Pages

Thursday, December 26, 2013

Ideologi Transnasional Ciptakan Friksi di Masyarakat

Mengapa masyarakat harus memahami dan menghindari berkembangnya ideologi transnasional, di antara bahaya yang ditimbulkan adalah terjadinya konflik dengan sejumlah organisasi keagamaan di masyarakat.

Pernyataaan ini disampaikan Dr Ainur Rofik Al-Amin yang tampil sebagai pemateri pada kegiatan Halaqah; Pondok Pesantren Merespon Gerakan Islam Transnasional di Jombang Jawa Timur, Sabtu (21/12/2013).

Bagi dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya ini, fakta yang tidak dapat dihindari dari beredarnya ideologi impor ini adalah sejumlah konflik yang kerap terjadi di masyarakat. Mantan aktifis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini mengemukakan diantara yang selalu didengang-dengungkan kelompok seperti HTI, Wahabi dan Salafi adalah penolakan mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Dari pandangan yang diperjuangkan ini saja, pasti akan menimbulkan gesekan dengan sejumlah organisasi sosial keagamaan yang ada di tanah air,” terangnya. Demikian pula pandangan mereka yang menolak Pancasila sebagai dasar negara. “Ini pasti akan menimbulkan friksi di masyarakat,” lanjutnya.

Bahkan dengan sangat terbuka, organisasi seperti HTI dengan sangat jelas menandaskan bahwa NKRI dan Pancasila adalah ancaman serius bagi terwujudnya sistem khilafah di Indonesia. “Padahal organisasi sosial keagamaan seperti NU telah sangat jelas mendeklarasikan bahwa Pancasila adalah upaya final bagi umat Islam di tanah air untuk mendirikan negara,” tegasnya.

Namun demikian, Gus Rofik, sapaan akrabnya tidak serta menyalahkan HTI dan sejumlah ideologi transnasional lain di tanah air karena mereka telah berhasil melakukan pembinaan di sejumlah segmen masyarakat.

“Aktifis mahasiswa perguruan tinggi khususnya di kota besar banyak yang terpengaruh oleh ajakan untuk bergabung dalam organisasi yang beraliran keras ini,” terangnya. HTI misalnya memandang bahwa Indonesia adalah lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya aliran ini. Karena itu mereka masuk ke kampus, selanjutnya mempengaruhi tokoh masyarakat, serta kalangan Muslim taat dan pelajar.

Basis gerakan mereka juga merambah tempat potensial semisal kampus, sekolah, masjid, majlis taklim, MUI dan partai Islam. “Itulah kelebihan mereka,” ungkapnya.

Sebagai solusi, salah seorang pengasuh di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang ini mengajak umat Islam dan semua kalangan untuk secara terbuka mengkaji pemikiran kelompok ekstrim ini.

“Para pemikir dan generasi Islam harusnya mendiskusikan pemikiran mereka secara intensif dan mendalam,” katanya. Dan apa yang disarankan tersebut berdasarkan pengalaman dari sejumlah pendiri NU. “Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah dikenal sangat terbuka berdebat dengan sejumlah kalangan yang embawa misi puritanisme di tanah air dan dikonfrontir dengan karya ulama Ahlussunnah Waljamaah,” terangnya.

Belajar kenyataan tersebut, alumnus program doktor UIN Sunan Ampel ini menyarankan agar sejak dini para generasi muda dikenalkan dengan ajaran dan pandangan ideologi transnasional untuk didiskusikan secara terbuka. “Dengan demikian generasi muda kita memahami kelemahan dan penyimpangan pandangan golongan mereka,” terangnya.

Kegiatan ini diselenggarakan Yayasan Khoiriyah Hasyim Seblak Jombang bekerjasama dengan Bakesbangpol atau Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Propinsi Jawa Timur dan diikuti sejumlah guru, ustadz dan kiai serta pengasuh pesantren di kota santri. Narasumber lain yang juga memberikan wawasan adalah Drs Muhammad Dawud SSos, komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur. (syaifullah/mukafi niam)


Sumber

No comments:

Post a Comment