak aman bagi orang asing."

Alhamdulillah kekhawatiran itu tak terjadi, kondisi masih cukup stabil. Ketika kami berkunjung untuk berdiskusi di salah satu sekolah di Din Daeng Bangkok, ada pertanyaan seorang guru yang cukup menggelitik.

"Kenapa di Indonesia pelajar tidak boleh memakai rok pendek?"

Salah seorang teman menjawab bahwa memang demikianlah ajaran Islam. Aurat tak boleh dibuka. Sementara, di negara yang kami kunjungi ini memang amat jamak ditemui hal demkian itu.

Para siswa yang ketika itu menantikan sesi dialog sangat apresiatif, mereka mengagumi Bali dan Borobudur. Seorang siswi menghampiri kami, dan berkata, "Saya sangat kagum pada Indonesia, negara dengan banyak pulau yang indah. Saya juga suka baju nasionalnya."

Ia mengatakan demikian sembari mengisyaratkan tangan di sekitar wajah hingga kaki. Mungkin maksudnya kebaya Indonesia atau baju muslimah, jilbab dan baju panjang.

"Suatu saat saya akan pergi ke Indonesia. Saya juga mau jadi warga Indonesia," ujarnya tersenyum.

Pengalaman selama sepuluh hari berada di Thailand dan berinteraksi dengan sahabat lintas negara, salah satu negara ASEAN membuat saya merenung, "Apa saja yang telah kita darmakan untuk negeri indah nan jelita Indonesia, dan apa yang akan kita perbuat?"


--------
Yusuf Suharto, yang pada  pertengahan bulan silam (15-25 Desember 2013) mengikuti Short Course Manajemen Pengelolaan Perguruan Tinggi di negeri Thailand, tepatnya di UTCC (University of Thai Chamber of Commerce) Din Daeng Bangkok .

No comments:

Post a Comment