Jika sebagian umat Islam
ada yang berpendapat bahwa merayakan Maulid Nabi SAW adalah bid’ah yang
sesat karena alasan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw
sebagaimana dikatakan oleh beliau:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي
Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan. (HR Abu Daud dan Tarmizi)
Maka selain dalil dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut, juga secara
semantik (lafzhi) kata ‘kullu’ dalam hadits tersebut tidak menunjukkan
makna keseluruhan bid’ah (kulliyah) tetapi ‘kullu’ di sini bermakna
sebagian dari keseluruhan bid’ah (kulli) saja. Jadi, tidak seluruh
bid’ah adalah sesat karena ada juga bid’ah hasanah, sebagaimana komentar
Imam Syafi’i:
المُحْدَثَاتُ ضَرْباَنِ مَاأُحْدِثَ يُخَالِفُ
كِتاَباً أَوْسُنَّةً أَوْأَثَرًا أَوْإِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ
الضَّلاَلِ وَمَاأُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لاَيُخَالِفُ شَيْئاً مِنْ ذَالِكَ
فَهِيَ مُحْدَثَةٌ غَيْرَ مَذْمُوْمَةٍ
Sesuatu yang
diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan
(dalam agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, prilakuk
sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun
sesuatu yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi
ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu
itu tidak tercela (baik). (Fathul Bari, juz XVII: 10)
Juga
realitas di dunia Islam dapat menjadi pertimbangan untuk jawaban kepada
mereka yang melarang maulid Nabi SAW. Ternyata fenomena tradisi maulid
Nabi SAW itu tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua
belahan dunia Islam. Kalangan awam diantara mereka barangkali tidak tahu
asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama
berargumen bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena
tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam
syariat.
Buktinya, bentuk isi acaranya bisa bervariasi tanpa
ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan
semangat dan gairah ke-islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid
Nabi SAW sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah
adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT,
tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan
situasional serta mubah.
Perlu dipahami, sesuatu yang mubah
tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Imam as-Suyuthi
mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW:
وَالجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ المَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ
اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَأَةُ مَاتَيَسَّّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ
الأَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَأِ أَمْرِالنَّبِيّ صَلَّّىاللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ مَاوَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الاَياَتِ ثُمَّ
يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَهُ مِنْ غَيْرِ
زِيَادَةٍ عَلَى ذَالِكَ مِنَ البِدَعِ الحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ
عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيْ
صََلََّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِالفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ
بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
Menurut saya asal perayaan maulid
Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah
teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian
dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang.
Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah
hasanah(sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena
mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan
atas kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia. (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I,
h. 251-252)
Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: “Bid’ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah SAW.”
Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi): ”Termasuk hal baru yang baik
dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan
pada hari kelahiran Rasulullah saw. dengan memberikan sedekah dan
kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua
berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah
SAW dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur
kepada Allah atas diutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh alam
semesta”.
Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi SAW tidak
melenceng dari aturan agama yang benar, sebaiknya perlu diikuti
etika-etika berikut:
1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.
2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
3. Membaca sejarah Rasulullah SAW dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau.
4. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.
5. Meningkatkan silaturrahim.
6. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah SAW di tengah-tengah kita.
7. Mengadakan pengajian atau majlis ta’lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuritauladani Rasulullah SAW.
HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PBNU
No comments:
Post a Comment