Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya pernah membaca buku
yang menyatakan sesatnya tarekat dan mengharamkan membaca sholawat. Saya
bingung, bagaimana mungkin sebuah komunitas zikir disebut sesat.
Alasannya, tak ada tuntunan Rasulullah. Saya semakin bingung lagi.
Pertanyaan saya, begitu sempitkah ajaran Islam itu sehingga semuanya
harus mengikuti Rasulullah? Menurut saya, tarekat juga membaca wirid
yang diajarkan Rasulullah. Dan menurut sebuah hadist, Allah swt dan
malaikat pun bersholawat kepada Rasulullah saw. Hanya karena
dikelompokkan dan kemudian berzikir secara bersamaan dalam sebuah
kelompok disebut sesat dan bid’ah? Mohon penjelasan, apa batasan bid’ah
itu? Apakah juga untuk semua hal, termasuk wirid secara bersama-sama?
Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jabir Ibnu
Hayyan
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Islam adalah agama yang
universal. Ini dapat dibuktikan dengan keuniversalan Al-Qur’an. Orang
yang mempelajari Al-Qur’an atas dasar keuniversalannya justru akan
selalu melihat bahwa manusia perlu dimodernisasikan. Untuk itu paling
tidak diperlukan dan dibekali ilmu yang cukup dalam mempelajari
Al-Qur’an.
Islam itu luwes. Sebab kejadian yang tidak terjadi di zaman Rasulullah
bisa saja terjadi di zaman para sahabat. Demikian pula, kejadian yang
tidak terjadi di zaman sahabat, bisa terjadi di zaman tabi’in yaitu
orang-orang yang hidup pada generasi setelah para sahabat Nabi (saw),
dan begitupun seterusnya.
Mestinya para ulama itu dapat memberikan jawaban sesuai dengan
generasinya karena adanya sebuah perkembangan zaman. Namun itu bukan
berarti bahwa Al-Qur’an tidak bisa menjawab persoalan. Al-Qur’an siap
menjawab persoalan sepanjang masa. Tapi siapakah yang sanggup memberi
penjelasan jika tanpa dibekali ilmu Al-Qur’an yang cukup.
Misalnya saja, pada zaman Rasulullah, pencangkokan mata, ginjal dan
sebagainya belum terjadi. Namun, kemungkinan ilmu-ilmu untuk mencangkok
sudah ada. Tapi peristiwa itu secara syariat di zaman Rasul belum ada.
Mungkin saja terjadi di suatu zaman, contohnya ada seseorang memerlukan
kornea mata, dan ahli medis siap untuk melakukannya sebagai sebuah
ikhtiar. Untuk orang yang bersangkutan, apakah ini tidak dibenarkan?
Untuk masalah zikir, siapa yang bilang tidak ada ajaran tentang zikir
dari Rasulullah. Misalnya, satu Hadist Qudsi -Hadist yang diyakini
sebagai firman Allah, bukan ucapan Nabi (saw)- menyebutkan, diriwayatkan
oleh Imam Ali Ridha, “Kalimat La ilaha Illallah itu benteng-Ku. Barang
siapa mengucapkan kalimat La ilaha Illallah berarti orang itu masuk ke
dalam pengayoman-Ku (dalam benteng-Ku). Dan barang siapa yang masuk ke
dalam benteng-Ku, berarti amanlah mereka dari siksa-Ku.” Apakah ini
tidak bisa dianggap sebagai tuntunan?
Selanjutnya, mohon maaf, sebelum Anda ikut-ikutan mengatakan bahwa
tarekat itu sesuatu yang bid’ah, ada baiknya Anda mempelajari dulu
perihal tarekat. Setelah itu melaksanakan ajaran dalam tarekat tersebut
dalam kehidupan Anda sehari-hari. Jadi bukan hanya bersumberkan pada
pertanyaan tadi. Lebih dari itu, melaksanakan tarekat sesuai ajaran dan
kaidah yang ada dalam tarekat. Nanti Anda akan langsung mengetahui,
termasuk siapa ulama-ulama itu, tepat atau tidak bila seorang ulama itu
telah mengatakannya sebagai bid’ah. Apakah sejauh itu prasangka kita
pada ulama-ulama? Seolah-olah ulama-ulama itu tidak mengerti dosa, dan
hanya kita sendiri yang mengerti bid’ah?
Harap diingat, melihat figur jangan sampai dijadikan ukuran. Sebab
sebuah figur belum merupakan orang yang alim. Makanya syarat orang yang
mengikuti tarekat itu, haruslah mengetahui arkan al-iman (rukun iman)
dan Islam. Mengetahui batalnya shalat, rukun shalat, rukun wudhu,
batalnya wudhu, dan sebagainya. Juga mengetahui sifat-sifat Allah yang
wajib dan yang jaiz, juga tahu sifat para rasul, membedakan barang halal
dan haram.
Setelah itu baru dipersilahkan mengikuti tarekat. Itulah dasar kita
masuk tarekat. Bukan suatu yang bersifat ikut-ikutan. Sedangkan orang
yang masuk terkadang tertarik oleh sebuah ritus, termasuk mendekatkan
diri pada ulama. Tetapi di dalam dirinya masih ada banyak kekurangan,
sehingga apa yang sebenarnya bukan merupakan ajaran sebuah tarekat,
terpaksa dilakukan. Seperti, kita menjalankan tarekatnya namun justru
meninggalkan yang wajib. Sekali lagi harus diingat, tarekat adalah buah
shalat. Bukan sebaliknya.
--------------------------------------------------------------------------------
Pengamalan Tasawuf Ala Al Habib Luthfi
Berikut ini petikan wawancara crew Habibluthfiyahya.net dengan Al Habib
Luthfi bin Yahya. Dalam wawancara kali ini Al Habib menjelaskan
bagaimana tasuf dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Apa pandangan-pandangan Al-Habib tentang tasawuf?
Tasawuf adalah pembersih hati. Dan tasawuf itu ada
tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting, bagaimana kita bisa mengatur
diri kita sendiri. Semisal memakai baju dengan tangan kanan dahulu, lalu
melepaskannya dengan tangan kiri.
Bagaimana kita masuk masjid dengan kaki kanan dahulu. Dan bagaimana
membiasakan masuk kamar mandi dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan
kaki kanan. Artinya bagaimana kita mengikuti sunah-sunah Nabi. Itu sudah
merupakan bagian dari tasawuf.
Bukankah hal semacam itu sudah diajarkan orang tua kita sejak kecil?
Para orang tua kita dulu sebenarnya sudah mengeterapkan tasawuf. Hanya
saja hal itu tak dikatakannya dengan memakai istilah tasawuf. Mereka
terbiasa mengikuti tuntunan Rasulullah. Seperti ketika mereka menerima
pemberian dengan tangan kanan, berpakaian dengan memakai tangan kanan
dahulu. Mereka memang tak mengatakan, bahwa itu merupakan tuntunan Nabi
SAW.
Tapi mereka mengajarkan untuk langsung diterapkannya. Kini kita tahu
kalau yang diajarkannya itu adalah merupakan tuntunan Nabi. Itu adalah
tasawuf. Sebab tasawuf itu tak pernah terlepas dari nilai-nilai akhlaqul
karimah. Sumber tasawuf itu adalah adab. Bagaimana adab kita terhadap
kedua orang tua, bagaimana adab pergaulan kita dengan teman sebaya,
bagaimana adab kita dengan adik-adik atau anak-anak kita. Bagaimana adab
kita terhadap lingkungan kita.
Termasuk ucapan kita dalam mendidik orang-orang yang ada di bawah kita.
Kepada anak-anak kita yang aqil baligh, kita harus bener-bener
menjaganya agar jangan sampai mengeluarkan ucapan yang kurang tepat
kepada mereka. Sebab ucapan itu yang diterima dan akan hidup di jawa
anak-anak kita.
Bagaimana sikap kita berada di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang sudah carut maut?
Mampukah ketika kita berhadapan dengan lingkungan yang demikian itu?
Ketika kita asik-asiknya bergurau, maka berhentilah sejenak. Kita
koreksi apakah ada sesuatu yang kurang pantas? Agar hal yang demikian
itu tak dicontoh atau ditiru oleh anak-anak kita. Itu sudah merupakan
tasawuf. Jadi dalam rangka pembersihan hati, bisa dimulai dari hal-hal
kecil semacam itu.
Lalu kita tingkatkan dengan tutur sikap kita terhadap orang tua. Ketika
kita makan bersama orang tua. Janganlah kita menyantap lebih dahulu
sebelum bapak-ibu kita memulai dulu. Janganlah kita mencuci tangan
dahulu sebelum kedua orang tua kita mencuci tangannya. Makanlah dengan
memakai tangan kanan. Dan jangan sampai tangan kiri turut campur kecuali
itu dalam kondisi darurat. Sebab Rasulullah tak pernah makan dengan
kedua tangannya sekaligus. Ini sudah tasawuf.
Apa yang sebenarnya menarik dari Al-Habib, sehingga begitu getol menekuni dunia tasawuf?
Yang menarik, karena tasawuf itu mengajarkan pembersihan hati. Saya
ingin mempunyai hati yang sangat bersih. Jadi tak sekedar bersih tidak
sombong karena ilmunya, tidak sombong karna setatusnya, tidak sombong
karena ini dan itu. Namun hati ini betul-betul mulus, selalu melihat
kepada kebesaran Allah SWT yang diberikan kepada kita. Itu karena
fadhalnya Allah SWT.
Sehingga kita tidak lagi mempunyai prasangka-prasangka yang buruk,
apalagi berpikiran jelek dalam pola pikir dan lebih-lebih lagi di hati.
Sebab tasawuf itu tazkiyatul qulub, yakni untuk membersihkan hati. Jika
hati kita ini bersih, maka hal-hal yang selalu menghalangi-halangi
hubungan kita kepada Allah itu akan sirna dengan sendirinya. Sehingga
kita senantiasa mengingat Allah.
Ibarat besi, hati kita itu sebenarnya putih bersih. Hanya karena karatan
yang bertumpuk-tumpuk lantaran tak pernah kita bersihkan, sehingga
cahaya hati itu tertutup oleh tebalnya karat tadi. Na’udzubillah kalau
sampai hati kita seperti itu.
Lantas dari mana kita mesti memulai untuk pembersihan hati tersebut?
Ikutlah dahulu ajaran fiqih yang tertera dalam kitab-kitab fiqh. Seperti
arkanus shalat (rukun-syarat sholat), lalu adabut shalat, adabut
thaharah dan seterusnya. Marilah itu semua kita pelajari dan kita
laksanakan dengan sebaik-baiknya. Ketika kita diundang untuk menghadiri
acara walimah di sebuah gedung misalnya, maka kenakanlah pakaian yang
bagus-bagus.
Sebab itu demi menghormat dan untuk menyaksikan kehalalan kedua mempelai
di pelaminan. Untuk menghormati acara tersebut, kita menggunakan
pakaian yang rapi. Sebab pada hakikatnya, kita telah menghormati Allah
SWT yang telah menghalalkan hal tersebut.
Kita juga menghormati yang telah mengundang kita, serta menghormati
sesama kita dalam gedung atau dalam jamuan tersebut. Kalau kita bisa
menyaksikan aqdun nikah (akad nikah) secara demikian, mengapa kalau kita
menghadap langsung kepada Allah SWT, tidak pernah melakukan
penghormatan yang demikian itu?
A-Habib dikenal sebagai mursyid thariqah, tetapi kelihatan gemar memainkan alat musik?
Di sana kita akan menemukan kekaguman. Ilmullah yang ada dalam music itu
sendiri. Diantaranya notnya itu hanya ada 7; do re mi fa sol la si do,
do si la sol fa mi re do. Sedangkan oktafnya ada 7, suara miringnya 5,
jadi ada 12. Yang memakai adalah di seliruh dunia, dan mengeluarkan lagu
yang beragam. Itu merupakan satu hal yang sangat menarik. Ketika orang
mendengarkan musik, mereka bisa menangis dan tertawa, bersedih dan
bersuka ria. Nah, yang berupa benda saja bisa menghasilkan efek semacam
itu. Lantas bagaimana kalau kita tengah mendengar lantunan ayat
Al-Qur’an sedang dibacakan? Mesti akan jauh lebih dari itu.
No comments:
Post a Comment