Pages

Saturday, January 22, 2011

Insya Allah

Ketika saya melihat-lihat catatan mas Mustova, saya terpukul untuk melihat dan menyebarkan artikel ini. berikut intinya ;
s
Abuya, jangan bilang Insya Allah!”
“Lho, orang Islam kan harus bilang Insya Allah, kan yang menentukan segalanya adalah Allah!”
“Tapi kenapa setiap dalem minta sesuatu dan Abuya bilang Insya Allah, dalem ndak jadi dibelikan?!?”.

Tadi adalah percakapan antara keponakan saya yang berumur 6 tahun dan ayah-nya (kakak ipar saya). Menohok.
Insya Allah –tentu saja– dari bahasa arab : “in”, “sya’a” , dan “Allah”. “In” adalah kata penghubung, satu kasta dengan in, for, from, by (dalam inggris). Sya’a Allah, berarti : kehendak Allah. Maka, frase itu bermakna “atas kehendak Allah” atau “jika Allah berkehendak“.
Sesuai makna aselinya, frase “insya allah” ini digunakan sebagai pelengkap suatu statemen positif “Ya!”, “Benar!”, “Oke!”, “Bisa!!”, dan semacamnya. Itu menjadi doa atas sesuatu yang kita rencanakan. Karena sebagai ‘pelengkap’, maka lazimnya –diucapkan SETELAH statemen. Karena doa selalu datang setelah ada usaha. Gitu kan yah?
“Desain poster kapan jadinya?! Besok bisa?”
“Woh, iya bisa!! Insya Allah..”
“Bro, besok bisa ikut sesi pemotretan Asmirandah?!”
“Bisa! Bisa!! Insya Allah, bisa!! “
Kata “iya” dan “bisa” menjadi usaha si pelaku mewujudkan rencananya, dan “insya allah” menjadi doa-nya. Idealnya seperti itu.
Uniknya, di masyarakat kita. Insya Allah udah gak bermakna ‘positif’ melainkan justru cenderung ‘negatif’. Suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan penolakan, keraguan, ke-enggan-an atau ketidak-siapan secara halus. Dan seringkali diletakkan di depan –sebelum statemen, –plus erangan.
“Kaos pesenanku dateng kapan, mas?
“Ngggg, insya allah, tiga hari!!”
“Bro, besok bisa ikut sesi kedua seminar dan rapat!”
“Ngggg, insya allah… Insya allah bisa, bisa..”
Kalo ditelusuri, maka maknanya menjadi : “Kalo Tuhan berkehendak, maka iya bisa”. Seolah-olah menyerahkan dan ‘menyalahkan’ Tuhan jika nanti statemen ‘iya’-nya ngga terwujud. Membebaskan diri dari perasaan guilty karena mengecewakan lawan bicara. Ketika esok hari ditanya, tentu berkelit dan berdalih; “Kemaren aku udah bilang ‘insya allah’ kan. Sorry ya..”
Hari gini, insya allah udah bermakna : “Nggak janji lho yaaaa”.
Yang menyedihkan, saking kelirunya kita memaknai “insya allah” –banyak yang kemudian menolak dikasih ucapan itu. Misalnya ya, ada yang bilang dengan tulus. “Oke!! Entar aku temenin kamu belanja, insya allah!!” kemudian direspon balik dengan. “Halah!! Jangan insya allah, insya allah dong!! Meragukan tauk! Yang pasti-pasti aja! Bisa nggak? “
Familiar?
Budaya kita memang terpuji, sangat sopan dan halus. Kita nggak ingin mengecewakan orang dengan janji-janji –yang kita TAHU tidak bisa kita tepati. Kemudian kita menyelimuti janji kita dengan selimut ‘insya allah’; dengan tujuan –meski gak bisa dipenuhi, tentu bisa dimaafkan karena Tuhan berkehendak lain. Bisa dimaafkan karena kalimat sakti; “insya allah”.
Kita manusia –mahluk yang cenderung bergantung pada harapan. Janji dengan ‘Insya Allah’ mengandung harapan. Dan betapa menyakitkannya ketika suatu harapan itu hilang. Alih-alih tidak ingin mengecewakan, kita justru melipat-gandakan kekecewaan yang diderita kawan atau kerabat yang kita kasih “Insya allah” tadi.
Kita belum berusaha, tapi udah menggantungkan rencana pada Tuhan.
Kenapa kita nggak berterus terang, banyak ungkapan halus tanpa perlu mencatut nama Tuhan kan?
-
-
Atau, gimana?


cc: @masova

No comments:

Post a Comment