Pages

Thursday, December 26, 2013

[ Apakah Lulusan Matematika Bisa Bikin Kalender? Nggak Bisa, Itu Fakta. ]

Bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami krisis terhadap identitasnya sendiri. Kalau kondisi ini dibiarkan begitu saja, Bangsa Indonesia tidak mustahil menyusul bangsa Kurdi atau bangsa Campa yang kini hanya menjadi suku kecil.

Perihal ini ditegaskan Wakil Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) H Agus Sunyoto dalam kegiatan kursus singkat bertajuk Tasawuf Sebagai Etika Sosial di Pesantren Al-Tsaqafah Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).

"Padahal dulu Bangsa Kurdi ialah bangsa besar yang menaklukkan Jerusalem. Sultan Shalahudin Al-Ayubi dari Kurdi. Sekarang Campa cuma jadi suku kecil di Vietnam dan Kamboja," kata Agus.

Tambah Agus, gaya hidup masyarakat Indonesia sudah mulai ada pergeseran seperti gaya rambut yang diberi warna, pakaian, aktivitas bahkan sampai pada makanan.

Anak-anak sekarang lebih bangga mengonsumsi makanan seperti piza, spaggeti, hotdog. Kalau generasi saya dulu makanan hanya getuk atau gatot, imbuh Agus.

Salah satu stasiun televisi pernah menayangkan acara Bugil, Bule Gila. Kita seolah tidak rela kalau ada orang bule dagang baso, tukang parkir. Kalau ada yang melakukan, kita menganggap mereka sebagai bule gila.

Jadi seolah-olah orang bule itu harusnya jadi manajer, kerjanya di kantor. Sementara bangsa kita lah yang menjadi tukang baso, pungkas Agus

--

Salah satu penyebab terancamnya kepunahan Bangsa Indonesia adalah karena sejak berdirinya di Nusantara, sekolah belum bisa membuat sebuah peradaban. Bahkan motif berdirinya sekolah sendiri adalah alat untuk memperkokoh penjajahan Belanda di nusantara.

“Sudah 113 tahun sekolah berdiri di Nusantara, kita tanya hasilnya apa? Hasilnya banyak. Orang bergelar insinyur, doktor, sarjana hukum, sarjana agama. Tetapi apa karya lulusan sekolah itu untuk Bangsa Indonesia? Faktanya nggak ada,” ungkap Agus Sunyoto dalam kursus singkat Tasawuf di Pesantren Ats-Tsaqafah, Jakarta, Kamis (19/12).

Menurut Agus, pendapat bahwa jika tidak ada sekolah, bangsa ini tidak bisa maju, sebuah doktrin yang perlu diuji kebenarannya. Karena, jauh sebelum ada sekolah, masyarakat Nusantara sudah berhasil membuat peradaban. Mereka mampu membuat candi, kalender, aksara-aksara, seperti aksara Jawa, Sunda, Bali, Sriwijaya, Bugis.

Apakah lulusan matematika bisa bikin kalender? Nggak bisa. Itu fakta. Dari sini saja sudah kelihatan. Padahal Abad 6 orang Indonesia mampu menciptakan aksara sendiri. sedangkan lulusan sekolah bisa tidak bikin aksara sendiri? Aksara anak sekolah itu aksara Belanda itu, ABCD, tambahnya.

Zaman kerajaan Kalingga yang hidup sezaman dengan Sahabat Usman Bin Affan pada tahun 648, mampu membuat hukum pidana dan perdata sekalipun hanya 174 pasal yang bernama Kalingga Dharma Sastra, kata Agus.

Lebih lanjut Agus Sunyoto menyatakan bahwa faktor produktivitas masyarakat Nusantara itu terletak pada aspek spiritual yang tercermin dalam ajaran Tantrayana dan Kapitayan. Penganut ajaran Tentrayana dan Kapitayan ini selanjutnya ditaklukkan Wali Songo dengan dunia spiritual.

Wali Songo mampu membuat peradaban baru di bidang politik, seni, budaya, sosial. Wali Songo terutama sekali berhasil menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Di akhir orasi, Agus Sunyoto memberikan sebuah kesimpulan bahwa aspek spiritual ini sangat penting dalam membuat sebuah peradaban. Sementara lembaga yang mengembangkan spiritual adalah pesantren.

Terbukti dalam perjalanannya yang sangat panjang, pesantren mampu memberikan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia. Pesantren berbeda dengan dengan sekolah yang tidak memercayai hal-hal gaib karena sekolah mengikuti paham positivisme Agus Comte yang menghendaki agar pengetahuan itu bisa dibuktikan dengan data dan fakta.

Sumber: (Bangsa Indonesia di Tapal Batas Kepunahan 1 & 2)

No comments:

Post a Comment