Thailand mempunyai tiga musim. Panas, hujan, dan dingin. Ketika kami
berkunjung, kami berada dalam rentang bulan musim dingin. Malam hari,
juga pagi terasa dinginnya udara cukup menusuk. Lebih dingin mana dengan
musim dingin Indonesia. Ya, kira-kira sama
Kedatangan saya ke Thailand, merupakan penugasan dari Rektor Universitas
Darul Ulum (Undar), Dr. Ma’murotus Sa’diyah, M.kes., agar saya, sebagai
Ketua Lembaga Penelitian Undar, menindaklanjuti MoU antara Undar dan
UTCC (University of Thai Chamber of Commerce) pada 02 September 2013
lalu. Lagipula, saya memang mendampingi Dr. H. Muchtar, M.Si., Asisten
Direktur Pascasarjana Undar, yang bersemangat menindaklanjuti program
ini.
Berbicara tentang Thailand, sesungguhnya negara ini lebih
dekat dan tidak asing dengan kita. Maklum, hampir setiap hari kita
bersua dengan sesuatu yang berbau Negeri Gajah Putih itu. Sebut saja,
pepaya Thailand, jambu Bangkok, ayam Thailand, dan durian Thailand. Kita
pun kadang impor beras dari Thailand. Faktor terakhir ini sangat
memprihatinkan manakala melihat bahwa negara kita yang sangat subur dan
kaya tanah pertanian.Tapi bukan dalam kesempatan kali ini kita
membicarakan hal yang memprihatinkan ini.
Pada umumnya, penduduk
Thailand menganut agama Budha. Agama ini seolah menjadi agama “resmi”
negara yang kerap diguncang kudeta ini. Menurut sensus penduduk yang
dilakukan pemerintah Thailand, sekitar sepuluh tahun silam, penduduk
Thailand 94,6% beragama Budha, kemudian Islam (4,6%), dan sisanya adalah
Kristen dan Katolik.
Namun saat ini angka pemeluk agama Islam
dipercaya melebihi angka 10%, atau sekitar 7,4 juta dari 67 juta jiwa
penduduk Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pemeluk agama
Islam di negeri ini terus meningkat. Basis penduduk muslim berada di
tiga provinsi; Yala, Narattiwat, dan Pattani. Ketiga provinsi ini berada
di Thailand Selatan. Secara fisik, tradisi dan budaya penduduk tiga
provinsi ini lebih dekat dengan masyarakat Melayu.
Meskipun
mayoritas muslim ada di Thailand Selatan, namun bukan berarti di bagian
lain tidak ada muslim. Katakanlah Bangkok, ibukota Thailand. Di Bangkok,
kita dengancukup mudah dapat menjumpai masjid. Walaupun mayoritas
muslim di Bangkok adalah pendatang dari bagian selatan Thailand (secara
fisik dapat dikenali dengan mudah, karena berdarah melayu), namun cukup
banyak juga muslim yang berdarah Thailand asli (biasanya berkulit
putih). Hal ini menunjukkan dakwah Islam berjalan dengan baik di
Bangkok. Ibaratnya, Bulan Sabit di punggung Gajah Putih.
Di UTCC
sendiri, mahasiswi muslim dengan jilbab pun ada beberapa, bahkan di
lokasi kampus terdapat mushola bagi mahasiswa muslim. Dalam baliho
promosi kampus, juga dalam website resmi UTCC, perwakilan mahasiswa
muslim juga disertakan.
Setelah kami mendarat di Bandara
Internasional Thailand, Don Mueang Bangkok, pada Ahad malam, 15 Desember
2013, kami mencermati bahwa tidak ada perbedaan waktu antara Indonesia
dengan Thailand. Yang membedakan adalah waktu untuk shalat saja, atau
waktu terbit dan tenggelamnya matahari. Ketika di Indonesia waktu untuk
shalat Maghrib pukul 18.00 WIB, maka di Thailand mundur sekitar setengah
jam.
Dalam waktu 11 hari (15-25 Desember 2013), kami mengikuti
berbagai kegiatan dalam rangka short course manajemen pengelolaan
perguruan tinggi sebagai tindak lanjut MoU. Dalam sesi dialog disepakati
akan diadakan proram pertukaran dosen dan mahasiswa, program beasiswa,
twin program penelitian yang dapat dilakukan secara silang antara dosen
atau mahasiswa Undar dengan UTCC.
Bagaimana dengan makanan halal?
Awalnya kami masygul. Namun setelah kami berkeliling di sekitar
keramaian kampus, alhamdulillah kami mendapati dengan cukup mudah
makanan halal. Di sekitar kampus paling tidak ada tiga penjual makanan
halal. Pertama, penjualnya yang sangat ramah, berasal dari Turki, dan
sudah bertahun-tahun tinggal di Bangkok. Nama kiosnya adalah “God Razzaq
Kebub”, ada tulisan halal di kiosnya tersebut. Dari UTCC dengan
berjalan kaki sekitar 50 meter dari kampus.
Kedua, di antara
kios jajanan di depan pinggir gerbang kampus ada tujuh penjual, dan
salah satunya ada seorang pria yang di depan kiosnya ada tulisan lafadz
“Allah” dan “Muhammad”. Ia menjual gorengan. Dan ketiga, di kantin di
dalam areal kampus, ada penjual makanan , seorang ibu yang ditemani
perempuan muda yang memasang tulisan “halal” dan stiker ayat suci
al-Quran di depan kiosnya.
Apabila kita mendatangi masjid-masjid
di Thailand, kita akan menyadari bahwa banyak kemiripan kehidupan
muslim di Thailand dan Indonesia. Mayoritas muslim di Thailand adalah
Sunni bermazhab Syafi’i. Dan secara umum, mereka mirip sekali dengan
kaum Nahdliyin yang ada di negeri kita. Dengan mudah kita temui acara
dzikir berjama’ah, nasyid, dan berbagai macam shalawat. Setiap masjid
pun biasanya memiliki ulama yang dihormati di situ.
Bermaksud
berkunjung ke KBRI dan mencari masjid, dalam perjalanan kami menelpon
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), dan ternyata kedutaan libur,
mengikuti kalender nasional, Indonesia. Sementara itu pada 25 Desember
itu di Thailand kantor dan lembaga masuk seperti hari biasa.
Setelah telpon saya katakan ke teman, "Bahagia bisa berbahasa Indonesia."
Setelah
sampai di kedutaan kami ditemui staf KBRI, jejaka asal Gresik, Hilmi
namanya. Kebetulan kami sedang membawa buku pernikahan yang kami
terjemahkan dari risalah tulisan pendiri NU, Mbah KH. Hasyim Asy’ari ,
“Dhaw’ul Mishbah fi Bayani Ahkamin Nikah”, buku mungil itu kemudian kami
hadiahkan.
Staf bercerita bahwa KBRI adalah kedutaan negara
asing pertama yang didirikan di Thailand. Tanah yang dibuat kantor konon
juga hibah dari pihak kerajaan Thailand. Ia menunjukkan pula warung
halal dan masjid terdekat.
Di dekat KBRI, perjalanan kaki kurang
dari seperempat jam kami sarapan di warung halal "Farida Muslim Food",
dan kemudian kami ditunjukkan masjid Darul Aman. Di kedua tempat ini
kami juga berbahasa melayu atau Indonesia. Petugas warung orang Thailand
Selatan, tetapi ia sering berinteraksi dengan orang-orang melayu.
"Tamu
dan orang kedutaan Indonesia sering makan di tempat kami," demikian
Muhammad bercerita. Setidaknya di dekat masjid dan KBRI ada tiga rumah
makan muslim, ada Makyah Food, Muslim Food, dan Farida Muslim Food.
Di
antara masjid yang menjadi sentral kegiatan kaum muslimin di Bangkok
dan dekat dengan KBRI adalah yang berada di Petchaburi 7 ini bernama
Masjid Darul Aman. Masjid yang berlantai dua ini berada tidak jauh dari
jalan Petchaburi (jalan utama), kurang lebih sepuluh meter. Di
sekitarnya adalah pemukiman muslim Thailand yang sebagian dari mereka
berasal dari Thailand selatan dan berbahasa Melayu. Oh ya di sekitar
atau timur lokasi masjid ini terdapat deretan makam muslim.Pendidikan
keagamaan bagi para muda muslim juga menjadi kesatuan dari masjid ini.
Di lantai dua, kita bisa melihat bangku dan kursi berjejer dengan papan
tulis sederhana. Ya, semacam madrasah diniyyah di nusantara.
Khotbah
Jumat disampaikan dalam bahasa Thailand. Setelah Jumatan, imam shalat
memandu jama'ah wirid bersama dengan bersuara keras (jahr). Setelah
selesai berdoa, imam memimpin salaman antar jama'ah dengan iringan
shalawat.
Ini tradisi mulia yang sama dengan tradisi mayoritas
muslim di Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, karena ulama besar di
wilayah Pattani di abad ke-17, Syaikh Dawud Faththani, merupakan murid
dari Syaikh Abdurrauf as-Sinkli, ulama besar asal Aceh. Kesamaan tradisi
inilah yng membuat ikatan emosional muslim Pattani terjaga hingga kini.
Terbukti, beberapa santri di pondok pesantren di Jawa berasal dari
Pattani. Di Masjid Muhajireen, salah satu masjid di Din Daeng Bangkok,
sekitar 4 km dari UTCC, yang jika ditempuh perjalanan kaki membutuhkan
setengah jam, dan jika naik bus, sekitar 5 menit, kami juga menemukan
terjemahan kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Thai.
Ada pula majalah berbahasa
Melayu yang ditulis menggunakan aksara pegon. Di samping ada terjemah
Quran dalam bahasa Thai, di masjid ini dan tentu juga di masjid Darul
Aman, kami dapati Al-Quran dengan terjemah bahasa Indonesia, terbitan
Kemenag RI.
Di sela-sela short course ini kami berjalan-jalan
bersama rombongan. Ada guide, tentunya. Jumlahnya ada empat, bergantian.
Tiga di antara mereka berasal dari China. Dua di antaranya tidak
beragama, tetapi percaya pada Tuhan. Saat berjalan-jalan santai inilah
kami beberapa kali bersua dengan kelompok-kelompok kecil. Mereka adalah
demonstran anti pemerintahan PM Yingluck Sinawatra. Di antara mereka ada
yang membagi-bagikan koran. Lucunya, korannya berbahasa Thai, jadi mana
bisa kami membaca. Menuju Pratunam Market kami jalan kaki. Kami kira
jauh, ternyata mungkin hanya sekitar 5 km dari UTCC. Kira-kira 45 menit
kami sampai.
Heran kami kenapa jalan di depan mall ISetan kok
lengang. Kami baru tahu ternyata jalan memang ditutup. Dipasang panggung
tenda menghadang di sana, semacam panggung musik. Bus dan mobil tidak
bisa masuk.
Kami dapati kerumunan orang yg berwajah agak tegang. Ada apa ini? Teman kami menerka, "Itu para demonstran Pak."
Tiba
di market kami diberitahu oleh pedagang asal Malaysia (orang kedua yang
berbicara bahasa Melayu setelah mahasiswa Timur Leste yang kami jumpai
pada malam Ahad dalam suatu acara kampus) bahwa hari ini ada
demonstrasi. Menenangkan kami ia mengata, "Demo ini pakai mulut, tidak
pakai senjata. Aman."
Agak capek, kami memutuskan pulang naik taksi dengan ongkos 100 Baht, setelah kami tawar dari 200 Baht.
Sehari
setelahnya kami memutuskan untuk berkeliling ulang melihat suasana,
walaupun sebenarnya pemandu menyampaikan bahwa hari ini (Senin) ada
demonstrasi yang lebih besar daripada kemarin. Katanya, "Beresiko kalau
kita pergi, mungkin tidak aman bagi orang asing."
Alhamdulillah
kekhawatiran itu tak terjadi, kondisi masih cukup stabil. Ketika kami
berkunjung untuk berdiskusi di salah satu sekolah di Din Daeng Bangkok,
ada pertanyaan seorang guru yang cukup menggelitik.
"Kenapa di Indonesia pelajar tidak boleh memakai rok pendek?"
Salah
seorang teman menjawab bahwa memang demikianlah ajaran Islam. Aurat tak
boleh dibuka. Sementara, di negara yang kami kunjungi ini memang amat
jamak ditemui hal demkian itu.
Para siswa yang ketika itu
menantikan sesi dialog sangat apresiatif, mereka mengagumi Bali dan
Borobudur. Seorang siswi menghampiri kami, dan berkata, "Saya sangat
kagum pada Indonesia, negara dengan banyak pulau yang indah. Saya juga
suka baju nasionalnya."
Ia mengatakan demikian sembari
mengisyaratkan tangan di sekitar wajah hingga kaki. Mungkin maksudnya
kebaya Indonesia atau baju muslimah, jilbab dan baju panjang.
"Suatu saat saya akan pergi ke Indonesia. Saya juga mau jadi warga Indonesia," ujarnya tersenyum.
Pengalaman
selama sepuluh hari berada di Thailand dan berinteraksi dengan sahabat
lintas negara, salah satu negara ASEAN membuat saya merenung, "Apa saja
yang telah kita darmakan untuk negeri indah nan jelita Indonesia, dan
apa yang akan kita perbuat?"
--------
Yusuf Suharto, yang pada pertengahan bulan silam (15-25 Desember 2013)
mengikuti Short Course Manajemen Pengelolaan Perguruan Tinggi di negeri
Thailand, tepatnya di UTCC (University of Thai Chamber of Commerce) Din
Daeng Bangkok .
No comments:
Post a Comment