Bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami
krisis terhadap identitasnya sendiri. Kalau kondisi ini dibiarkan begitu
saja, Bangsa Indonesia tidak mustahil menyusul bangsa Kurdi atau bangsa Campa yang kini hanya menjadi suku kecil.
Perihal ini ditegaskan Wakil Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin
Indonesia (Lesbumi) H Agus Sunyoto dalam kegiatan kursus singkat
bertajuk Tasawuf Sebagai Etika Sosial di Pesantren Al-Tsaqafah
Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).
"Padahal dulu Bangsa
Kurdi ialah bangsa besar yang menaklukkan Jerusalem. Sultan Shalahudin
Al-Ayubi dari Kurdi. Sekarang Campa cuma jadi suku kecil di Vietnam dan
Kamboja," kata Agus.
Tambah Agus, gaya hidup masyarakat
Indonesia sudah mulai ada pergeseran seperti gaya rambut yang diberi
warna, pakaian, aktivitas bahkan sampai pada makanan.
Anak-anak
sekarang lebih bangga mengonsumsi makanan seperti piza, spaggeti,
hotdog. Kalau generasi saya dulu makanan hanya getuk atau gatot, imbuh
Agus.
Salah satu stasiun televisi pernah menayangkan acara
Bugil, Bule Gila. Kita seolah tidak rela kalau ada orang bule dagang
baso, tukang parkir. Kalau ada yang melakukan, kita menganggap mereka
sebagai bule gila.
Jadi seolah-olah orang bule itu harusnya
jadi manajer, kerjanya di kantor. Sementara bangsa kita lah yang menjadi
tukang baso, pungkas Agus
--
Salah satu penyebab
terancamnya kepunahan Bangsa Indonesia adalah karena sejak berdirinya di
Nusantara, sekolah belum bisa membuat sebuah peradaban. Bahkan motif
berdirinya sekolah sendiri adalah alat untuk memperkokoh penjajahan
Belanda di nusantara.
“Sudah 113 tahun sekolah berdiri di
Nusantara, kita tanya hasilnya apa? Hasilnya banyak. Orang bergelar
insinyur, doktor, sarjana hukum, sarjana agama. Tetapi apa karya lulusan
sekolah itu untuk Bangsa Indonesia? Faktanya nggak ada,” ungkap Agus
Sunyoto dalam kursus singkat Tasawuf di Pesantren Ats-Tsaqafah, Jakarta,
Kamis (19/12).
Menurut Agus, pendapat bahwa jika tidak ada
sekolah, bangsa ini tidak bisa maju, sebuah doktrin yang perlu diuji
kebenarannya. Karena, jauh sebelum ada sekolah, masyarakat Nusantara
sudah berhasil membuat peradaban. Mereka mampu membuat candi, kalender,
aksara-aksara, seperti aksara Jawa, Sunda, Bali, Sriwijaya, Bugis.
Apakah lulusan matematika bisa bikin kalender? Nggak bisa. Itu fakta.
Dari sini saja sudah kelihatan. Padahal Abad 6 orang Indonesia mampu
menciptakan aksara sendiri. sedangkan lulusan sekolah bisa tidak bikin
aksara sendiri? Aksara anak sekolah itu aksara Belanda itu, ABCD,
tambahnya.
Zaman kerajaan Kalingga yang hidup sezaman dengan
Sahabat Usman Bin Affan pada tahun 648, mampu membuat hukum pidana dan
perdata sekalipun hanya 174 pasal yang bernama Kalingga Dharma Sastra,
kata Agus.
Lebih lanjut Agus Sunyoto menyatakan bahwa faktor
produktivitas masyarakat Nusantara itu terletak pada aspek spiritual
yang tercermin dalam ajaran Tantrayana dan Kapitayan. Penganut ajaran
Tentrayana dan Kapitayan ini selanjutnya ditaklukkan Wali Songo dengan
dunia spiritual.
Wali Songo mampu membuat peradaban baru di
bidang politik, seni, budaya, sosial. Wali Songo terutama sekali
berhasil menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Di akhir orasi,
Agus Sunyoto memberikan sebuah kesimpulan bahwa aspek spiritual ini
sangat penting dalam membuat sebuah peradaban. Sementara lembaga yang
mengembangkan spiritual adalah pesantren.
Terbukti dalam
perjalanannya yang sangat panjang, pesantren mampu memberikan kontribusi
besar bagi bangsa Indonesia. Pesantren berbeda dengan dengan sekolah
yang tidak memercayai hal-hal gaib karena sekolah mengikuti paham
positivisme Agus Comte yang menghendaki agar pengetahuan itu bisa
dibuktikan dengan data dan fakta.
Sumber: (Bangsa Indonesia di Tapal Batas Kepunahan 1 & 2)
No comments:
Post a Comment