Mengapa masyarakat harus memahami dan menghindari berkembangnya ideologi transnasional, di antara bahaya yang ditimbulkan adalah terjadinya konflik dengan sejumlah organisasi keagamaan di masyarakat.
Pernyataaan
ini disampaikan Dr Ainur Rofik Al-Amin yang tampil sebagai pemateri
pada kegiatan Halaqah; Pondok Pesantren Merespon Gerakan Islam
Transnasional di Jombang Jawa Timur, Sabtu (21/12/2013).
Bagi dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
ini, fakta yang tidak dapat dihindari dari beredarnya ideologi impor
ini adalah sejumlah konflik yang kerap terjadi di masyarakat. Mantan
aktifis Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) ini mengemukakan diantara yang selalu didengang-dengungkan
kelompok seperti HTI, Wahabi dan Salafi adalah penolakan mereka terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Dari pandangan yang diperjuangkan ini saja, pasti akan menimbulkan gesekan dengan sejumlah organisasi sosial keagamaan yang ada
di tanah air,” terangnya. Demikian pula pandangan mereka yang menolak
Pancasila sebagai dasar negara. “Ini pasti akan menimbulkan friksi di
masyarakat,” lanjutnya.
Bahkan dengan sangat terbuka, organisasi seperti HTI dengan sangat jelas menandaskan bahwa NKRI dan Pancasila adalah ancaman serius
bagi terwujudnya sistem khilafah di Indonesia. “Padahal organisasi
sosial keagamaan seperti NU telah sangat jelas mendeklarasikan bahwa
Pancasila adalah upaya final bagi umat Islam di tanah air untuk
mendirikan negara,” tegasnya.
Namun demikian, Gus Rofik, sapaan
akrabnya tidak serta menyalahkan HTI dan sejumlah ideologi transnasional
lain di tanah air karena mereka telah berhasil melakukan pembinaan di
sejumlah segmen masyarakat.
“Aktifis mahasiswa perguruan tinggi
khususnya di kota besar banyak yang terpengaruh oleh ajakan untuk
bergabung dalam organisasi yang beraliran keras ini,” terangnya. HTI
misalnya memandang bahwa Indonesia adalah lahan subur bagi tumbuh dan
berkembangnya aliran ini. Karena itu mereka masuk ke kampus, selanjutnya
mempengaruhi tokoh masyarakat, serta kalangan Muslim taat dan pelajar.
Basis
gerakan mereka juga merambah tempat potensial semisal kampus, sekolah,
masjid, majlis taklim, MUI dan partai Islam. “Itulah kelebihan mereka,”
ungkapnya.
Sebagai solusi, salah seorang pengasuh di Pondok
Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang ini mengajak umat Islam dan
semua kalangan untuk secara terbuka mengkaji pemikiran kelompok ekstrim
ini.
“Para pemikir dan generasi Islam harusnya mendiskusikan
pemikiran mereka secara intensif dan mendalam,” katanya. Dan apa yang
disarankan tersebut berdasarkan pengalaman dari sejumlah pendiri NU.
“Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah dikenal
sangat terbuka berdebat dengan sejumlah kalangan yang embawa misi
puritanisme di tanah air dan dikonfrontir dengan karya ulama Ahlussunnah
Waljamaah,” terangnya.
Belajar kenyataan tersebut, alumnus
program doktor UIN Sunan Ampel ini menyarankan agar sejak dini para
generasi muda dikenalkan dengan ajaran dan pandangan ideologi
transnasional untuk didiskusikan secara terbuka. “Dengan demikian
generasi muda kita memahami kelemahan dan penyimpangan pandangan
golongan mereka,” terangnya.
Kegiatan ini diselenggarakan Yayasan
Khoiriyah Hasyim Seblak Jombang bekerjasama dengan Bakesbangpol atau
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Propinsi Jawa Timur dan diikuti
sejumlah guru, ustadz dan kiai serta pengasuh pesantren di kota santri.
Narasumber lain yang juga memberikan wawasan adalah Drs Muhammad Dawud
SSos, komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur. (syaifullah/mukafi niam)
Sumber
No comments:
Post a Comment